Akhir Juni 2021, saat tulisan ini dibuat, situasi pandemi terasa memanas. Situs Kompas.id melaporkan, “Pulau Jawa Darurat Covid-19,” di mana jumlah pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan telah melebihi kapasitas fasilitas kesehatan di sejumlah daerah.

Berita ini seakan menandaskan, situasi pandemi yang telah berlangsung satu tahun lebih tidak pernah mau pergi.

Banyak doa sudah dinaikkan, namun sepertinya belum ada jawaban yang segera menuntaskan masalah ini. Walau tidak dinyatakan terangterangan, pertanyaan di mana Tuhan, dan mengapa Tuhan tidak segera mengembalikan situasi ke masa sebelum pandemi, terasa membayangi benak banyak orang. Ia seolah menulikan diri, menyingkir, dan memilih untuk tidak menanggapi doa umat-Nya.

Mengapa Tuhan diam dan tidak bergerak cepat menolong? Mungkin pertanyaan dan perasaan seperti itu yang dirasakan oleh Musa, ketika ia berputar-putar selama puluhan tahun di padang gurun, sebelum akhirnya bangsa yang dipimpinnya tiba di tujuan. Mengapa Tuhan tidak menunjukkan garis lurus saja, sehingga perjalanan lebih singkat dan cepat sampai di tujuan? Mungkin ini juga yang dirasakan Daud. Mengapa ia harus bersembunyi, diancam, lari berpindah-pindah tempat, dan bersembunyi dari kejaran Saul, padahal Tuhan melalui nabi Samuel telah menetapkan dirinya menjadi raja? Mengapa ia harus melewati proses yang ‘ribet’ sebelum dinobatkan menjadi raja seperti yang telah ditetapkan Tuhan?

Kegeraman dan kegelisahan itu juga yang mungkin dirasakan Ayub. Mengapa ia harus mengalami penderitaan, meski ia yakin tidak melakukan kesalahan apa pun? Mengapa ia harus mengalami kehilangan demi kehilangan sebelum Tuhan memulihkan dirinya?

Banyak kisah di Alkitab, yang melaluinya kita dapat melihat Tuhan yang tidak segera bertindak, Tuhan seolah menyembunyikan diri-Nya. Dalam banyak peristiwa kehidupan, apalagi bagi yang pernah merasakan hempasan badai kehidupan, kebingungan dan kegelisahan menantikan pertolongan Tuhan yang tak kunjung datang, nyata adanya. Tuhan seakan membiarkan mereka bergumul sendirian.

**

Deus Absconditus. Allah Yang Menyembunyikan Diri. Ungkapan ini muncul, di antaranya dari teks Yesaya 45: 15, “Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, Juruselamat”. Ya, bagian ini dengan lugas menyatakan, bahwa Allah menyembunyikan diri-Nya.

Kisah bangsa Israel yang sedang dalam tekanan kerajaan Babel menjadi latar belakang di balik pernyataan ini. Mereka berharap mendapat pertolongan. Setelah sekian lama, pertolongan akhirnya datang, namun dengan cara yang sangat tidak terduga (malahan mungkin mereka tidak menginginkan cara pertolongan ini). Kelepasan mereka terjadi melalui Raja Koresh, yang bahkan disebut sebagai yang diurapi. Raja Koresh, yang bukan bagian dari bangsa Israel, diurapi Tuhan menjadi penolong. Hal ini jelas berbeda dari ideologi dan pemahaman tentang bagaimana sebaiknya Tuhan melepaskan mereka.

Tuhan yang dirasa seakan tidak bergerak dan Tuhan yang terasa seolah menepikan diri dari persoalan bangsa Israel, akhirnya tampil menyelamatkan mereka. Namun, waktu dan cara yang tidak tertebak ini membuat kekagetan. Harapan yang berbeda itu nampak dicatat di kitab Yesaya 45:9-13 sebagai berikut,

45:9 Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: “Apakah yang kaubuat?” atau yang telah dibuatnya: “Engkau tidak punya tangan! “... 45:13 Akulah yang menggerakkan Koresh untuk maksud penyelamatan, dan Aku akan meratakan segala jalannya; dialah yang akan membangun kota-Ku dan yang akan melepaskan orang-orangKu yang ada dalam pembuangan, tanpa bayaran dan tanpa suap, firman TUHAN semesta alam.

Ayat 9 mengungkap hal tersebut “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya” dan ayat 15 seakan menjadi puncak ekspresi mereka “Sungguh Engkau adalah Allah yang menyembunyikan diri”.

Keinginan menebak cara Allah bekerja dan keinginan agar cara-Nya tersebut harus sesuai rumusan kita, sering menghasilkan kekecewaan terhadap Tuhan. Dalam buku Disappointment With God, Philip Yancey mengutip Mazmur 22 dan Mazmur 23 yang letaknya bersandingan, untuk menampilkan dua wajah iman. Sayangnya, pemahaman banyak orang tentang Tuhan hanya diwakili oleh Mazmur 23, yaitu “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau…” Wajah iman yang hanya mendasarkan pada Mazmur 23, kemudian membingkai Tuhan harus bertindak segera membaringkan dirinya di padang yang berumput hijau: misalnya, jika berdoa, harus segera dijawab. Jika kelaparan, mendadak Tuhan memberikan makan. Jika sedih, segera penghiburan datang. Cara kerja Tuhan seperti mudah ditebak.

Padahal, satu pasal sebelumnya (Mazmur 22) pemazmur menampilkan sosok Tuhan yang dirasakan begitu berbeda. Mereka yang mengira cara kerja Tuhan hanya terbatas seperti di Mazmur 23 akan mengalami kekecewaan yang mendalam kepada Tuhan, ketika menemukan Tuhan yang dirasakan pemazmur melalui Mazmur 22:

“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.”

Kutipan Mazmur 22 ini juga yang diteriakkan Yesus di atas kayu salib, dan bukan “Tuhan adalah gembalaku … Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau…” Kita tidak pernah tahu alasannya, namun Alkitab mencatat, bahwa Yesus memilih mengutip Mazmur 22 sebelum Ia menyerahkan nyawaNya.

**

Lalu, apa hubungannya semua ini? Pertama, masa pandemi memberi kesempatan tampil setidaknya dua wajah iman, seperti yang dicatat di Mazmur 22 dan Mazmur 23. Beberapa orang merasakan pertolongan Tuhan yang sangat sigap, seperti layaknya segera dibaringkan di padang rumput yang hijau: misalnya, sembuh dari Covid-19, usaha tidak bangkrut, gaji tidak dipotong atau semua sehat-sehat saja. Namun, ada juga yang sampai saat ini terus merasakan hempasan badai Covid-19: misalnya yang belum pulih dari sakit, orang-orang yang dicintai meninggal, usaha yang bangkrut atau tidak mendapatkan pekerjaan lagi setelah di-PHK.

Bagi orang-orang yang berada dalam kategori ini, jika mengira cara kerja Tuhan hanya seperti di Mazmur 23, maka bukan tidak mungkin kekecewaan yang timbul. Teriakan “Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku,” seperti dicatat di Mazmur 22 mungkin lebih mewakili perasaan. Apakah hal ini menunjukan sikap kurang percaya kepada Tuhan? Adanya dua wajah iman yang ditampilkan Mazmur 22 dan Mazmur 23 dapat membuka perspektif yang lain. Teriakan yang lahir dari rasa kesendirian dan kegelisahan ini, bisa jadi adalah upaya menaruh harapan dan kesetiaan kepada Tuhan. Alkitab tidak mencela tindakan ini, bahkan Yesus pun meneriakkan kalimat tersebut di situasi yang genting, di kayu salib.

Kedua, masa pandemi yang belum usai jelas membawa ketidakpastian dan kegelisahan. Kisah-kisah di Alkitab menampilkan dimensi Tuhan yang terus bekerja, namun tidak dapat dibungkus dengan teoriteori manusia tentang Tuhan. Hal ini sering disebut sebagai misteri. Menyadari bahwa hidup bersama Tuhan tidak lepas dari misteri cara bekerja-Nya, dapat membawa penyerahan dan kepasrahan tersendiri. Paulus, meski telah memiliki pengetahuan yang sangat fasih tentang hukum Taurat (yang menjadi rujukan Firman Tuhan di masanya) dan juga memiliki pengalaman spiritual yang unik ketika berjumpa dengan Tuhan, sebagaimana yang dituliskannya dalam surat Roma 11:33-34:

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?  

**

Akhirnya, berusaha menebak-nebak Tuhan yang tak tertebak, justru membawa kita kepada kelelahan tersendiri. Tuhan tidak statis. Ia dinamis. Kesan akan Tuhan yang menyembunyikan diri atau bertindak dengan cara yang tidak dipahami, rupanya sudah pernah dirasakan sejak ribuan tahun yang lalu. Ada kalanya Tuhan terasa begitu dekat seperti yang diungkap Mazmur 23. Namun tidak jarang juga tindakanNya seperti yang dirasakan dalam Mazmur 22. Pengalaman banyak tokoh di Alkitab memberi kita gambaran, bagaimana seharusnya respons kita terhadap cara kerja Tuhan yang dinamis – yang tidak dapat ditebak oleh pemahaman manusia. Meski tidak mengerti keseluruhan jalan cerita, para tokoh di Alkitab tetap berupaya menaruh harapan dan kesetiaan kepada Tuhan.

Ketika melanjutkan kehidupan, terus mengingat jalan yang pernah ditempuh para pendahulu kita, dapat menjadi sumber kekuatan tersendiri. Cara kerja Tuhan yang tidak dapat ditebak justru menunjukkan keagungan Tuhan, yang tidak dapat didikte oleh pengertian terbatas manusia. 

Sumber:

1. https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2021/06/21/pulau-jawa-darurat-covid-19/

2. Westermann, Claus. Isaiah 40-66: A Commentary. SCM Press Limited: London, 1978, p. 164-171

3. Yancey, Philip. Disappointment with God, Zondervan: Michigan, 1988, p. 245-249