“Apa salah satu problema besar di keluarga dari dulu hingga saat ini?”

“Komunikasi!”

Nah, itu biasanya jawaban yang paling cepat dilontarkan.

Ah, kami sering bertengkar. Masalahnya sih sebenarnya cuma komunikasi yang gak nyambung.”

Bodo ah, males ngomong sama ortu. Baru ngomong ‘dikit udah diceramahin, padahal belum selesai cerita!”

“Emang, pasangan saya tuh ‘gitu orangnya. Kalo udah ngomong, gak pernah mau kalah, cape deh!”

“Iya, ga ‘nyangka ya, mereka bisa cerai, padahal kan itu cuma masalah komunikasi!”

Cuma Masalah Komunikasi?

Iya, ironisnya yang “cuma” itu rupanya bisa mengoyak relasi di banyak keluarga. Dari yang saling bertengkar, saling mendiamkan, sampai akhirnya memisahkan diri, seperti tidak pernah punya hubungan sama sekali. Kata-kata menjadi senjata, dan kasih pun tersisih.

Komunikasi menjadi “cuma” karena sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Saking biasanya, mungkin banyak yang tidak menyadari, bahwa mengupayakan komunikasi yang baik adalah sebuah pelayanan, agar sebuah keluarga berfungsi dengan baik. Bagaimana kita dapat menyadari, bahwa komunikasi yang baik adalah sebuah pelayanan keluarga yang hakiki?

Lidah dan Telinga di Masa Lalu

Kata orang, manusia mempunyai dua telinga dan satu mulut, agar lebih banyak mendengar daripada berbicara. Telinga dan mulut adalah dua panca indera penting, yang mendukung peran komunikasi, yaitu mendengar dan berbicara.

Soal mendengar dan berbicara - yang merupakan esensi komunikasi - menarik utnuk memperhatikan apa yang ditulis oleh penulis kitab Yesaya, ketika menceritakan tentang sosok hamba Tuhan.

Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. (Yesaya 50:4)

Lidah seorang murid diberikan agar perkataan yang disampaikan dapat memberi semangat kepada orang yang letih lesu. Penulis kitab Yesaya di ayat yang sama juga menyampaikan, bahwa telinga sang murid dipertajam setiap hari. Rupanya lidah yang berbicara sepatutnya disertai dengan telinga yang mendengar. Bagian ayat ini ingin menyampaikan, bahwa kualifikasi seorang murid adalah memiliki lidah yang memberikan semangat baru, sekaligus juga telinga yang mau mendengar setiap hari.

Di Perjanjian Baru, penulis kitab Yakobus juga menampilkan pesan senada. Ketika mengulas bagian yang diberikan judul oleh LAI sebagai “Pendengar atau Pelaku Firman”, penulis kitab Yakobus membuka dengan tulisan ini:

Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. (Yakobus 1: 19, 26).

Makna ayat ini sangat jelas. Tidak dibutuhkan teknik penafsiran yang ruwet untuk memahami pesan yang disampaikan ayat ini.

Penerapan ayat-ayat dalam kitab Yesaya dan kitab Yakobus ini menjadi semakin menarik untuk dikulik, ketika kita menghubungkannya dengan pengalaman sehari-hari di keluarga. Bagaimana dapat menyampaikan perkataan yang membangun, jika pendengaran kita tidak cukup tajam? Bagaimana bisa cukup tajam, jika kita belum seksama mendengarkan pertanyaan? Hasilnya, kita lebih sering ingin menyodorkan jawaban, tanpa mau lebih dulu mendengarkan.

Kalau mau jujur, lebih sering pertengkaran di dalam keluarga timbul karena ingin lebih dulu mendengarkan atau karena ingin lebih dulu berbicara? Lambat berkata-kata namun cepat mendengar ternyata bukan resep baru. Ribuan tahun yang lalu, ketika bagian kitab ini ditulis, rumusannya bukan “cepat berkata-kata dan lambat mendengar”. Justru kebalikannya.

Lidah dan Telinga di Masa Sekarang

Masalah “cuma” komunikasi ini rupanya telah banyak diselidiki, bahkan terus sampai masa sekarang. Komunikasi yang baik nyatanya dimulai dari menjadi pendengar yang baik.

Sebuah video singkat kurang dari delapan menit yang dibuat oleh Harvard Business Review di tahun 2022 menyampaikan, bahwa mendengarkan dengan aktif ternyata menjadi persoalan bagi banyak orang. Tidak hanya di lingkup keluarga, di tempat bekerja atau usaha juga banyak sekali kejadian krisis mendengar. Banyak tempat kerja dan tempat usaha cuma jalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran, karena jajaran pemimpinnya “cuma” kurang mendengar.

Sambil merangkum empat artikel yang pernah diterbitkan di dalam Harvard Business Review, video itu menjelaskan banyak kesalahan mendasar, sekaligus juga langkah-langkah praktis perbaikan yang dapat dilakukan. Misalnya mengenali gaya mendengar kita, memperhatikan bahasa tubuh lawan bicara, menangkap ungkapan yang tidak terungkap, memahami secara utuh tanpa menghakimi, dan seterusnya.

Dalam konteks hidup sosial-politik, Simon Sinek juga menceritakan tentang sosok Deeyah Khan yang membuat dokumentari “White Right: Meeting the Enemy” yang akhirnya memenangkan salah satu kategori di Emmy Award di tahun 2018. Keinginan Deeyah Khan untuk mendengarkan orang-orang yang membencinya membuat orang-orang yang awalnya memusuhinya dapat berubah. Hal itu dapat terjadi karena ia mengambil langkah mendengarkan.

Dalam konteks hidup berkeluarga dan pengembangan spiritualitas Kristiani yang sehat, Peter Scazzero melalui buku “Emotionally Healthy Spirituality” yang sangat laris dan dikenal banyak orang, juga menegaskan hal yang sama. Ia mengungkapkan, bahwa salah satu jalan menuju kedewasaan emosi dan spiritual di dalam Tuhan adalah dengan mempraktekkan seni mendengar. Ia menyarankan hal-hal mendasar, seperti menunda apa yang ingin segera dikatakan, mengizinkan orang berbicara sampai tuntas, merangkai ulang ucapan lawan bicara dengan akurat, dan seterusnya. MempraktIkkan seni mendengar dengan aktif ternyata merupakan bagian dari spiritualitas kristiani yang sehat.

Jalan Pintas

Sama dengan keterampilan lain dalam hidup, menguasai suatu hal membutuhkan latihan dan waktu yang tidak sebentar. Biasanya jika tidak cepat dicapai, banyak orang segera menggantinya dengan uang atau pemberian. Maksudnya? Misalnya karena sulit menguasai keterampilan memasak, lebih baik mudah beli makanan siap saji. Karena sulit menurunkan berat badan dengan olahraga, lebih mudah minum obat pelangsing. Karena susah belajar untuk ujian, lalu membeli bocoran soal, dan seterusnya. Dalam kultur di mana banyak hal dinilai dengan uang, mudah sekali kita mengganti banyak hal dengan uang.

Jalan pintas memang terasa menyenangkan. Sayangnya, mendengarkan secara aktif membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, dan tidak dapat diganti dengan sejumlah uang atau pemberian. Namun yang kerap terjadi, supaya tidak pusing mendengar keluh-kesah pasangan, lalu kita belikan saja hal-hal yang diinginkan mereka. Agar anak tidak cerewet dan menghabiskan waktu kita, berikan saja gawai atau uang, agar mereka menikmati hidupnya. Hasilnya, mereka tidak mengganggu kita lagi dengan curcol atau keluh kesahnya.

Memang susah memberikan waktu untuk mendengar, apalagi melatih diri untuk terus meningkatkan kemampuan mendengar secara aktif. Kesadaran bahwa mendengar secara aktif adalah bagian dari identitas seorang murid dan pelaku firman perlahan sirna. Mendengar secara aktif, yang adalah pelayanan memberikan ruang katarsis bagi anggota keluarga, perlahan digantikan oleh kemudahan yang ditawarkan oleh uang. Kalau sudah begini, mungkin benar juga pelesetan lagu KJ 365 “Tuhan ambil (saja) dompetku, asal jangan waktuku.”

Katarsis

Katarsis sederhananya adalah proses pelepasan emosi yang dapat membantu seseorang meredakan masalahnya. Mendengarkan secara aktif adalah pelayanan yang dilakukan agar orang lain dapat merasa tenang melakukan katarsis. Mereka yang bermasalah kadang tidak memerlukan nasihat atau ayat-ayat, melainkan ruang yang aman dan perasaan diterima. Hal itu hanya mungkin didapat dari mereka yang mau menyodorkan telinga untuk mendengarkan secara aktif.

Mendengarkan adalah tindakan aktif, dan bukan pasif. Tidak heran, mendengarkan yang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak sering disebut mendengar secara aktif (active listening). Mendengarkan secara aktif bukan sekedar diam sambil menatap lawan bicara. Juga bukan sekedar merespon “Iya…iya… ho oh …. hehehe… oh ya?” Juga bukan duduk diam sambil mengarang banyak nasihat untuk segera dilontarkan. Mendengarkan secara aktif juga bukan menunggu kesempatan untuk gantian berbicara tentang diri sendiri: “Iya … bener, nah kalau saya tuh begini (dan seterusnya) …”

Mendengar secara aktif membutuhkan kesadaran sekaligus juga latihan. Kesadaran dengan sengaja melakukan tindakan mendengar (mindfulness), sekaligus juga berlatih dengan kesadaran bahwa mendengar adalah keterampilan yang perlu dikembangkan.

Kesadaran Identitas

Lalu, bagaimana meneladani sosok yang digambarkan penulis kitab Yesaya, yang memiliki lidah dan telinga seorang murid, dan sosok pelaku firman yang digambarkan oleh penulis kitab Yakobus? Hmmm, bagaimana jika memulainya dengan membaca buku-buku atau menonton tayangan YouTube atau TedTalk tentang seni mendengar? Atau mungkin lebih joss kalau kita langsung ikut pelatihan-pelatihan mendengar secara aktif?

Eits, meskipun hal-hal tersebut terlihat baik dan menjanjikan hasil cepat, namun biasanya juga cepat hilang, karena yang disentuh baru bagian luarnya, yaitu tindakan. Daripada berkata “saya akan belajar menjadi pendengar” dan buru-buru ikut pelatihan mendengarkan, bagaimana kalau justru yang digarap adalah identitas kita terlebih dahulu?

Film kartun lawas “The Lion King” (1994) menceritakan kisah Simba muda yang harus menghadapi masa lalunya. Ia ragu dan enggan meninggalkan kehidupan barunya untuk menjadi penerus kerajaan The Pride Lands, yang berarti ia harus menghadapi bayangan gelap masa lalunya. Dalam dilema emosional yang tidak mudah, ia menemukan titik balik. Titik baliknya ditandai ketika ia mendengar suara dari langit “… remember who you are”. Kesadaran akan identitas yang telah lama ditinggalkan membuat Simba gigih melakukan banyak hal dalam tahapan hidup selanjutnya. Itulah kekuatan kesadaran identitas. Kesadaran untuk menegaskan identitas menyentuh bagian terdalam diri, yang akan berdampak kepada tindakan ke luar.

“Saya adalah murid yang mendengar, yang akan menggunakan perkataan untuk memberi semangat baru.” Atau, “Saya adalah pelaku firman yang cepat mendengar dan lambat berkata-kata.” Itu adalah identitas saya.

Setelah menegaskan identitas, ada pintu lanjutan terbuka, yaitu timbulnya kesadaran yang selaras dengan identitas. Kesadaran ini akan membuka pintu kesediaan mengembangkan keterampilan diri sesuai dengan identitas.

Mendengarkan secara aktif adalah keterampilan yang membutuhkan keseriusan dan waktu untuk menguasainya, persis seperti halnya keterampilan yang lain. Misalnya keterampilan mengendarai mobil, berkebun, menganalisa laporan keuangan, editor video, content creator, bertukang, menulis renungan, berkotbah, memasak, atau bermain alat musik. Semuanya membutuhkan waktu untuk menguasainya. Tidak ada jalan pintas. Nah, tertarik mengembangkan keterampilan mendengar aktif sebagai pelayanan di keluarga, supaya tidak seperti pelesetan lagu KJ 365 “Tuhan ambil (saja) dompetku, asal jangan waktuku”?

***

Referensi

NIV Study Bible Notes, Bible by Olive Tree, digital edition

Peter Scazzero, “Emotionally Healthy Spirituality (Spiritualitas yang Sehat secara Emosi)”, Literatur Perkantas Jatim, 2022

Simon Sinek, “The Art of Listening”, 27 October 2021, https://youtu.be/qpnNsSyDw-g, diakses 8 Juni 2023

Harvard Business Review,The Art of Active Listening”, 1 September 2022, https://youtu.be/aDMtx5ivKK0, diakses 8 Juni 2023

The Lion King, Film, 1994