Pendeta itu bernama Rob Teagard. Pendeta muda yang baru ditugaskan di sebuah gereja kecil, berpenduduk sedikit, di kota kecil Coal Creek, Virgina Barat. Sebuah kota sunyi di awal tahun 1957. Dikisahkan, Rob Teagard memiliki istri cantik dan masih muda. Ia pendeta yang berkarakter, yang ketika berbicara selalu dikaitkan dengan firman Tuhan. Maklum, baru lulus dari sekolah Alkitab. Seminari telah membentuknya menjadi sosok yang religius.

Di suatu hari, ketika hujan turun, seorang gadis yang masih sangat belia, yang baru duduk di bangku SMA, berlari menuju emperan gereja, untuk berteduh, seorang gadis kesepian bernama Lenora Laferty. Sang pendeta muda melihatnya dari dalam gereja lewat jendela kaca. Ia pun membukakan pintu gereja, menyapanya ramah, dan mempersilakan masuk gereja, memberinya kata-kata penuh motivasi, yang dibangun di atas kebenaran-kebenaran firman.

Lalu sang pendeta mengajak Lenora yang polos itu ke pinggiran hutan dengan sebuah mobil, yang mungkin di tahun tersebut adalah mobil mewah. Kembali sang pendeta memberikan kebenaran firman, bahkan mengajak berdoa. Tapi ternyata doa dan firman telah menjadi jebakan yang ampuh untuk berbuat dosa yang menjijikkan. Lebih menjijikkan lagi, dilakukan seorang pendeta kepada seorang anggota jemaat Youth and Teens. Dan sangat lebih menjijikkan, perbuatan itu didahului dengan firman dan doa.

Cerita bergulir. Si gadis polos Lenora pun hamil. Ketika si gadis meminta pertanggungjawaban, sang pendeta muda berkata, bahwa janin itu harus dibunuh. Menurutnya, “…karena jika tidak, kau jadi ibu pelacur dan anak haram itu akan berlarian ke sana-kemari…” Lenora pun berusaha menggugurkan kandungannya dengan cara yang paling primitif. Gadis itu pun meninggal dengan pendarahan yang hebat.

Itu sebuah penggalan kecil dari film “The Devil All the Time”, yang ditayangkan di Netflix. Kisah berlanjut. Ternyata Lenora anak seorang pria yang rajin memberi kesaksian di gereja lewat pujian, yaitu Roy Laferty. Roy membunuh istrinya dengan terlebih dahulu berkata, “Saya merasakan Tuhan hadir di sini, sayang. Tuhan menyayangimu!” Dengan secepat kilat ia menusukkan pisau yang tajam ke leher istrinya. Setelah mengerang karena merasakan sakit yang sangat luar biasa dan mengucurkan darah, mama Lenora pun meninggal.

Sebuah film yang menggambarkan secara gamblang, bagaimana semua manusia tak mampu melawan dosa, sebaliknya, malah menikmati dosa itu. Bagaimana dosa begitu menyengat dan berkuasa, sehingga seolah-olah firman Tuhan pun tak berdaya. Semakin dalam pengetahuan orang itu akan firman Tuhan, justru dosa juga semakin kuat menguasainya.

Barangkali Anda tertawa dan sinis, itu kan hanya film. Itu hanya sebuah cerita fiksi. Itu hanya sebuah permainan skenario. Sebuah dramatisasi dari sang sutradara. Permainan yang cantik antara karakter para pemain, sinematografi, musik, art, dan editing. Tunggu dulu!

Bukankah di dunia nyata, yang terjadi justru lebih mengerikan lagi! Masih ingat seorang pendeta yang membunuh selingkuhannya karena hamil beberapa tahun yang lalu? Atau orang-orang yang dianggap suci dan menduduki posisi dalam gereja, ternyata adalah predator terhadap anak-anak kecil. Atau bagaimana persembahan telah dijadikan sarana transaksi dengan Tuhan. Semakin besar persembahanmu, semakin besar berkat yang kamu terima dari Tuhan.

Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana dosa begitu merasuk kehidupan manusia? Bagaimana bisa dosa menjadi candu, bahkan begitu dinikmati? Lalu sebenarnya apakah dosa itu? Seorang dosen memberikan suatu definisi dan pengertian tentang dosa, “Dosa adalah perbuatan melawan Allah, yaitu suatu skandal, di mana kita tidak melakukan yang seharusnya kita lakukan, dan melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Bahkan ketika tidak melakukan kebenaran, itu pun adalah dosa. Dosa membuat kita tidak sensitif terhadap dosa. Cara yang bijak melawan dosa adalah menjauh dari dosa sejauh mungkin, dan mendekat pada Tuhan, bukan malah diajak bertarung dalam ring. Karena dosa akan memanipulasi dan mengeksploitasi.” Bayangkan, dosa bisa memanipulasi dan mengekploitasi manusia!

Tapi kalimat tersebut bukanlah sebuah kalimat bombastis, ketika melihat mimbar yang kudus telah dicemari oleh ego pendeta, yang merasa sebagai suku Lewi, berhak mendapat sepuluh persen dari persembahan yang masuk. Kesombongan seorang pendeta, yang merasa sebagai orang khusus yang dipilih oleh Allah, sehingga bisa langsung berkomunikasi secara online dengan Tuhan, bahkan bisa turun naik surga. Mimbar telah menjadi sebuah ajang pembuktian bahwa ia adalah pendeta yang benar. Bahkan ketika seorang pendeta mengklaim teologinyalah yang paling benar, bukankah itu juga sebuah bentuk kesombongan? Bukankah adalah sebuah kelicikan, ketika pendeta menceritakan pengalaman spiritualnya secara bombastis dan lebay, agar jemaat bisa melihatnya dengan kagum dan memujinya sebagai orang khususnya Tuhan?

Mimbar tidak lagi berbicara tentang kekudusan dan kebenaran firman Tuhan, tapi menjadi ajang penampilan filosofi-filosofi dunia untuk mengejar kekayaan, yang disebut berkat yang layak bagi anak Tuhan. Mimbar telah tercemar dengan kata-kata, bahwa setiap anak Tuhan harus menjadi kepala, dan bukan ekor. Anak Tuhan bukan lagi menjadi hamba yang setia atau pelayan yang rendah. Kekristenan berubah menjadi sebuah pencapaian sukses, yang lalu disebut sebagai limpahan berkat.

Ketika gereja yang seharusnya mempertontonkan dan memperagakan, bahwa kuasa dosa tak bisa berkuasa, sehingga dunia bisa bercermin padanya, ternyata malah ramai-ramai mengadopsi budaya dan kemeriahan dunia, maka gereja menjadi tak lebih dari gaya hidup dunia sekuler. Membentuk hirarki dalam kepengurusan gereja, ada sekat-sekat yang tanpa sadar dibangun di antara jemaat. Pendeta lebih memilih mereka yang punya gelar, kekayaan, dan reputasi untuk duduk sebagai majelis gereja dan sebagai pengurus. Senyum pendeta akan terlihat lebih manis kepada jemaat-jemaat yang datang dengan pakaian mewah, perhiasan berlebih, dan naik mobil yang mewah.

Bersambung ke edisi selanjutnya..