Hidup ini penuh tantangan, termasuk pandemi Covid-19 yang berkepanjangan dan tantangan ini sering membuat kita lemah iman. Kenapa demikian? Kita merasa apa yang terjadi dan Tuhan ternyata tidak seperti yang kita harapkan. Manusia memiliki ekspektasi yang tidak jarang melampaui kemampuan dan kapasitasnya. Hal ini menjadi akar persoalannya. Berekspektasi boleh saja tetapi jangan lupa dengan keberadaan diri secara realistis. Tantangan hidup yang berat kerap membuat kita bertanya di manakah Allah dan kenapa Allah mengizinkan hal ini terjadi.

Mengapa pertanyaan ini muncul? Pertanyaan ini muncul karena kita, sebagai orang beriman, berpikir bahwa Allah Mahakuasa dan tentu dapat mengontrol semua yang terjadi, termasuk hal buruk. Kalau Allah itu Mahakuasa, sudah seharusnya tantangan tidak terjadi. Apakah demikian adanya? Saya rasa disinilah letak ketegangan iman. Ketegangan iman bisa membuat kita berputus asa atau semakin bergantung kepada Tuhan. Kita pilih yang mana?

Mengenal Allah melalui Kristus

Dapatkan kita memahami Allah? Tentu jawabannya tidak. Bila kita bisa melakukannya, maka Ia bukanlah Allah. Allah tidak terbatas sedangkan manusia terbatas. Sudah pasti, manusia yang terbatas ini tidak akan mungkin memahami Allah. Kalaupun kita bisa melakukannya itu hanya sebatas konsep tentang Allah dan Allah sendiri yang telah mewahyukan kepada kita melalui Alkitab, tradisi gereja, dan pengalaman rohani. Apakah kita sudah bertekun mempelajari dan mengolahnya dalam hidup ini? Pengolahan yang baik membawa kita pada pengenalan diri dan Allah secara benar. Memang, manusia tidak sepenuhnya bisa meski dengan berbagai upaya yang dilakukan, kecuali Allah sendiri yang menyingkapkannya.

Adakah manusia bertemu Allah? Saya rasanya hanya orang tertentu di Perjanjian Lama yang bertemu dengan Allah dan mereka adalah orang-orang khusus. Saya menimbang pengenalan tentang Allah secara nyata dapat dilakukan melalui Kristus. Allah dan Kristus tidak dipisahkan karena merupakan bagian dari Trinitas. Meski Kristus sudah hadir di dunia dan memberikan berbagai keteladanan dan ketaatan-Nya mengikuti Allah, ternyata hal ini tidak membuat manusia mudah mengenal-Nya. Sekurangnya, hal ini dapat kita temukan dalam Lukas 24: 15-17, “Ketika mereka bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. Yesus berkata kepada mereka, “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” (TB).

Rupanya, para murid yang sudah bertemu fisik dengan Kristus tidak menjamin bahwa mereka bisa mengenal-Nya. Bagian Alkitab itu memang menunjukkan bahwa penyebab mereka tidak mengenaliNya karena ada sesuatu yang menghalangi mata (ayat 16). Bisa jadi, ada perubahan fisik tubuh Kristus, sebab Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain seperti orang asing dan juga ada sesuatu yang menghalangi indra kedua muridtersebut, sebab ada suatu kuasa Ilahi yang menghalangi mata mereka. Baiklah, apapun pertimbangannya, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak bisa mengenali Kristus. Lantas, apakah Kristus mengenali mereka? Jawabannya, tentu iya. Kristus mengenal mereka. Tidak heran, Kristus bertanya pada mereka, “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?”

Kristus hadir seumpama orang asing bagi kedua murid. Seperti kebanyakan kita, kedua murid ini mengalami kesulitan menceritakan sesuatu yang begitu dalam mempengaruhi hidup mereka kepada orang asing. Satu-satunya yang bisa mereka kerjakan adalah berdiri termenung, diam dalam duka, berwajah muram. Rupanya, Kristus tidak tampak buru-buru menarik mereka keluar dari dukacita itu, tidak memaksa mereka melampaui kemampuan mereka, dan tidak berusaha mengatur peristiwa itu. Sebaliknya, Kristus berdiri di sana bersama mereka yang dirundung duka mendalam. Dia memberikan ruang kepada mereka untuk mampu mengalami kembali seluruh perasaan dan memberi mereka waktu untuk mencoba bangkit dan saling bercerita.

Peristiwa demikian memungkinkan kita merenungkan, “Apa yang ada di balik perjumpaan dengan Kristus? Seberapa nyaman kita dengan diri sendiri dan hidup kita sebagaimana Allah telah memberikannya kepada kita saat ini? Adakah undangan untuk mengalami transformasi rohani yang terkandung dalam praktik menyambut “orang asing” yang berkaitan dengan mengembangkan sikap puas atau kenyamanan yang lebih besar tanpa kemunafikan? Adakah dorongan untuk memoles gambar diri? Apakah undangan untuk memperluas pemahaman saya tentang keramahtamahan yang sejati dan bukan sekadar “menghibur”?” Berbagai pertanyaan ini menolong kita menggumuli posisi diri kita ketika dalam keadaan yang tidak pasti.

Pengenalan Allah dengan Sesama Manusia

Ruth Haley Barton menjelaskan memandang Allah (atau melalui Yesus Kristus) turut berbicara tentang ide bahwa sekalipun kita mendengarkan orang lain, kita dapat mengakui realitas bahwa kita berdua ada di hadirat Allah (Barton, 2015:69). Kita bisa berdoa sehingga kita peka terhadap rencana Allah dalam hidup orang ini dan dalam percakapan kita, sehingga kita tidak terombang-ambing oleh kepentingan kita sendiri. Kemudian, ketika kita menatap orang lain dan mendengarkannya, kita tidak hanya melihat dia atau mengalami interaksi sekadar dalam lingkup manusiawi, melainkan kita mendengarkan dengan serius untuk memahami hati Allah dan berdoa pada Allah bagi dia. Dengan kata lain, pada peristiwa tersebut, kita menyadari diri kita sendiri dan orang lain sama-sama berada dalam doa di hadirat Allah.

Pengenalan Allah tidak bisa dikerjakan sendiri dan hanya berpusat pada diri sendiri. Kita perlu melakukannya bersama sesama kita sebagai sesama musafir di perjalanan iman. Mengenal Allah berarti setelah kita mendengarkan orang lain, kita tidak perlu tergesa-gesa masuk dengan pemikiran dan kata-kata kita sendiri. Sebagaimana di kisah perjalanan ke Emaus, Kristus yang berdiam diri bersama kedua murid, kita dimungkinkan bisa berdiam diri bersama orang itu, membiarkan sikap diam itu untuk menyatakan perhatian penuh hormat terhadap apa yang mereka ceritakan. Diam di sini perlu dipahami mungkin bisa saja tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan dan kita dipimpin untuk berdiam diri bersamanya dan mengizinkan Roh Kudus berdoa bersama dan bagi kita.

Penutup

Manusia memang tidak akan pernah bisa memahami Allah secara utuh. Kondisi ini bukan berarti membuat kita berhenti dan putus asa dalam mencari kehendak Allah, khususnya di tengah himpitan pandemi ini. Berjalan bersama orang lain dan mendengarkan mereka bisa menjadi bagian dari proses pengenalan Allah. Sekurangnya, hal ini dapat dilakukan dengan mengambil komitmen menjalin hubungan yang terbuka dengan Allah, serta terlibat secara penuh dengan mendengar, berdoa, dan memberi tanggapan. Dengan kata lain, pada akhirnya, hadirlah bersama orang lain dan masuklah bersama di proses pengenalan Allah yang misterius itu.

Daftar Pustaka

Barton, Ruth Haley. 2015. Hidup Bersama dalam Kristus: Mengalami Transformasi dalam Komunitas. Yayasan Gloria. Yogyakarta. 2015.