Beberapa waktu ini dunia dikejutkan dengan beberapa kisah yang menyayat hati. Kisah dimulai dari seorang pastor dan sekaligus Mental Health Advocate, Ps. Jarrid Wilson yang ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri. Dia seorang pendeta muda, masih berumur 30 tahun, melayani orang-orang yang mengalami depresi, namun ternyata dirinya juga menderita depresi. Tak tahan dengan beban yang begitu berat, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kisah selanjutnya hadir dari sebuah film yang berusaha menggali satu tokoh ternama dari dunia superhero, Joker.

Ada yang bilang film yang dimunculkan sekarang sedikit berbeda dari apa yang diceritakan di alur dunia DC. Saya memang tidak mengikutinya. Jika film ini berdiri sendiri dan ditarik keluar terpisah dari DC, Joker memberikan kita sebuah realita yang menyakitkan. Joker, seorang pembunuh sadis ternyata adalah seorang yang menderita penyakit mental. Film ini mengisahkan latar belakang mengapa Joker bisa sampai menjadi pembunuh. Hal tersebut di antaranya adalah pola asuh yang kacau, lingkungan sekitar yang sering menghinanya, bahkan kekerasan fisik yang membuat beberapa organ di dalam otaknya rusak. Semua hal ini meninggalkan luka yang mendalam, sampai akhirnya Joker menjadi seorang pribadi yang menakutkan. Terakhir adalah kisah dari seorang penyanyi cantik dari negeri K-Pop, yaitu Choi Jin Ri atau yang lebih dikenal Sulli dari girlband f(x). Sore hari dia ditemukan tak bernyawa di apartemen karena menggantung dirinya sendiri. Sulli, gadis muda berumur 25 tahun ini, mengalami depresi yang begitu tinggi, sampai akhirnya dia memutuskan bahwa bunuh diri adalah jalan yang terbaik. Depresi dan bunuh diri, selalu meninggalkan duka yang mendalam.

Joker di dalam filmnya memberikan satu kalimat yang sangat menyedihkan, “the worst part about having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t” (hal terburuk dari memiliki penyakit mental adalah orang-orang berharap kamu bertindak seperti kamu sedang tidak sakit). Bagaimana mungkin kita mengharapkan sesuatu yang ideal bagi mereka yang sedang berada dalam kondisi yang tidak ideal? Kita tidak akan pernah bisa. Luka yang mereka alami begitu mendalam. Kita perlu belajar untuk menerima mereka apa adanya. Lagi pula, dari ketiga kisah di atas, siapa yang dapat kebal dari penyakit mental? Artis yang kelihatannya selalu ceria, ternyata menyimpan banyak tangis di dalam dirinya. Pendeta yang kelihatannya begitu kuat karena menopang banyak jemaat, ternyata hatinya begitu rapuh dan lemah. Siapa yang bisa menjamin bahwa dari antara kita ada yang kuat terhadap penyakit mental? Saya pun bisa mengalaminya. Kamu juga bisa! Semua kita bisa!

Lantas apa yang harus kita lakukan? Saya terus menggumuli apa yang bisa kita lakukan untuk menyikapi mental health issue yang bisa menyerang diri kita. Setidaknya ada 3 hal:

1. Awareness of self

Hal pertama adalah meningkatkan awareness of self atau kesadaran diri. Kita harus sadar dengan kondisi mental kita sekarang. Terutama kita perlu aware dengan hal-hal yang bisa membuat kita semakin terpuruk. Hal-hal yang membuat kita menjadi marah, kesal, sakit hati, dan benci. Seperti misalnya, “saya sangat benci ketika seseorang merendahkan saya”. “Saya sakit hati kalau dia menghina saya gendut”, dan masih banyak lagi.

Terlebih penting dari itu semua, kita perlu sadar apa penyebab kita menjadi sakit hati. Pasti ada kisah masa lalu yang membuat kita menjadi sangat benci terhadap hal ini. Hari ini adalah dampak dari hari kemarin. Seperti yang dialami Joker, dia menjadi pribadi yang sangat buruk hari ini, karena dampak masa lalu yang menyedihkan. Seringkali kita menjadi korban. Korban sistem keluarga yang tidak sehat, korban sistem pertemanan yang tidak membangun, ataupun korban kejahatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kita perlu belajar menggali diri kita dan mencari tahu akar dari kepahitan kita hari ini. I know that’s not easy. Pasti menyakitkan, pasti mendukakan, pasti perih untuk menggali kisah masa lalu yang tidak enak itu. Tetapi kita perlu belajar melakukannya, sehingga kita dapat mengenal diri kita sendiri dan mengantisipasi jika ada hal buruk serupa terjadi di depan.

Semua orang punya masa lalu yang tidak baik. Jadi kamu tidak sendiri, semua orang pernah terluka.

2. Ask for help

Hal selanjutnya yang bisa kita lakukan setelah sadar akan kondisi kesehatan mental, jika merasa sedang berada dalam kondisi yang tidak baik, kita perlu mencari pertolongan. Ada kalanya kita tidak bisa menyelesaikan problem kita sendiri. Kita butuh orang lain. Kita butuh mencari orang yang tepat, yang dapat mendengarkan keluh kesah dan dapat menolong menyelesaikan problem yang kita hadapi. Kita butuh orang lain untuk menjadi tempat membuang semua energi negatif yang ada di dalam diri. Kalau seandainya tidak dikeluarkan, tentu akan menjadi sesuatu yang membunuh di dalam diri.

Bukankah Yesus juga melakukan hal yang sama? Pada saat Ia hendak menjalani jalan salib, Ia begitu tertekan sampai kitab suci mencatat bahwa keringat yang Yesus keluarkan adalah darah. Pada saat kondisi tertekan seperti ini, bukankah Yesus meminta Yakobus, Yohanes dan Petrus untuk menemani Dia? Kita pun demikian. Kita butuh orang lain. Bahkan jika kita rasa kondisi mental kita sudah cukup terganggu, kita perlu mencari bantuan profesional untuk menolong kita mengatasi hal ini. Jika ada orang yang mengatakan pergi ke konselor hanya untuk orang gila, orang itu tidak memahami pentingnya isu kesehatan mental. Semua orang butuh ditolong untuk lepas dari beban berat yang dialami. Stigma buruk tentang pergi ke konselor harus dipatahkan. Sekadar informasi, saat ini saya pun seminggu sekali secara rutin pergi ke konselor profesional untuk konseling pribadi. Hal ini tidak berarti saya gila bukan? Pergi ke konselor menolong saya mengenali diri secara lebih utuh, dan dapat mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi di depan.

3. Abide in Him

Ps. Jarrid Wilson, sebelum mengakhiri hidupnya, menulis sebuah tulisan yang sangat baik dan mendalam: “Loving Jesus doesn’t always cure suicidal thoughts (mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan pikiran ingin bunuh diri). Loving Jesus doesn’t always cure depression (mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan depresi). Loving Jesus doesn’t always cure PTSD (mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan stres). Loving Jesus doesn’t always cure anxiety (mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan kecemasan).

But that doesn’t mean Jesus doesn’t offer us companionship and comfort (tetapi itu tidak berarti Yesus tidak menawarkan kita penyertaan dan penghiburan). He ALWAYS does that.” (Dia selalu melakukan itu)

Ps. Jarrid Wilson menyadari bahwa mencintai Yesus tidak selalu membuat semua penyakit mental itu pulih. Namun bukan berarti Yesus tidak menawarkan atau mendampingi kita. Dia selalu hadir di saat kita sedang mengalami duka yang mendalam. Dia hadir di saat kita mengalami tekanan yang begitu berat. Dia tahu luka yang kita alami. Dia tahu betapa beratnya beban yang kita pikul. Dia mengerti. Dia peduli. Di dalam keterpurukan kita, maukah kita tetap belajar untuk tinggal (abide) di dalam Dia? Maukah kita menangis di hadapan-Nya? Maukah kita tetap terus bergantung padaNya?

Saya tahu untuk tetap berpikir rasional di dalam kondisi yang seperti ini pasti sulit. Namun mari kita belajar untuk tetap bergantung dan tinggal di dalam Dia. Tuhan tahu apa yang kita alami. Dia pernah mengalami penganiayaan. Dia di-bully, disalahkan, dihina, direndahkan, bahkan dihukum untuk sesuatu hal yang tidak Dia lakukan. Bukankah itu menyedihkan? Itulah sebabnya Dia bisa kita andalkan. Di saat kondisi seperti ini, maukah kita tetap belajar percaya kepada Dia? Isu tentang kesehatan mental memang tidak pernah sederhana. Luka yang kita anggap sederhana, jika dibiarkan terus menerus akan menjadi luka yang mendalam. Kamu tidak berjuang sendiri, jangan ragu untuk berani merawat diri.