Senangnya, bila remaja bisa belajar di sekolah Kristen. Ini amat terasa karena mereka dapat bergaul satu frekuensi dan belajar bersama dengan sesama melalui label Kristen.

Masalahnya, apakah itu sungguh menjamin hadirnya ketenangan dan kebahagiaan? Rasanya tidak demikian. Justru sekolah Kristen bisa menghadirkan dua masalah tersendiri. Pertama, karena merasa sama-sama beragama Kristen, tidak perlu bersaksi. Kedua, tidak selamanya pelajar yang belajar di sekolah Kristen beragama Kristen. Banyak yang beragama lain. Justru ini menuntut adanya kesaksian. Berporos pada dua problem di atas, apa yang perlu dilakukan para remaja? Apakah remaja hanya akan diam dan tidak bertindak apa-apa, menjalani hari demi hari begitu saja? Saya rasa, ini tidak boleh terjadi. Peran remaja dalam bersaksi menjadi sebuah urgensi tersendiri di sekolah. Bagaimana caranya? Ini harus digumulkan dan dilakukan dalam keseharian. Saya mengusulkan tiga hal. Pertama, perkenalkan Kristus. Kedua, berpikir, berkata, dan bertindak seperti Kristus. Ketiga, menerima kerapuhan, dan terus meneladani Kristus.

Kenalkan Kristus

Kristus memang tidak hidup di masa sekarang. Ia ada di masa lalu dan jauh di sana. Memang benar, remaja bisa berjumpa dengan Kristus melalui kisah-kisah Alkitab dan pengalaman harian masa kini. Kisah-kisah Alkitab bekerja di wilayah pengetahuan. Ini bisa dibaca dan dipelajari siapa pun secara terbuka. Namun, pengalaman harian masa kini bekerja di wilayah iman. Ini tidak bisa dipelajari. Ini membutuhkan perenungan dan refleksi mendalam antara pengalaman dan pengetahuan akan kisah-kisah Alkitab. Kedua hal ini perlu dikerjakan dan diperkenalkan remaja di kehidupan sekolah. Ia bisa bercerita tentang Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya, atau mengingatkan karya-Nya bagi mereka yang meninggalkan-Nya. Tentu ini tidak mudah dilakukan. Remaja perlu pengetahuan dan refleksi yang mendalam agar ini dapat diterima secara optimal. Oleh karenanya, remaja perlu belajar terus-menerus mengenal Kristus dan karya-Nya dalam Alkitab. Kemudian, remaja perlu menarik hubungan antara Alkitab dengan kesehariannya di masa kini.

Menyerupai Kristus

Pengenalan akan Kristus yang dimiliki remaja menjadi modal besar bagi mereka untuk berpikir, berkata, dan bertindak. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan. Tidak mungkin remaja hanya memilih salah satu saja. Dengan kata lain, ketiganya harus dilakukan secara bersamaan atau simultan dalam praktik keseharian. Berpikir seperti Kristus berarti remaja perlu memetakan berbagai hal yang perlu dipikirkan sebagaimana Kristus akan melakukannya. Standar pemikiran dan cara menganalisis kehidupan diselaraskan dengan Kristus. Ini berarti ilmu pengetahuan yang ada di sekitar kita menjadi pelengkap dan penolong, tetapi tidak diutamakan dan dijadikan standar. Berpikir seperti Kristus berarti segala tindakan yang dilakukan semata untuk mewartakan Kerajaan Allah, dan menolong orang dapat mengenal dan mengalami perjumpaan dengan Allah Bapa.

Berkata seperti Kristus berarti remaja perlu mengatakan hal-hal yang membangun dan mengembangkan orang lain/komunitas. Membangun dan mengembangkan berarti tidak membiarkan orang lain/komunitas terpuruk, melainkan mengupayakan tercapainya pertumbuhan dan perkembangan. Bahkan lebih dari itu, perkataan ini bisa diintegrasikan dengan upaya pewartaan Kerajaan Allah. Remaja dapat membagikan kisah-kisah karya Kristus dalam Alkitab dan pengalaman bersama-Nya dalam kehidupan. Bertindak seperti Kristus berarti remaja perlu berlaku atau bertindak sebagaimana yang akan Kristus lakukan. Ia memulihkan dan menguatkan orang lemah. Karya-Nya dilakukan secara sadar, didasari warta yang hendak disampaikan Allah kepada manusia.

Warta bahwa Allah adalah kasih dan menyertai manusia dalam segenap kehidupan mereka. Bertindak seperti Kristus adalah hal yang sangat diharapkan terjadi setelah remaja berpikir dan berkata seperti Kristus. Bila hanya berpikir dan berkata saja, berarti karya Kristus terhenti sebagai bahan diskusi atau percakapan semata. Padahal, karya harus diwujudnyatakan dengan cara bertindak seperti Kristus.

Meneladani Kristus

Saya menyadari bahwa manusia itu tidak sempurna. Apalagi jika diharapkan dapat berpikir, berkata, dan bertindak seperti Kristus. Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan sebagai rangkaian sebuah kesaksian. Di sisi lain, ketidaksempurnaan ini tidak boleh dijadikan alasan oleh remaja untuk tidak bersaksi. Justru ketidaksempurnaan ini perlu dirangkul dan dibawa ke hadapan Allah. Lalu, izinkan Allah menuntun dan menaungi segenap perjalanan kehidupan. Dalam hal ini, saya menawarkan dua hal untuk dibahas, yaitu menerima kerapuhan dan terus meneladani Kristus.

Manusia adalah makhluk yang lemah dan rapuh. Kejadian 3:19 menunjukkan manusia diciptakan dari debu, dan akan kembali menjadi debu. Ayat ini sering diucapkan saat menerakan abu di dahi, kala peringatan Rabu Abu. Natur manusia yang rapuh justru menjadi ruang, sehingga manusia terbuka terhadap karya Allah dalam kehidupannya. 2Korintus 12:9-10 pun menunjukkan refleksi Rasul Paulus berkenaan akan hal itu. Paulus justru berbahagia di tengah kelemahan yang dimilikinya. Ini karena Kristus berkarya nyata dalam kelemahan dan kerapuhan manusia. Mengapa perlu ada kelemahan dan kerapuhan untuk dapat melihat karya Kristus? Untuk menjawabnya, kita perlu menyadari, dalam peristiwa penyaliban, Kristus berkarya di tengah kelemahan dan kerapuhan. Ini menunjukkan bahwa Kristus, Allah yang menjadi manusia, solider dengan kita. Natur-Nya sebagai manusia yang memang lemah dan rapuh tidak menghalangi-Nya untuk tetap taat kepada Allah.

 Keteladanan ini memungkinkan kita dapat belajar menilai keberadaan diri, dan menghayati karya Kristus yang besar itu. Kala mempelajarinya, remaja dipanggil untuk tidak berhenti berjuang memberi makna pada kelemahan dan kerapuhan yang dimilikinya, dan bersiap menerima serta membagikan kasih Kristus yang penuh rahmat itu.