Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 22 Oktober 2023
Bacaan Alkitab: Efesus 6:4
Seorang teman, pembina remaja-pemuda di salah satu GKI memberi nama generasi muda sekarang ini adalah generasi coronial, singkatan dari corona + milenial. Dua hal itu, pandemi karena virus corona dan tumbuhnya generasi milenial, membuat hidup dan relasi antara orang tua dan anak menjadi makin penuh dinamika.
Di tengah berubahnya zaman, konteks masyarakat yang berbeda, tuntutan kehidupan yang makin cepat bergerak, ada satu panggilan yang tetap dan tidak boleh dilupakan untuk dikerjakan, yaitu panggilan menjadi orang tua. Secara khusus tema ibadah hari ini menyasar peran ayah di tengah keluarga. Kenapa? Karena makin hari peran ayah sebagai kepala keluarga yang sekaligus juga sebagai pengajar iman dan teladan moralitas, makin tidak tampak, bahkan hilang. Dengan dalih sangat sibuk bekerja-mencari nafkah, peran untuk mengajarkan tentang pendidikan iman dan memberi pengajaran mana yang baik dan mana yang buruk, dialihkan pada pihak-pihak lain, seperti guru di sekolah, guru sekolah minggu, pembina remaja-pemuda di gereja atau pendeta.
Firman Tuhan dalam Efesus 6:4 menegaskan panggilan seorang ayah: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”
Konteks pada zaman itu di seluruh daerah kekaisaran Romawi berlaku hukum patria potestas, yaitu hukum yang menyatakan betapa tingginya kuasa seorang ayah. Sejak seorang anak lahir, seorang ayah Romawi bisa dengan sesuka hati mengakuinya sebagai anaknya atau membuangnya (jadi “anak gampang” – liar). Kalau seorang anak diakui ayahnya, maka sang ayah akan mendidiknya dengan keras, dapat mengikat dan menyesah anaknya sesuka hati bahkan menjualnya sebagai budak belian dan memberi wewenang untuk hukuman mati bagi anaknya. Tujuan kerasnya pendidikan anak itu adalah supaya si anak tumbuh menjadi orang yang berguna, unggul secara fisik maupun mental.
Nasihat firman Tuhan sungguh bernada lain, ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak-anaknya di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, tapi saat mendidik itu, orang tua tidak menyebabkan kemarahan atau kebencian dalam diri anak-anak, melainkan untuk membuat anak-anak tumbuh sebagai orang yang mengenal jalan Tuhan.
Kata “didiklah” di sini berarti luas, menyangkut tindakan-tindakan yang diperlukan pada waktu didikan itu diberikan, misalnya: menegur, menasihati, mendisiplinkan, memperbaiki, menghukum demi kebaikan. Justru, anak-anak diharapkan merasakan kasih dibalik tindakan itu. Karenanya yang jadi alat mendidik adalah ajaran dan nasihat dari Tuhan, bukan sekadar dari kata orang atau sekadar membandingkan dengan anak orang lain.
Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya sebagai bentuk kasih. Banting tulang, putar otak, peras keringat, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, itulah istilah-istilah yang diberikan untuk menggambarkan kerja keras yang dijalani orang tua, termasuk ayah, demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga, khususnya anak-anak. Disadari atau tidak, para orang tua itu adalah pahlawan di tengah keluarga. Namun memenuhi kebutuhan jasmani saja tidak cukup. Karena kesibukan kerja keras itu, seringkali para ayah tidak hadir dalam pertumbuhan anak-anaknya, atau kalaupun ada, tidak dirasakan keberadaannya.
Repotnya, ketiadaan ayah (juga sebenarnya ketidakhadiran ibu) di tengah keluarga, menimbulkan dampak negatif yang besar. Dalam buku Be a Better Dad Today dipaparkan data dari Father Facts Edisi V, National Fatherhood Initiative, 2007: anak-anak yang tumbuh besar tanpa didampingi seorang ayah, dua sampai tiga kali lipat lebih rentan mengalami kehancuran, seperti masuk penjara, berhenti sekolah, dipecat dari pekerjaan, menderita sejumlah gangguan mental, atau kecanduan obat terlarang atau alkohol. Itu data 16 tahun yang lalu. Keadaan sekarang apakah membaik, atau malah memburuk?
Maka mari para ayah, kembali tekan dan fungsikan “tombol utama dan penting” dalam peran kita di tengah keluarga, yaitu jadi “bapa kehidupan”, yang menjaga dan merawat keluarga dengan setia, yang rela berkorban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, tapi juga yang punya hati penuh kasih untuk hadir secara nyata mendampingi anak-anak dan memberi mereka didikan iman lewat teladan hidup.
Untuk jadi ayah yang baik sebagai “bapa kehidupan”, kita tidak perlu menjadi Superman, Spiderman, Batman atau superhero lainnya, cukup jadi seorang “gentle-man”, menjadi ayah yang bertanggung jawab atas keluarga, yang kehadiran dan kasihnya dilihat, dirasakan, dan dialami seluruh anggota keluarga.
Pdt. Danny Purnama