Nama saya Asyuni Nari, biasa dipanggil Yuni, dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Di sini saya merantau bersama adik dan tinggal di Bojong Nangka. Saya bekerja sebagai tenaga marketing di sebuah perusahaan konstruksi di Gading Serpong.

Saya baru kali ini merantau dan langsung hidup mandiri dengan biaya pas-pasan, jauh dari orang tua. Dan baru kali ini saya merasakan pahitnya hidup di perantauan, banyak suka duka yang harus kita hadapi tanpa bergantung pada orang tua. Hal itu membuat saya sadar atas apa yang pernah saya lakukan di masa lalu, entah itu ke orang tua, teman, dan orang-orang terdekat saya. Pertama sadar atas apa yang pernah saya lakukan ke orang tua. Dulu saya sering membuat mereka kecewa atas sikap dan tingkah laku saya semasa sekolah.

Dulu saya sering membantah mereka, dan sering mengeluarkan kata-kata kasar jika mereka tidak menuruti kemauan saya. Waktu lulus SMP, saya minta kepada orang tua untuk bersekolah di kota, karena teman-teman sekelas banyak yang melanjutkan studi di kota, saya pun tidak mau kalah dengan mereka. Saya langsung meminta kepada Mama, dia menyetujuinya namun Papa tidak memperbolehkan. Saya menangis di depan mereka, sambil mengeluarkan kata-kata kasar yang sering keluar dari mulut saya. Mama hanya bilang, “Ya mau bagaimana kalau Papa tidak memberi izin?” Sedangkan Papa hanya bilang, “Kalau kamu mau sekolah, di kampung saja, kalau mau di kota lebih baik tidak usah sekolah.” Muka Papa marah tapi ada sedihnya. Dengan keras saya langsung menjawab, ”Kalian memang tidak sayang padaku!” sambil menangis dan membanting pintu lalu pergi keluar.

Kepergian Papa

Dengan terpaksa saya melanjutkan sekolah saya di SMK Kristen Bittuang di kampung. Berjalannya waktu, ketika saya baru pulang sekolah, tibatiba ada tetangga saya mendapat kabar melalui telepon bahwa Papa kecelakaan. Saya dan Nenek kaget, bingung harus bagaimana. Saya langsung menelepon Mama saat itu, yang sedang berada di rumah duka. Mama juga sedang hamil muda. Mama langsung berjalan kaki pulang, yang jaraknya lumayan jauh, seakan berjalan di udara, katanya, karena kaget. Waktu Mama sampai di rumah, Mama langsung menelepon ke nomor Papa, namun diangkat orang lain yang menelepon ke tetangga tadi. Orang itu mengatakan kalau Papa sedang dirawat di Puskesmas, dan dokter merujuk untuk segera dibawa ke rumah sakit di kota yang perawatannya lengkap. Mama langsung membawa baju ganti Papa dan segera pergi ke Puskesmas dengan hati sedih, gemetaran. Sesampainya di sana, Papa langsung di bawa ke rumah sakit yang di Kota Makale, bersama beberapa kerabat.

Sedangkan saya disuruh Mama di rumah saja bersama adik dan Nenek, yang hanya bisa mendoakan kesembuhan Papa. Sekitar jam 5 sore, perasaan saya sudah tidak enak, dan Nenek pun tidak pernah berhenti menanyakan keadaan Papa. Saya hanya bilang kita doakan saja semoga Papa dapat tertolong.

Namun anehnya teman-teman banyak yang menelepon menanyakan kabar saya, tidak seperti biasanya. Hati semakin gelisah, saya pun menelepon sepupu saya karena dia ikut mengantar Papa ke rumah sakit, yang dijawab dengan suara tangis, hanya kata-kata..Papa kamu.. Papa kamu. Dan dia mematikan teleponnya, ketika saya tanya kenapa dengan Papa? Saya tidak tahan membendung air mata dan menangis sekencangkencangnya. Nenek tiba-tiba pingsan, semua keluarga datang berombongan dengan pakaian hitam. Di situ saya mulai sadar kalau ada sesuatu yang terjadi pada Papa. Ternyata Papa sudah meninggal, mereka berombongan datang untuk menyambut kedatangan jenazah Papa. Sebagian ke kota menjemput jenazah Papa. Ternyata keluarga yang lain sudah mengetahui lebih dulu kalau Papa sudah meninggal.

Hati semakin tidak sanggup mendengar kepergian Papa. Bersyukur Teks: Asyuni Nari; Ilustrasi: pixabay Sayangilah orang tuamu, bahagiakan mereka dan hormatilah semua orang yang ada di sekitarmu. Inspirasi 30 Januari 2020 - Juni 2020 Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ambulans yang bunyinya tiada henti semakin mendekat menandakan jenazah Papa sudah datang. Semua keluarga menangis dan mengerumuninya. Saya melihat Papa seperti sedang tidur, saya peluk dia, sambil berkata, “Papa bangun, aku sangat merindukanmu.. maafkan aku…” Tapi Papa tidak menjawab. Rasanya saya ingin menutup mata dan tidak mau melihat kejadian itu.

Tidak sanggup melihat Papa terbaring kaku seperti itu. Semua itu belum membuat saya sadar kalau Papa sudah tidak ada, dan masih terasa seolah-olah Papa masih ada dan hilir-mudik di depan saya. Setelah dimasukkan dalam peti pun, saya masih ke sekolah melakukan aktivitas saya seperti biasanya. Di sekolah teman-teman dan guru-guru heran melihatnya, mengapa saya yang sedang berduka tetap bersekolah. Tak terlintas di wajah saya rasa duka yang mendalam, karena saya merasa kalau Papa masih ada dan belum meninggal. Satu minggu kemudian Papa dikubur. Semua orang menangisi kepergian Papa, saya hanya meneteskan air mata tapi cuma sebentar karena di pikiran saya, itu bukan Papa.

Beberapa hari kemudian setelah Papa dikubur, saya mulai sadar kalau Papa sudah benar-benar pergi untuk selamanya. Saya mulai ditegur teman-teman di sekolah karena sering berkhayal, mengingat kisah-kisah bersama Papa, dan merasa rindu yang tak tertahankan. Berat rasanya menerima kenyataan itu. Tuhan memanggil Papa bukan di saat yang tepat menurut saya. Kata maaf belum terucapkan dari mulut saya selama Papa masih hidup. Membuatnya bahagia pun belum pernah saya lakukan.Sekarang kata maaf itu mudah saya ucapkan, tapi semuanya sudah terlambat, waktu sudah tidak bisa diputar kembali. Rasa bersalah itu selalu menghantui saya sampai sekarang ini, melihat seorang Papa di luar sana yang dibahagiakan anaknya, seorang Papa yang selalu menggandeng anaknya membuat saya iri dengan semua itu. Kasih sayang Papa tidak pernah saya rasakan lagi karena keegoisan saya. Setelah Tuhan memanggilnya, baru saya menyesal dan sadar kalau yang saya lakukan kepada mereka itu salah. Sembilan bulan kemudian, Mama melahirkan adik perempuan yang kami beri nama Sera, kebalikan dari nama Papa, Aser. Dua minggu setelah Sera lahir, dia terkena bintikbintik di semua badannya, bahkan kuku kaki dan tangannya pun ikut lepas. Selama dua tahun berobat ke dokter, hanya diberi salep oleh dokter, dan tidak ada perubahan. Setelah itu Mama juga ikut sakit, ada benjolan di payudara kirinya.

Awalnya hanya bintik kecil dan gatal kata Mama, lama-lama makin membesar dan membengkak. Tiap malam Mama tidak bisa tidur dan menangis menahan rasa sakit itu, sambil menyebut nama Papa… Saya hanya bisa diam dan ikut menangis mendengar Mama, karena saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berdoa semoga penyakit Mama dan Sera cepat dipulihkan. Selama tiga bulan Mama berobat di kampung, dan akhirnya bisa disembuhkan dan Sera juga sembuh.

Merantau ke Tangerang

Setelah lulus SMA, saya merantau ke Tangerang ikut Paman saya. Di situ saya mengerti arti jauh dari orang tua dengan rindu yang sangat menyiksa. Tapi hari demi hari saya lalui demi keluarga yang saya cintai.

Setelah beberapa bulan di Tangerang, Paman menyuruh saya untuk ikut pelayanan di Proskuneo. Saya mulai aktif pelayanan, dan mengikuti setiap kegiatan GKI Gading Serpong. Melalui pelayanan itu hati saya semakin dekat dengan Tuhan, hati saya semakin lebih baik dari sebelumnya. Saya juga ikut pelayanan di Sekolah Minggu agar waktu saya hanya untuk melayani Tuhan dan tidak terbuang sia-sia dengan hal-hal yang tidak berguna. Dulu saya juga pernah ikut “Wanita Bijak”, awalnya hanya sekedar ikut aja. Tapi di situ saya semakin mengerti cara menjadi wanita yang lebih baik. Banyak hal yang saya pelajari dari pembinaan itu, kita benar-benar dibimbing dan saling mendoakan. Saya sangat bersyukur bisa ikut pembinaan itu. Terima kasih untuk Tante Leny yang sudah mengajak saya.

Dan terima kasih juga untuk Bu Lily yang selalu setia mendampingi dan mendoakan saya, sehingga saya bisa jadi wanita yang lebih baik dan jadi Wanita Bijak termuda di angkatan ke-3 di GKI Gading Serpong. Saya sangat bersyukur Tuhan benarbenar mengubahkan saya dengan cara yang luar biasa. Sekarang saya bisa mengerti rencana Tuhan untuk saya, mengerti tentang kehilangan orang yang kita sayangi. Banyak suka-duka yang saya lalui tapi Tuhan selalu ada untuk saya. Saat saya jatuh, Tuhan menolong saya untuk bangkit. Memang benar lagu yang dinyanyikan Nikita, “Seperti pelangi sehabis hujan, itulah janji setiaMu Tuhan, di balik dukaku, telah menanti harta yang tak ternilai dan abadi.”

Bagi teman-teman semua, sayangilah orang-orang yang peduli terhadap kamu, terutama orang tuamu. Bahagiakanlah mereka, jangan pernah membuat mereka kecewa ataupun terluka. Karena kebahagiaan orang tua adalah melihat anak-anaknya bahagia. Saya sangat bersyukur Tuhan memberi saya jalan hidup yang penuh dengan lika-liku, karena lewat itu semua membuat saya semakin kuat dan bangkit atas semua masalah yang saya alami. Mengajarkan saya semakin bersabar dan tidak cepat berputus asa dalam melangkah di jalan yang Tuhan masih berikan untuk saya.