Saat itu bulan Maret 2020. Saya masih ingat bagaimana murid-murid sedang mempersiapkan ujian sekolah. Kemudian diumumkan PSBB selama dua minggu. “Dua minggu? Bagaimana saya bisa diam saja di rumah selama dua minggu?” pikir saya saat itu. Waktu berjalan dengan sangat lambat, saya pun menghitung hari dengan menonton film, dan mulai berencana membaca novel A, B, C … untuk menghabiskan dua minggu. Namun ternyata dua minggu itu bersambung ke dua minggu - dua minggu berikutnya. Perasaan was-was dan cemas pun mulai merasuki pikiran saya.

“Kamu mau ikut kelas hidroponik?” tiba-tiba saya mendapatkan chat dari Pdt. Robby Chandra, mentor saya saat mengikuti P321 (pelatihan kepemimpinan saat SMA) lebih dari dua puluh tahun silam. Saya ragu mengiyakannya, karena selama ini saya hampir tidak pernah memperhatikan tanaman. Bahkan ketika almarhum Papa saya menanam pohon mangga di rumah saya pun, saya tidak pernah menyiramnya. Sekian tahun setelah dia berpulang ke rumah Bapa, saya memanennya dan merasa takjub setiap melihat pohon itu berbuah.

Ehmm ... boleh, Pak.” Akhirnya saya mengiyakannya. Lalu beberapa zoom meeting pun berjalan. Kami dibagi dalam dua kelompok: kelompok serius dan kelompok santai. Kelompok serius diikutsertakan dalam kelas hidroponik yang ‘ketat’, wajib ikut aturan, dan ada tes tertulisnya. Kelompok santai, peraturannya tentu tidak ketat, tapi isi pelajarannya sama. Tentu saja saya ingin ikut kelompok yang santai.

“Kamu didaftarkan kelas GH (Graceful Hydroponics), ya!” saya membaca chat di WhatsApp. “Kak, … saya ikut kelas yang santai aja deh…” Balas saya kepada admin yang mengurus pembagian kelas. “Yah, nama kamu baru saja saya daftarkan!”

Dari situlah kisah pelajaran baru selama pandemi ini dimulai. Karena diinformasikan bahwa kelasnya serius, pelajaran pun saya terima dengan serius. Sebenarnya pada awalnya, ini karena saya merasa tidak enak hati saja pada Pdt. Robby Chandra, yang sudah mengajak saya belajar. Pada jam-jam tertentu, saya belajar melalui Whatsapp, mengikuti jadwal yang sudah ditentukan.

“Siapkan 10 botol AMDK, … gunting sesuai aturan!” “Potong rockwool dengan metode seperti ini…” “Nanti minggu depan ada tes!” “Tolong fotokan styrofoam box buah yang diminta, ukuran lubangnya harus sekian cm dari sisi kanan dan kiri!”

Rasanya kembali menjadi anak SMA yang sibuk dengan tugas praktikumnya. Kami belajar menyemai benih sawi dan selada. Terus terang untuk pertama kalinya saya melihat, bahwa benih-benih itu begitu kecil. Dengan hatihati saya mengambil beberapa benih, dan memperhatikannya satu per satu. Keesokan harinya, ketika melihat benih itu mulai bertunas, sebersit rasa sukacita mewarnai hati. Satu per satu benih itu dirawat dengan penuh kasih sayang, diletakkan di tempat yang terkena sinar matahari (bahkan setiap hari saya rajin membaca ramalan cuaca, untuk memprediksi apakah hari itu akan hujan atau tidak), mengoperasi tanaman yang tumbuhnya tidak baik (mengalami etiolasi), memberi nutrisi sesuai dengan jumlah daun (jadi dihitung daunnya satu per satu). Memperhatikan apakah ada hama di tanaman-tanaman tersebut, mengintip satu per satu helai daunnya.

Ketika salah satu anggota mengalami kegagalan dalam pertumbuhan tanamannya, kami saling mengadopsi tanaman teman, agar kami semua bisa lulus bersama.

Orang-orang di sekeliling saya kadang tersenyum melihat kegiatan saya. “Bu, kalau mau kangkung beli saja, sepuluh ribu rupiah sudah dapat banyak!” komentar karyawan saya, ketika saya dengan serius menitipkan tanaman kangkung padanya, ketika saya mau meninggalkan rumah.

Sampai akhirnya saat panen tiba, sungguh bahagia melihat sayur yang harganya tidak seberapa itu siap dipanen, menikmatinya dengan sukacita, melihat keajaiban benih menjadi sayur, dan dengan bangga memasaknya, lalu memamerkan hasilnya juga.

Tiba-tiba rasa cemas itu berganti dengan semangat pagi. Kesibukan harian membuat saya lupa rencana semula untuk membaca berjilid-jilid novel. Setiap pagi ketika bangun, saya langsung menengok pertumbuhan sayur-sayuran itu, mengumpulkan foto yang akhirnya menjadi sebuah rutinitas, sampai kelas berakhir. Sering kali ketika mendengar begitu parahnya pandemi ini, kecemasan itu datang kembali, namun melihat butiran benih sawi, mengingatkan saya pada Matius 17:20, yang mengatakan bahwa iman sebesar biji sesawi pun dapat memindahkan gunung.

Sekarang dalam grup kecil, kami tetap saling berhubungan dan berkomunikasi membahas tanam-tanaman, walaupun kami mengakui setelah kelas berakhir, tanaman sayur yang kami tanam tidak sebagus saat mengikuti kelas dulu (karena dulu semua wajib untuk dilaporkan, jadi selalu terpantau).

Namun ini merupakan dunia yang betul-betul baru bagi saya, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Melihat satu tahun ke belakang, Tuhan memberikan pelajaran dalam pandemi ini. Tuhan membukakan pada saya sebuah komunitas baru, memberikan kesempatan pada saya untuk bersahabat dengan teman-teman yang berbeda. Dan terutama mengajarkan saya arti pemeliharaan Tuhan. Melalui benih yang kecil, Tuhan mengingatkan saya, bahwa kehidupan adalah sebuah mukjizat. Setiap melihat matahari, saya teringat pada tanaman sayur yang pertumbuhannya sangat bergantung pada sinarnya, melihat pemeliharaan Tuhan kepada manusia melalui proses fotosintesis. Walaupun kelas telah berakhir, dalam komunitas kadang kami mengikuti acara semai jenis tanaman tertentu secara bersama-sama, seperti semai bersama tanaman kale, microgreen, atau selada RZ. Belajar hal-hal lain, seperti membuat tempe, eco-enzyme, kokedama. Yang bisa saya ikuti, saya ikuti, yang tidak bisa, biasanya teman-teman dalam grup kecil akan saling menginformasikan metodenya.

Pandemi ini belum berakhir. Hari ini, saat saya menulis tulisan ini, berita harian menunjukkan angka yang terinfeksi di Indonesia mencapai lebih dari empat belas ribu orang per hari. Beberapa kenalan mengalami kehilangan materi dan orang-orang terkasih. Mungkinkah nanti bisa lebih banyak lagi? Atau vaksinasi yang mulai dilakukan berhasil mengecilkan angka jumlah penderita COVID-19? Kita pun tidak tahu. Harapan dan doa kita semua, pandemi cepat berlalu.

Namun apa pun yang terjadi, sama seperti lirik lagu yang dicatat dalam NKB 195, yang diterjemahkan dari It is Well, “Kendati hidupku tent’ram dan senang, dan walau derita penuh. Engkau mengajarku bersaksi tegas: S’lamatlah, s’lamatlah jiwaku.” Pengalaman kita semua berbeda dalam pandemi ini, namun pemeliharaan Tuhan sama. Badai kehidupan melanda setiap orang percaya maupun yang tidak percaya. Tapi Tuhan ada dalam badai, mengajar kita tegar, mendampingi kita semua. Marilah kita seperti Horatio Spafford, yang walaupun mengalami kedukaan dalam kisah hidupnya, mengatakan, “Whatever my lot, Thou has taught me to say, it is well, it is well, with my soul."