Musa tidak pandai bicara. Rahab hanyalah seorang pelacur. Yakub anak mama yang tega menipu ayah dan saudara kembarnya.

Daud hanyalah penggembala domba, anak bungsu yang bahkan tidak meyakinkan di mata ayahnya. Yusuf anak manja kesayangan ayahnya, yang dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya. Ester seorang ratu kecantikan. Petrus seorang nelayan yang suka omong besar. Saulus bahkan seorang Farisi fanatik penganiaya jemaat. Tuhan ternyata mau menggunakan orang-orang biasa yang penuh kelemahan untuk menjadi alat yang berkuasa di tangan-Nya. Kita dapat melihat sosok diri kita di posisi Musa, yang melakukan tawar-menawar ketika dipanggil Tuhan. Betapa kita pun, ketika dipanggil untuk melayani sering berlambatlambat, mencoba mengelak dari panggilan itu?

Rasa berdosa, merasa tidak layak menjadi hamba Tuhan, rasa tidak percaya diri karena merasa tidak punya kemampuan dan kuasa, rasa tidak rela meninggalkan ambisi dan kesenangan kita sendiri, bahkan rasa benci dan sakit hati pada mereka yang kepadanya kita dipanggil untuk melayani, sering menjadi alasan kita menolak panggilan itu. Tetapi siapakah yang tidak pernah berdosa, yang punya superpower, yang sedemikian suci, sehingga sangat siap pakai ketika Tuhan memanggil? Tak seorang pun, bahkan lewat pengalaman jatuh-bangun dalam kehidupanlah Tuhan mempersiapkan seseorang untuk menjadi hambaNya. Abraham, bapa orang percaya, sampai dua kali tega membiarkan istrinya nyaris diambil orang lain, demi melindungi nyawanya, sebelum ia dapat mempercayai Allah sepenuhnya, hingga rela mempersembahkan anak yang dinanti seumur hidupnya sebagai korban bakaran.

Petrus yang begitu percaya bahwa dirinya sanggup bertahan mendampingi Yesus ketika diadili, harus menerima kenyataan pahit, bahwa ternyata ia seorang pecundang, yang bahkan sampai tiga kali menyangkal mengenal gurunya. Tidak setiap saat kesempatan itu datang. sehingga memori dan jiwa kita selalu disegarkan, dipenuhi oleh firman hidup Kejatuhannya yang memalukan itulah yang akhirnya bisa membuatnya dengan rendah hati mengakui, bahwa ia belum mampu mengasihi Tuhan sepenuhnya, dan justru di saat itulah, Tuhan baru memanggilnya untuk menggembalakan dombadomba-Nya. Pengalaman hidup yang pahit pun dapat dipakai-Nya sebagai alat pembentukan dalam rencanaNya yang tak pernah gagal. Ketika Yusuf bertemu kembali dengan saudara-saudaranya yang dahulu mencelakainya, ia berkata “Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (Keluaran 45:4-5).

Tiada penyesalan dan kemarahan yang ditunjukkannya, karena ia telah menyadari dan memahami rencana Allah atas hidupnya. Justru mereka yang pernah mengalami penolakan dan kepahitan dalam kehidupanlah yang kemudian dapat dipakai Allah secara luar biasa, karena ia sanggup menyelami penderitaan, penolakan, dan rasa keputusasaan yang dialami oleh mereka yang dilayaninya. Tanpa pernah mengalami sendiri pengampunan, penerimaan, penyertaan, pertolongan, dan kuasa Tuhan, maka segala pengetahuan tentang kasih dan kuasa Allah hanya akan tinggal menjadi jargon kosong, yang tidak berkuasa untuk mengubahkan orang lain, bahkan diri kita sendiri. Pengalaman sespektakuler apapun, akan segera berlalu dari memori. Tanpa bergaul akrab dengan-Nya hari demi hari, maka pengalaman-pengalaman itupun hanya akan sekedar menjadi kenangan manis. Perlu kedisiplinan untuk terus memelihara kehidupan doa dan membaca firman-Nya, sehingga memori dan jiwa kita selalu disegarkan, dipenuhi oleh firman hidup, agar kita siap, kapan pun panggilan melayani itu datang. Dan firman yang keluar dari mulut orang yang pernah mengalami sendiri kuasa firman yang dibawakannya, itulah yang paling berdampak pada mereka yang menerimanya.

Kapan panggilan itu datang? Tak seorang pun tahu. Mungkin ketika kita sedang asyik bermain gadget, tiba-tiba terdengar asisten rumah tangga kita menangis, karena memikirkan rumahnya akan disita penagih utang. Mungkin ketika sedang membangun karier, kita merasakan desakan Tuhan agar kita menjadi seorang hamba Tuhan full timer. Mungkin saat kita sedang sibuk merencanakan liburan, mendadak orang tua kita sakit keras, sehingga harus mendampinginya berminggu-minggu di rumah sakit. Perlu kepekaan dan kerelaan untuk melepaskan agenda kita, dan menjalankan agenda-Nya. Tidak setiap saat kesempatan itu datang. Adalah suatu kehormatan jika Sang Penguasa Alam Semesta ini meminta kita (ya, kita!) untuk menjadi alat-Nya saat ini. Jangan sia-siakan kesempatan itu!

Tidak semua orang enggan melayani. Ada juga orang yang justru luar biasa bersemangat. Matanya selalu melihat banyak kebutuhan di sekitarnya. Ada orang-orang sakit yang perlu dilayani. Ada rapatrapat di gereja. Ada masyarakat miskin di lingkungannya yang perlu ditolong. Jiwa mereka begitu kosong, tanpa harapan. Betapa ingin ia mengabarkan Injil di sana. Belum lagi, ia terdaftar sebagai panitia camp remaja. Ia juga sudah berjanji menjadi worship leader di acara malam puji dan doa. Ia harus meluangkan waktu untuk berlatih dengan pemain musiknya. Begitu banyak yang harus dipersiapkan. Semuanya begitu menguras waktu dan tenaga. Padahal, di kantor pun sedang banyak urusan. Begitu sibuknya, sampai makan dan tidur pun terkadang perlu ditunda. Apalagi berolah raga, wah, sudah tidak sempat! Tidak heran, jika kemudian ia ambruk kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Rupanya ia lupa, ini bukan one-man-show, melainkan sebuah teamwork. Mengapa seolaholah tanpa dirimu, semua pekerjaan itu akan berantakan?

Tuhan bisa memakai engkau, tapi Ia pun bisa memakai orang lain. Jangan merasa bahwa seolah-olah semuanya hanya bergantung padamu. Sesungguhnya, Tuhanlah pemilik seluruh pekerjaan itu. Menyelamatkan seluruh dunia adalah sebuah proyek raksasa, yang dipimpin oleh Allah sendiri. Bagaikan seorang pecatur yang andal, Tuhanlah yang mengendalikan semuanya. Ia yang menyusun strategi. Ia yang menempatkan bidak-bidak sesuai dengan spesifikasi dan kemampuan masing-masing. Berserahlah dan peka pada pimpinan-Nya. Ia tahu apa yang Ia lakukan.

RencanaNya jauh lebih sempurna daripada rencana kita. Kita adalah bidak di tangan-Nya. Tanggung jawab kita adalah siap sedia untuk maju kapanpun dan kemanapun Ia hendak menempatkan kita. Seperti dalam permainan catur, ada kalanya si pecatur seolah mengalah, beberapa bidak pentingnya dimatikan. Demikian pula yang kita alami dalam pelayanan. Doa kita seolah tak terjawab. Mereka yang kita layani tampaknya tak bergeming. Seolah semua upaya kita sia-sia. Kita pun menjadi kecil hati dan kecewa. Tanpa kita ketahui, mungkin kita sedang bermain sebagai pion yang geraknya begitu terbatas. Ia sedang mempersiapkan kuda dan menteri untuk melanjutkan langkah berikutnya, sesuai strategi-Nya, seperti yang dialami Paulus: ia yang menanam, Apolos yang menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Kor 3:6).

Tidak perlu berkecil hati. Lakukan saja bagian kita. Bukan pion, bukan kuda, bukan menteri yang memenangkan pertandingan, melainkan strategi pecaturnya. Keberhasilan pelayanan itu bukan ditentukan oleh kehebatan kita, melainkan oleh Dia, Sang Empunya Alam Semesta, dan hanya Dialah yang kelak berhak menerima tepuk tangan yang membahana, ketika pertandingan telah dimenangkan.