Bicara tentang ketaatan, kita akan teringat pada orang tua, guru, pemerintah, atau atasan kita di tempat kerja.

Menurut KBBI, taat berarti senantiasa tunduk, patuh. Sering kali pengertian senantiasa tunduk dan patuh itu disalahartikan oleh otoritas yang lebih tinggi. Mereka menganggap orang-orang yang berada di bawah otoritasnya wajib mengikuti peraturan atau kehendak mereka, tidak peduli itu benar atau salah, dosa atau tidak dosa. Beruntunglah kita, karena “otoritas tertinggi” kita adalah Tuhan, sehingga kita tidak perlu khawatir untuk taat kepada-Nya. Perintah Tuhan tidak pernah salah. Peraturan-Nya tidak pernah membuat manusia yang mengikutinya menjadi berdosa. Tetapi tidak jarang pula, dalam usaha menaati Tuhan, kita mendapatkan tekanan dari dalam diri sendiri atau lingkungan, yang membuat kita menjadi lepas kendali dan berbuat dosa. Alkitab mencatat ada seorang tokoh yang hubungannya sangat dekat dengan Allah, yaitu Musa (Bilangan 12:7-8).

Karena ketaatannya, Allah “menyerahkan” umat pilihan-Nya untuk ia pimpin. Boleh dikatakan, dialah pemimpin terbesar bangsa Israel. Pembentukan Musa oleh Allah dimulai sejak ia masih kecil. Pertama-tama, adalah pembentukan dalam hal pengenalannya akan Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub dibentuk selama dia berada di tengah-tengah keluarganya (Keluaran 2:9). Kemudian ia mendapatkan pembentukan dalam hal ilmu pengetahuan selama berada di istana Mesir (Keluaran 2:10). Terakhir adalah pembentukan emosinya, yaitu pada saat Musa tinggal di tanah Midian (pekerjaannya sehari-hari adalah menggembalakan kambing domba ayah mertuanya) dan itu membuatnya menjadi lebih tenang dan sabar (Keluaran 3:1). Pada saat memimpin bangsa Israel, Musa menjadi seorang pemimpin yang taat kepada Allah (Keluaran 40:16), berhikmat (Keluaran 18:13-26), dan berhati lembut (Bilangan 12:3), seorang pemimpin yang “sempurna”. Benarkah demikian? Alkitab mencatat, Musa memiliki masalah dengan pengendalian diri.

Dua kali Musa melakukan kesalahan fatal akibat tidak dapat mengendalikan emosinya. Yang pertama adalah pada saat Musa masih di Mesir. Keluaran 2:11-15 mengisahkan Musa melihat ada seorang Mesir yang memukul seorang Ibrani. Tanpa berpikir panjang, dia membunuh orang Mesir tersebut. Musa tidak dapat mengendalikan emosinya melihat saudara sebangsanya dipukul oleh bangsa lain. Sebagai buntut peristiwa tersebut, dia harus “ditempa” di Midian selama 40 tahun untuk mengendalikan dirinya, waktu yang tidak sebentar.

Seharusnya setelah melalui masa penempaan itu, dia menjadi seorang yang sudah teruji. Nyatanya tidak. Kedua kalinya Musa lepas kontrol, terjadi pada saat dirinya sudah menjadi pemimpin bangsa Israel. Bilangan 20:2-13 jelas mencatat kesalahan Musa. Pada saat diperintahkan Tuhan untuk berbicara kepada bukit batu supaya mengeluarkan air, Musa justru memarahi bangsa Israel dan memukul tongkat yang dipegangnya ke bukit batu tersebut. Tuhan memang tetap memberikan air, tetapi setelah kejadian itu Ia menegur Musa dan memberi hukuman bahwa ia tidak akan masuk ke Tanah Perjanjian. Tidak seperti Musa, dalam keberadaan-Nya sebagai manusia, Yesus beberapa kali berada pada situasi yang menguji pengendalian diri-Nya, namun Ia tidak pernah gagal. Pertama, pada saat berada di Gerasa, Yesus mengusir roh jahat dari seorang yang kerasukan Legion, roh jahat yang berjumlah banyak, ke kawanan babi yang merupakan hewan ternak milik penduduk di sana (Markus 5:1-20).

Alih-alih berterima kasih, penduduk Gerasa malah “mengusir” Dia, karena dianggap menimbulkan ancaman (memiliki kemampuan mengusir setan) dan merugikan (menyebabkan hewan ternak yang jumlahnya ribuan itu mati). Yesus bisa saja tersinggung dan marah, tetapi Dia memilih mengikuti keinginan mereka, dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Yesus tetap mengasihi orang-orang Gerasa. Ia meminta orang yang tadinya kerasukan setan itu untuk kembali kepada orang-orang sekampungnya, dan menceritakan tentang perbuatan Tuhan terhadap dirinya, serta bagaimana Tuhan mengasihani dia (Markus 5:19).

Kedua, pada saat Yesus mengajar di tempat asal-Nya, Nazaret, Dia mengalami penolakan dari orang-orang setempat. Mereka tidak percaya Ia berkuasa mengajar, membuat mukjizat, dan menyembuhkan orang sakit (Markus 6:1-6). Mereka tidak mau mengakui, tetangga mereka yang merupakan tukang kayu, adalah seorang yang sudah banyak membuat mukjizat di kota-kota lain. Yesus bisa saja marah dan menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan membuat mukjizat yang spektakuler atau menghukum mereka, namun itu tidak dilakukan-Nya. Yesus dapat mengendalikan diri dan hanya mengatakan, "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya." Dia tidak terpancing dengan provokasi dari orang-orang yang dilayani-Nya. Yesus tetap tenang dan melayani orang-orang yang percaya kepada-Nya.

Ketiga, pada saat Yesus ditangkap dan digiring ke rumah Imam Besar, Dia dikecewakan oleh Simon Petrus. Petrus menyangkal diri-Nya sampai tiga kali, padahal Yesus sudah memperingatkannya (Lukas 22:54-62). Penderitaan fisik yang dialami, ditambah dengan perasaan dikecewakan oleh murid yang diandalkan, sangat mungkin membuat Yesus kehilangan kendali. Apalagi sesungguhnya Yesus memiliki kuasa untuk keluar dari situasi tersebut, karena Dia adalah Allah. Tetapi Yesus tetap dapat mengendalikan diri dan taat kepada rencana Bapa di Surga, yaitu menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Yesus tidak menolak Petrus. Dia tetap mengasihi dan memercayai Petrus. Bahkan Petrus diberikan kepercayaan untuk menggembalakan jemaat-Nya (Lukas 22:61, Yohanes 21:15-17). Masih banyak lagi pengendalian diri Yesus yang dicatat dalam kitab-kitab Injil, seperti pada saat dicobai iblis di padang gurun, menghadapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang ingin menjebak Dia, dan sebagainya. Tetapi tidak ada satu pun catatan di Alkitab yang menuliskan Yesus gagal mengendalikan diri-Nya. Bisa jadi Musa gagal mengendalikan diri karena kepercayaan dirinya yang berlebihan.

Ketika membunuh, Musa menganggap dirinya benar, karena prajurit itu sudah menganiaya orang Israel yang merupakan umat pilihan Allah. Mungkin Musa menganggap Allah akan menyetujui/membenarkan tindakannya, dan akan melindungi keselamatannya. Bisa juga Musa berpikir, dirinya adalah anggota keluarga Kerajaan Mesir, maka tidak akan jadi masalah jika dia membunuh seorang prajurit. Ternyata respons Raja Firaun sebaliknya. Dia marah besar, bahkan menyuruh pengawal-pengawalnya menangkap Musa.

Peristiwa Musa memukul bukit batu dengan tongkatnya juga menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan. Terdorong oleh emosi karena selalu disalahkan oleh orang Israel, Musa “menggampangkan” perintah Allah. Mungkin kedekatan dirinya dengan Allah membuat Musa merasa Allah tidak akan keberatan jika dia mengeluarkan air dari bukit batu secara lebih dramatis. Tetapi Allah marah, karena Musa tidak menghormati kekudusan-Nya (Bilangan 20:12). Berbeda dengan Yesus. Walaupun hubungan-Nya dengan Bapa sangat dekat, Yesus selalu taat melakukan kehendak Allah Bapa.

Bahkan saat bergumul di Taman Getsemani, Yesus tidak menggunakan keallahan-Nya untuk menghindari jalan salib. Ia taat pada kehendak Bapa untuk memenuhi rencana-Nya menebus dosa manusia (Matius 26:42). Bagaimana dengan kita? Sering kali kita merasa hubungan kita dengan Tuhan sangat dekat. Kita banyak melakukan pelayanan di gereja, atau membawa banyak orang percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat, sehingga kita menjadi terlalu percaya diri.

Kita mulai menggunakan standar ketaatan sendiri, bukan Firman Tuhan. Kita juga mulai “mengendalikan” Tuhan dan bukan mengendalikan diri sendiri untuk menaati Dia. Pengendalian diri sangat diperlukan agar kita dapat merendahkan diri di hadapan Tuhan, agar kita dapat taat pada kehendak-Nya.