Tidak ada satu tempat pun dalam dunia batiniah kita yang dapat terpisah dari yang lain dan tidak ada satu inci pun dari keberadaan umat manusia dimana Kristus yang berdaulat atas segala sesuatu itu tidak berkata,“Bagian ini adalah MilikKu!”

Kutipan tersebut adalah kalimat Abraham Kuyper yang paling terkenal. Diucapkannya dalam pidato peresmian Vrije Universiteit di Amsterdam pada tahun 1880. Dalam pidatonya, Kuyper menekankan pentingnya kesadaran untuk tidak membatasi Alkitab hanya sebagai milik para teolog saja, melainkan milik semua orang dengan cara menjadikan wawasan dunia Kristen Alkitabiah sebagai landasan dan kerangka berpikir semua bidang ilmu kehidupan (bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, medis, seni, sains, dll).

Kuyper meyakini hanya ada dua alternatif iman, yaitu iman yang meninggikan Kristus atau iman yang menyangkali Kristus. Menghadapi modernisasi, Kuyper percaya bahwa orang-orang Kristen seharusnya tidak hanya berpangku tangan dan menyerahkan perubahan zaman di berbagai bidang kehidupan ke dalam tangan orang-orang sekuler yang tidak mengenal Tuhan. Semua orang Kristen, menurut kapasitas mereka masing-masing, dipanggil Tuhan untuk menggarami segala segi kehidupan, baik itu sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemuliaan Kristus. Untuk mengaplikasikan panggilan sosial dan budaya di tengah-tengah perubahan zaman, Kuyper melihat perlunya umat Tuhan memiliki pola pikir dan cara pandang tentang kehidupan yang sepenuhnya berakar pada iman kepada Kristus. Cara pandang seperti itulah yang kelak disebut Kuyper sebagai “wawasan dunia Kristen”.

Masa Pembentukan

Abraham Kuyper dikenal sebagai seorang gembala, politikus, jurnalis, filsuf, pendidik, budayawan dan teolog dari Belanda. Ia pernah menjadi perdana Menteri Belanda dari tahun 1901-1905. Lahir di desa nelayan di Maasluis, Belanda pada 29 Oktober 1837. Ayahnya J.F. Kuyper adalah seorang pendeta dari gereja Hervormde Kerk. Kuyper dididik dalam keluarga yang mengutamakan home schooling sampai saat ayahnya mendapatkan kesempatan meneruskan pendidikan kependetaannya di Leiden. Di Leiden, Kuyper mendapatkan pendidikan formal selama enam tahun. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden. Kuyper lulus dengan dua gelar, yakni dalam bidang sastra (1857) dan filsafat (1858).

Masa Pertobatan

Pertobatan Kuyper terjadi saat ia kuliah dan mempersiapkan diri menjadi pendeta. Saat itu, ia membaca buku fiksi tulisan Charlotte M. Yonge, The Heir of Redcliffe. Ia tersentuh dengan kisah bagaimana Tuhan bekerja merendahkan hati tokoh utama yang sangat angkuh itu. Beberapa hari kemudian ia bertemu dengan seorang gadis desa bermana Pietronella Baltus. Ia sangat terkejut karena sang gadis menolak untuk berjabatan tangan. Yang lebih mengejutkan adalah sang gadis dengan lantang menjelaskan bahwa ia tidak mau berjabatan tangan dengannya, karena Kuyper orang yang sangat angkuh dan jelas belum mengalami pertobatan sehingga tidak layak untuk menjadi pendeta. Mendengar itu ia sangat terpukul.

Pikirannya langsung melayang dan berhenti pada kisah buku fiksi tersebut. Ia melihat tangan Tuhan yang sama sedang memperkarakan keangkuhannya. Kuyper mengenang masa itu dan menuliskan, “Saya baru sepenuhnya mengerti apa yang saya jalani dalam hidup saya. Saya telah mengesampingkan apa yang sebelumnya sangat saya hargai dan saya mencari kembali apa yang sebelumnya pernah dengan berani saya hina.”

Masa Pelayanan

Kuyper meneruskan pendidikannya dalam bidang teologi di Leiden hingga mencapai gelar doktoral pada Mei 1862. Pada tahun 1863 ia menjadi gembala di gereja Hervormde Kerk di Beest dengan 35.000 jemaat. Pada zaman itu, Kuyper memperhatikan peranan negara sangat kuat mengatur gereja. Kuyper melihatnya sebagai hal yang tidak ‘sehat’. Maka pada tahun 1866, dia membuat pernyataan yang keras dan memulai usulan adanya pemisahan gereja dan negara dengan menentang sistem hierarki dan peran raja pada gereja Hervormde Kerk. Banyak yang mendukung pemikirannya, beberapa tahun kemudian lahirnya denominasi baru yang diberi nama Nederduitsche Gereformerde Kerken. Pada tahun 1867 Kuyper pindah ke Utrecht, melayani sebuah gereja yang memiliki pandangan sama dengan pemikirannya. Tahun 1870, Kuyper melayani dalam lingkup yang lebih besar, menjadi salah satu dari 28 pendeta yang melayani 140.000 anggota jemaat dan 136 majelis di seluruh kota Amsterdam. Semua orang Kristen, menurut kapasitas mereka masing-masing, dipanggil Tuhan untuk menggarami segala segi kehidupan, baik itu sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemuliaan Kristus.

Masa Pengabdian: Teologi, Pendidikan dan Perdana Menteri

Semasa kariernya di Amsterdam, Kuyper menunjukkan minat yang sangat besar terhadap situasi politik dan kehidupan sosial di negaranya. Sambil tetap menggembalakan gerejanya, Kuyper mulai merintis karier dalam bidang jurnalisme. Kuyper mengembangkan salah satu gagasan yang cukup penting dalam teologi Kristen, yakni gagasan “antitesis”.

Ia berpendapat bahwa ada dua dunia yang sedang bertumbuh, yakni dunia yang sudah jatuh dalam dosa dengan daya rusak yang sangat kuat di dalamnya, dan dunia orang percaya yang sudah ditebus yang dapat membawa pengharapan. Ia berpendapat di dunia berdosa ini, orang Kristen harus mampu membawa pengaruh positif sebagai bentuk perlawanan (anti-tesis) terhadap pengaruh kekuasaan dosa yang merusak umat manusia melalui partai politik, sistem pendidikan, dan lembaga lainnya dengan warna Kristiani. Gagasan itu menginspirasikannya membuat Perkumpulan Heraut (Heraut Society) yang terdiri dari orang-orang Kristen dari Gereja Reformed di Belanda. Perkumpulan ini akhirnya membeli perusahaan jurnalisme De Heraut dan mengangkat Kuyper sebagai pemimpin redaksi.

Tahun 1872, Kuyper menerbitkan harian lain dengan nama De Standaard yang terbit setiap hari, sementara itu De Heraut tetap terbit seminggu sekali. Dalam karier selanjutnya di bidang politik, Kuyper memanfaatkan kedua surat kabar tersebut sebagai sarana sosial untuk mempublikasikan pandanganpandangannya. Sepanjang kariernya, Kuyper telah menulis ribuan artikel yang mendorong orang-orang Kristen untuk berperan aktif menanggapi isu-isu sosial di Belanda. Bersamaan dengan itu, Kuyper juga mempublikasikan refleksi-refleksi rohani untuk menguatkan iman orangorang Kristen. Singkat kata, jurnalisme bagi Kuyper adalah sarana yang efektif untuk menjangkau sebanyak mungkin orang dan mendidik mereka tentang wawasan berpikir yang berakar pada iman Kristiani alkitabiah. Pada 1873 ia terpilih sebagai anggota parlemen pemerintah Belanda. Sejak terpilih sebagai anggota parlemen, Kuyper mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap isu-isu sosial di negaranya.

Kuyper mendapatkan panggilan untuk menjadi gembala di wilayah politik. Ia melepaskan jabatannya sebagai gembala gereja pada 1874, dan mulai mengarahkan hidupnya dalam bidang politik hingga akhir hidupnya. Keputusan tersebut didasarkan atas keyakinan Kuyper, yaitu bahwa kekristenan harus dapat berperan lebih besar di masyarakat dan ia berkehendak menjadikan dirinya model dari kekristenan yang berdampak tersebut. Pada 1879, Kuyper mendirikan partai politik Kristen Protestan yang dikenal dengan nama Anti-Revolutionary Party. Salah satu misi utama partai ini adalah untuk memperjuangkan penyetaraan subsidi di antara sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah Kristen di Belanda.

Melihat kebutuhan pendidikan Kristen yang sangat besar di Belanda. Kuyper memperhatikan tiga universitas besar di Belanda yaitu Leiden, Utrecht, dan Groningen, yang dikendalikan oleh negara dan karenanya cenderung berkompromi dengan pemikiran modernisme yang atheis dan menolak kekristenan. Ketidakpuasan Kuyper membuahkan gagasan mendirikan sebuah universitas Kristen yang sepenuhnya berlandaskan iman Kristen. Dan pada tahun 1880, ia mendirikan Vrije Universiteit di Amsterdam. Di universitas itu, dia menjabat sebagai profesor teologi. Pemikiran Kuyper yang ditulisnya secara konsisten di surat kabar dan pengaruhnya di dunia politik membawanya terpilih sebagai Perdana Menteri Belanda pada tahun 1901-1905. Setelah lengser dari jabatannya, Kuyper terus mempengaruhi komunitasnya dengan tulisan rutin mingguan di dua surat kabar itu sampai akhir hidupnya. Ia meninggal di kota Hague pada 8 November 1920, di usianya yang ke-83 tahun.

Penutup: Warisan Kuyper

Kuyper sudah tiada namun warisan dan teladannya menjadi inspirasi bagi perkembangan kekeristenan abad millenium ini. Salah satu dampak dari pengaruh Kuyper adalah pembentukan gereja Nederduitsche Gereformerde Kerken yang menjadi salah satu zending pengutus misionaris yang melayani jemaat Indonesia. Buah dari pelayanan misi tersebut adalah jemaat lokal yang berkembang menjadi GKI Kwitang (Jakarta) dan GKI Taman Cibunut (Bandung).

Princeton Theological Seminary, Amerika, yang mengagumi pemikiran dan sumbangsih Kuyper, mendirikan lembaga yang memberikan penghargaan khusus untuk tokoh Kristen dunia yang menerapkan pemikiran Kuyper dalam bidang sosial, politik dan budaya. Kita patut berbangga karena salah seorang yang dianugerahi ‘Kuyper Prize for Excellence in Reformed Theology and Public Life’ oleh Princeton Theological Seminary pada tahun 1999 adalah pendeta dari GKI, bernama alm. Pdt. Eka Darmaputera. Semoga Tuhan membangkitkan lebih banyak lagi “Abraham Kuyper” untuk Indonesia.