24 Desember 2000, Ben berusia 3 tahun, Opa berusia 70 tahun. Melihat Iklan Kalkun.

Ben kecil sedang bermain mobilmobilan, ketika Opa sedang terus berkelana, mengganti-ganti saluran televisi, mengulur waktu setiap harinya. Tiba-tiba, televisi Opa menampilkan iklan seorang pengemis, yang sedang menatap sebuah keluarga menyantap makan malam, yang terdiri dari kalkun besar, sambil tertawa penuh kehangatan di dalam rumahnya, pada hari Natal, dengan slogan “Hidup harus menciptakan cahaya.”

Ben kecil yang belum mengerti, bahwa slogan bisa menjadi panduan untuk hidup seseorang, berfokus pada kalkun dalam iklan itu. “Opa, lihat deh! Mereka makan kalkun. Ben mau makan kalkun, Opa!” Opa yang mendengar slogan tersebut, terpana dengan kata “Menciptakan cahaya,” tak menghiraukan ucapan Ben yang mengatakan, bahwa ia mau makan kalkun.

Sepanjang makan malam, Ben pun terus merengek, berusaha menangkap perhatian Opa. “Opa, Ben mau makan kalkun!” Hingga akhirnya, Ben berhasil meraih perhatian Opa, “Iya, Cu, nanti kita makan kalkun.” Ben tinggal di San Jose, California, bersama ayah dan opanya, di mana tradisi Natal identik dengan budaya makan kalkun. Ayahnya adalah seorang pebisnis sukses, dan Opanya adalah seorang veteran Perang Dunia II.

Tentunya, sebagai veteran Perang Dunia II yang mendapat tunjangan dari pemerintah, mereka dapat hidup dengan layak. Ben bersekolah di sekolah elit dan suka mengumpulkan action figure superhero—dan sangat puas sekiranya keinginan itu terpenuhi. Opanya bisa menikmati masa pensiunnya dengan layak, namun ada yang tidak diketahui Opa dan Ben tentang pekerjaan ayahnya.

24 Desember 2005, Ben berusia 8 tahun, Opa berusia 75 tahun. Kepergian Ayah.

“Ayah ke mana? Kapan pulang?”

“Ayah ‘gak tahu, Nak. Kamu dijagain Opa dulu ya? Ayah pergi dulu.”

Hari itu hujan gerimis, kehangatan malam Natal, yang seharusnya Ben dapatkan dari kasih sayang ayahnya, menghilang. Ben yang masih berusia delapan tahun itu, harus menyaksikan punggung ayahnya melangkah menjauh dari rumahnya, sambil mendorong dua koper, meninggalkan Opa yang sudah lanjut usia, serta Ben yang menangis. “Ben, cucu Opa yang ganteng, dekat sini ada pasar malam. Kita jalan-jalan yuk, sekalian lihat, ada mainan baru apa!” hibur Opa yang mendapat respons positif dari Ben, yang seketika berhenti menangis, dan tersenyum ceria kembali. “Mau, Opa!” jawab Ben bersemangat.

Opa dan Ben mengenakan jas hujannya, dan bergegas menuju pasar malam dengan sepeda.

Ornamen Natal memenuhi toko di sepanjang jalan pertokoan itu. Sesekali Ben melirik dan menyentuhnya. Namun, akhirnya pandangan Ben tertuju kepada mainan pistol-pistolan. Ben bermain pistol-pistolan, di mana jika ia berhasil membidik papan targetnya, ia akan mendapat hadiah. Antreannya cukup panjang, karena kios tersebut memang yang paling besar dan menyolok di pasar malam itu. Ben menghela napas, meraih pistolnya, dan kemudian perlahan membidiknya. KENA!

Ben dihadiahi boneka Iron Man berukuran besar, “Selamat, ya Nak! Kamu dapat hadiah utamanya malam ini!”

“Lihat, Opa! Ben berhasil dan dapat hadiah!”

Tawa bahagia Ben membuat Opa sedikit melupakan kejadian, di mana anaknya pergi entah ke mana, dan berbuat apa. Wahana permainan dimainkan Ben dengan bersemangat hingga pukul sembilan malam. Ben sudah mulai mengantuk.

“Ben ‘ngantuk ‘kan? Pulang yuk!” Opa menggandeng tangan mungil Ben, memasukkan tangannya ke saku mantelnya, karena semakin malam, semakin dingin. Mereka pun berjalan pulang, melintasi toko-toko yang dihiasi ornamen Natal.

“Opa, aku mau beli ini!” tunjuk Ben pada ornamen manusia salju yang dipegangnya dalam tangan mungilnya.

“Berapa?”

“Dua dolar,” terdengar suara pria yang berjualan, menjawabnya tanpa senyuman di balik koran.

Ia memiliki janggut dan tubuhnya gempal seperti sinterklas.

“Kukira dia ramah seperti sinterklas, ternyata tidak,” gumam Opa dalam hati.

Di perjalanan pulang, salju mendadak turun, Ben mengerem sepedanya, karena melihat penjual ornamen Natal sedang berjalan. Tubuhnya gempal dan sedikit membungkuk, sambil membawa kantong berisi ornamen Natalnya. Karena penampilannya seperti sinterklas, Ben mengira itu sinterklas.

“Opa! Ada sinterklas!” Pria itu mendengarnya, tapi ia langsung berjalan cepat, tanpa menghiraukan panggilan itu, berlari masuk ke dalam rumahnya yang berlokasi persis di seberang rumah Opa dan Ben.

Responsnya dingin, sedingin malam Natal yang bersalju itu.

“Aku ‘gak ingat, kita punya tetangga sedingin itu. Ayo masuk dan hangatkan dirimu di perapian!”

Sepulang dari pasar malam, mereka menghangatkan diri di perapian dan menonton program berita televisi. Breaking News: Seorang pria paruh baya berinisial YJ ditangkap oleh polisi di Texas, karena ditemukan telah melakukan transaksi ilegal produk narkoba.

 Awalnya, Opa tidak menyadari, bahwa pria itu adalah ayah Ben. Namun, setelah melihat pas fotonya, air mata Opa tumpah. Opa berusaha merahasiakan berita itu dari Ben. Namun tengah malam, kepolisian setempat mendatangi rumahnya, dan menyita beberapa barang di rumah itu. Di tengah tangisan hebat, Opa dan Ben dinyatakan bangkrut. Malam Natal itu menjadi malam Natal terpanjang bagi Opa dan Ben.

“Besok Natal. Kamu tidur dulu, pakai piyamamu, dan gosok gigi. Hari ini kita banyak mengalami kejadian aneh, beristirahatlah, Cu!”

Opa menidurkan cucunya dengan menyanyikan lagu Silent Night. Opa tidur di sebelah Ben, yang sudah tertidur pulas. Entah apa yang akan terjadi besok. Keesokan harinya, datang seorang polisi dan seorang rekannya, menyita rumahnya. Ben masih tertidur. Opalah yang membukakan pintu rumahnya.

“Tapi kami harus tinggal di mana? Kasihanilah kami, dia masih delapan tahun!”

“Bukan urusan kami! Tuan Jonas telah terbukti bertransaksi ilegal. Rumah ini kami sita!”

Di seberang jalan, terlihat pria yang kemarin di pasar malam. Dia sedang menyapu halamannya yang penuh dengan salju. Sepertinya ia melihat kejadian itu, karena suara yang dilontarkan kedua polisi itu cukup keras, tapi ia tetap melanjutkan kegiatannya.

“Selamat Natal, Benedictus Scott Jonas!”

“Selamat Natal, Opa!”

“Bawa koper dan bajumu, juga mainanmu, kita pergi ke bulan, yuk!” Opa mencoba berbohong, karena ia tahu pasti, Ben akan terkejut mendengar bahwa rumah mereka telah disita.

Iron Man juga?”

“Iya, jangan ada yang ketinggalan ya!”

Ketika akan melangkahkan kaki, terdengar suara ketukan pintu. Opa sudah takut, bahwa akan ada lagi sesuatu yang buruk terjadi.

“Siapa itu? Ben buka pintu ya?”

“Biar Opa aja yang buka. Kamu siapin tas aja!”

Opa membuka pintu dengan perlahan. Terlihat pria yang kemarin berpakaian seperti sinterklas di balik pintu. Tangan Opa bergetar membukakan pintu itu. “Selamat Natal! Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu. Kau mau tinggal di mana? Siang ini, mampirlah ke rumahku di seberang. Tinggallah bersamaku, ajak cucumu juga!”

Opa masih terdiam, seolah tidak percaya. Pria yang kemarin begitu dingin ditemuinya, pagi ini mendadak berubah menjadi ramah.

“Tenang, aku tidak bermaksud jahat. Aku Rob, baru pindah kemarin lusa. Aku cuma ‘gak tega ngelihat orang homeless. Kutunggu jam dua belas siang ini di rumah, ya! Jangan menilai seseorang dari kesan pertamanya saja. Selamat Natal!”

Pria itu kemudian pergi entah ke mana. Opa yang masih bingung, menghampiri Ben di kamarnya, sedang melipat baju dan memasukkannya ke koper bergambar Captain America, hadiah Natal tahun lalu dari ayahnya.

“Ben, sebelum pergi, kita isi bensin dulu ya, di seberang. Kita kan mau terbang jauh ke bulan, jadi harus isi bensin yang banyakkk banget!”

Ben memeluk Opa dan tersenyum, “Ini Natal terindah buat Ben, karena Ben bertamasya ke bulan sama Opa!”

Jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang. Opa menuntun Ben masuk ke rumah yang penuh dengan dekorasi Natal. Sulit dipercaya, rumah yang begitu ceria dimiliki oleh seorang yang tampak begitu dingin.

“Siapa yang di luar? Masuk saja!”

“Permisi,”

Opa mendorong pintu yang tak terkunci. Lagu-lagu Natal berkumandang. Terlihat beberapa anak berlari-larian sambil tertawa. Ada yang mengantre untuk mendapat hadiah Natal dari seorang pria yang berkostum sinterklas.

“Opa! Itu sinterklas yang kemarin!”

Tanpa sepengetahuan Opa, Ben ikut mengantre bersama dengan anakanak lainnya. Wajah girang memenuhi barisan itu. Ada yang mendapat boneka Barbie, ada pula yang mendapat boneka beruang. Akhirnya tiba giliran Ben.

“Ah, aku tahu kamu! Kamu yang datang bareng Opamu, dan kemarin dapet Iron Man di pasar malam ‘kan? Nih, Om kasih hadiah yang pantes untuk temenin Iron Man kamu!”

Ben membukanya, dan melihat, bahwa ia mendapatkan kado boneka Spiderman.

Ben tersenyum berterima kasih, dan pria itu membalas senyumannya, “Mana Opamu? Kita makan yuk! Om masak kalkun.”

Ben mencari Opa, dan menemukannya sedang duduk sendirian di teras belakang rumah itu.

“Opa?”

“Opa bohong, Ben. Kita ‘gak punya apaapa lagi. Kita ‘gak ke bulan. Rumah kita disita!”

Ben menangis, “Kita tinggal di mana, Opa?”

“Tadi pagi, Om Rob nawarin kita tinggal di sini. Ben mau?”

“Mau, Opa! Asal sama Opa, Ben mau tinggal di mana pun!”

Opa memeluk Ben. Damai Natal yang kemarin tidak dirasakannya, kini dirasakannya kembali.

“Opa, Om Rob ajak kita makan. Dia masak kalkun!”

Opa menarik Ben ke pangkuannya. “Kalkun? Kesukaanmu? Kalo ‘gitu cepat, sebelum kehabisan!”

Mereka bergegas menuju ruang makan, sudah ada Rob dan anak-anak lain.

“Akhirnya! Makanlah! Panas juga pakai topi begini! Rasanya senang bisa berbagi kebahagiaan lagi.”

“Lagi?”

“Iya, dulu aku homeless, diusir dari rumah Mama, karena aku pengangguran. Aku ‘gak punya rumah sampai beberapa tahun. Makanya, aku suka sedih melihat orang homeless. Mereka yang kuundang ini anak-anak homeless dari pantiku dulu, di New York. Kebetulan, adik perempuanku baru pindah ke Alaska, jadi kamar di lantai bawah tanah kosong. Kalian pakailah!”

Ben, yang tidak sengaja mendengar percakapan itu, menghentikan suapan makanannya, dan berseru, “Ayo, Opa! Daripada ke bulan, jauh dan capek, mending di sini!"

"Maafkan kami telah salah menilaimu, Rob! Kamu ternyata orang baik, bahkan mengizinkan kami tinggal!”

Semua anak tertawa terbahak-bahak karena ucapan Ben. Mereka menyantap kalkun, mendapatkan hadiah, mendengarkan lagu Natal, dan mendapat perhatian seorang ayah. Hari Natal itu menjadi Natal yang terindah buat Ben dan Opa. Opa juga mendapat pelajaran berharga, bahwa tidak baik menilai seseorang berdasarkan kesan pertama yang ditampilkan saja.