S emenjak pandemi ini melanda Indonesia, hari demi hari kita membaca berbagai berita menyedihkan. Ada seorang ibu yang keburu mati karena kelaparan, tepat ketika bantuan makanan sampai kepadanya.

Tak terhitung banyaknya masyarakat yang tadinya sudah hidup paspasan, kini menjadi kekurangan karena tiba-tiba pendapatannya berkurang atau bahkan hilang. Para tenaga medis yang bertugas di garis depan kekurangan alat pelindung diri (APD), yang harganya justru semakin melambung dengan semakin langkanya ketersediaan di pasar. Hati siapakah yang tak terketuk untuk membantu mereka? Kita membaca, muncul begitu banyak aksi kepedulian sosial: masyarakat membagi-bagikan makan siang untuk para tukang ojek, pemulung, penyapu jalan; orangorang patungan membelikan alat pelindung diri untuk tenaga medis; ada pula yang membagi-bagikan sembako.

Membantu, sudah tentu berhubungan dengan uang. Yah, tentu saja ada yang membantu dengan tenaga, waktu, dan doanya. Tapi dalam situasi ini, dalam praktiknya, uang sangat diperlukan. Membeli bahan-bahan makanan, sembako, alat pelindung diri, semuanya perlu uang. Namun, tidak hanya kaum papa yang begitu membutuhkan uang saat ini. Bencana ini menghantam segala lapisan. Mereka yang hidup berkecukupan pun berkurang rezekinya. Lesunya dunia usaha membuat sebagian masyarakat harus rela dipotong gajinya, atau berkurang omzet penjualannya. Jadi mereka yang ingin memberi pun terdampak, walaupun tidak separah masyarakat marjinal. Mereka harus berhitung dalam memberi, karena siapakah yang bisa menebak kapan krisis ini akan berakhir? Apakah bijak untuk memberi dalam jumlah besar, sementara uang tabungan pun sudah semakin menipis? Siapa pula yang bisa menjamin, dalam beberapa bulan ke depan, apakah potongan gajinya akan semakin besar? Apakah perusahaannya masih bisa bertahan? Jadi, sebaiknya memberi atau menabung?

Celine sudah merasakannya. Sejak anjuran stay at home digulirkan, ia sudah meminta tukang cucigosoknya tidak usah masuk bekerja. Sudah sebulan lebih ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendirian. Mulanya, ia pikir, karena si mbak tidak bekerja, berarti tidak perlu digaji. Tapi, dipikir-pikir lagi, kasihan juga, ya. Akhirnya, ia tetap memberikan setengah bulan gaji per bulannya. Beberapa hari yang lalu, ia iseng menanyakan kabar si mbak. Terkejut ia mendengar, si mbak sudah lama tidak membeli pulsa karena tidak punya uang. Suaminya yang bekerja sebagai supir truk, dan anaknya yang bekerja sebagai tukang ojek, sudah sebulanan ini tidak bekerja karena tidak ada orderan. Bisa ditebak, berarti tidak ada pemasukan pula. Hati kecilnya pun tergerak. Ia pun berdiskusi dengan suaminya, untuk tetap memberi gaji penuh kepada si mbak selama dirumahkan ini.

Tapi, ia malah galau, karena suaminya bercerita, perusahaan tempatnya bekerja pun sekarang terancam, karena sepi orderan. Mulai bulan ini, gaji suaminya dipotong tiga puluh persen. Jika keadaan masih seperti ini terus, bukan tidak mungkin dalam beberapa bulan ke depan, gaji akan dipotong setengahnya atau bahkan mulai terjadi pengurangan karyawan. Jadi, bagaimana ini? Sebaiknya tetap memberi gaji penuh buat si mbak atau ditabung saja ya?

Tami juga pusing. Beberapa hari yang lalu, kakaknya yang bekerja di rumah sakit, curhat kepadanya. Rumah sakitnya tidak berhasil mendapatkan APD. Padahal, setiap hari ada saja pasien yang datang dengan keluhan gejala COVID-19. Kakaknya menyatakan, rumah sakitnya menerima sumbangan APD. Tami tahu, kakaknya berisiko tinggi jika sampai tertular dari pasien, karena kakaknya ini menderita hipertensi. Apalagi dengan jumlah pasien yang meningkat secara tiba-tiba, kakaknya pasti kelelahan dan hipertensinya bisa kumat.

Tami tidak ingin kehilangan kakaknya. Orang tua mereka sudah lama meninggal. Selama ini kakaknyalah yang menjadi pengganti orang tua mereka. Ia pun segera mencari-cari informasi, dari mana ia bisa membeli APD untuk sang kakak. Hatinya bertambah galau, setelah mengetahui harga masker, hazmat, apalagi harga masker N95 yang harganya begitu mahal, dan barangnya bagaikan raib dari pasaran. Kakaknya memerlukan semua ini setiap harinya. Tidak mungkin hanya membeli sedikit, sama saja bohong. Setidaknya, ia perlu membeli persediaan APD untuk beberapa minggu atau sebulan. Dan itu berarti ia harus merelakan sebulan penuh gajinya sendiri, demi keselamatan sang kakak. Lalu, bagaimana dengan cicilan rumahnya? Hmm… Tito pernah merasakan hal yang mirip dengan ini. Beberapa tahun yang lalu, ayahnya terkena kanker. Ia sebagai anak tertua, satu-satunya yang keadaan ekonominya paling lumayan, mau tidak mau harus menanggung biayanya. Adik-adiknya yang baru mulai bekerja, mana mungkin bisa ikut membantu pembiayaannya?

Mulanya, dengan gagah ia berkata, “Tuhan pasti akan mencukupkan!” Tapi, hari demi hari berjalan, uang terus mengalir dari kantongnya. Ia pun mulai gamang. Sampai sejauh apa aku harus mengeluarkan uang? Bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana pandangan istriku, bahwa aku menghabiskan uang begitu banyak untuk ayah, sementara adik-adikku tidak? Namun Tuhan tak pernah meninggalkannya sendirian. Entah siapa yang menggerakkan, sumbangan terus mengalir masuk.

Teman-teman ayahnya menggalang dana untuk membantu, karena kata mereka, sewaktu muda, ayahnyalah yang paling ringan tangan membantu mereka ketika mereka kesusahan. Sanak saudara pun datang silih berganti, dan dalam setiap kunjungan, tak lupa menyelipkan ‘amplop’ untuknya. Bahkan, seorang saudara dari jauh, mengirimkan sejumlah uang yang begitu besar. Akhirnya, uang yang perlu dikeluarkannya tidak sebesar yang dibayangkannya semula. Biaya rumah sakit itu terlunasi. Ketika ayahnya meninggal, uang sumbangan duka cita pun mengalir. Tidak hanya biaya pemakaman tercukupi, bahkan sisa uang yang terkumpul bisa menjadi warisan baginya dan adik-adiknya. Sungguh, Tuhan sanggup mencukupkan. Tito sungguh malu, pernah meragukanNya, seperti Petrus yang mulai ragu ketika melihat air di sekelilingnya, sehingga mulai tenggelam, padahal sebelumnya ia sempat berjalan di atas air, ketika hanya memandang pada Gurunya. Hanya waktu yang bisa menjawab akhir pergumulan Celine, Tami, dan mungkin sebagian kita, yang ingin memberi, tapi … Yang terpenting bukanlah berapa banyak uang yang akhirnya kita berikan, tapi seberapa besar kasih yang menggerakkannya.

Seperti ucapan mendiang Bunda Teresa: “At the end of our lives we will not be judged by how many diplomas we have received, how much money we have made or how many great things we have done. We will be judged by: I was hungry and you gave me to eat. I was naked and you clothed me. I was homeless and you took me in.” Sebab pada akhir kehidupan, kita tidak akan dinilai oleh berapa banyak ijazah yang telah kita terima, berapa banyak uang yang telah kita hasilkan, atau berapa banyak hal besar yang telah kita lakukan. Kita akan dihakimi dengan: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan (Mat. 25:35).