Seusai mengajar dari atas perahu, Yesus menyuruh Simon bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menangkap ikan. Frase “bertolak ke tempat yang dalam” ini sesuatu yang mengesankan, sehingga ada salah satu ensikili Papal yang berjudul “Duc in Altum”, artinya persis seperti ucapan Yesus: “bertolaklah ke tempat yang dalam”.
Diksi “altum” (Latin) secara harfiah berarti : ketinggian (altitude), namun terjemahannya dalam konteks narasi menjadi terkait dengan suatu kedalaman. Frase indah sarat makna itu yang disabdakan Yesus agar para murid menghela perahu mereka sedikit lebih menjorok ke tengah danau, ke tempat yang (lebih) dalam.
Protes dari si nelayan kawakan ini segera berhamburan keluar, namun....akhirnya ia toh patuh. Hasilnya? Mujizat. Perahunya penuh ikan hingga hampir tenggelam. Lalu kita membaca sebuah adanya sesuatu hal menarik yang terjadi di dalam diri Simon. Ia menyadari ketidaklayakannya mengalami rahmat, sebab ia orang berdosa. Perjumpaan dengan mukjizat malah menghasikan pengakuan keberdosaan. Biasanya bila orang mengalami ia akan merasa senang bahkan bisa jadi sangat bangga. Namun Simon justru direngkuh kegentaran dan sadar akan ketidaklayakan. Demikianlah, pengalamannya dengan Yesus membuatnya mengalami fascinosum et tremendum, rasa terpesona sekaligus takut. Katanya, “Tuhan pergilah daripadaku karena aku ini orang berdosa.”
Pergikah Yesus? Tidak. Yesus justru mengajak Simon yang meminta untuk dijauhi, untuk menjadi lebih dekat kepada-Nya. Bahkan sangat dekat. Yesus ingin mentransformasi Simon yang sadar diri sebagai yang tidak layak, menjadi Petrus yang akan “menjala” manusia-manusia lain dalam “jala” rahmat Tuhan. Bagaimana dengan anda? Pernahkah tergetar karena karya Tuhan? Mungkin pernah bahkan sering. Permasalahannya apa yang menjadi buah ketergetaran itu? Rasa bangga dan pongah rohani sembari membanding-bandingkan dengan pengalaman orang lain? Atau justru sebaliknya: kerendahan hati yang menebarkan rahmat Tuhan bagi semua orang?
Apa yang hendak dikritisi oleh narasi ini (dan juga narasi dalam spiritualitas kita ketika merespon panggilan Tuhan) adalah: ke-stagnan-an. Secara metaforis, panggilan kita dalam perziarahan hidup di doronng untuk dinamis, pantang berhenti, jangan stagnan dalam puas diri di satu titik. Sikap batin semacam ini tidaklah tepat, karena akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk semakin mendalam dan mengalami temuan bahkan kejutan. Kita mesti berani berdinamika dan bergerak menuju ke kedalaman hidup, kedalaman peristiwa, kedalaman diri sendiri yang berolah batin, dan pula ke dalam kedalama karya Allah dan panggilan-Nya.