
- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 137 kali
- Penulis: Benedictus Leonardus
Untuk memahami perilaku individu atau sekelompok masyarakat, terlebih dahulu kita perlu memahami budaya yang hidup dalam kelompok masyarakat tersebut. Culture: The visible behaviors and invisible values and beliefs that are unique for each society. These value systems are deeply rooted in the society and passed from generation to generation (Solomon dan Schell, 2009, 20). Jadi budaya mencakup perilaku yang terlihat, nilai-nilai yang tak kasat mata, dan kepercayaan tertentu, yang telah mengakar dalam masyarakat dari generasi ke generasi.

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 93 kali
- Penulis: Paulus Eko Kristianto
Apakah kita pernah kecewa? Jelas, semua orang pernah kecewa. Biasanya, orang yang paling mengecewakan kita adalah orang yang paling kita sayangi atau paling dekat dengan kita. Namun, tidak tertutup kemungkinan, semua orang berpotensi mengecewakan kita. Kekecewaan ini tidak boleh berlarut-larut dalam diri kita. Kita perlu berdamai dan memulihkan kekecewaan kita. Hal mendasar yang perlu dilakukan ialah mengasihi mereka yang mengecewakan kita. Mengasihi itu tidak mudah. Seseorang yang mengasihi berarti ia berhasil mengalahkan egonya. Mengasihi diawali dengan menerima orang lain dan mengampuni mereka sekaligus. Kita tidak lagi mengingat apa yang telah mereka perbuat. Gagasan ini tentu menghapus hal yang biasa kita dengar, bahwa kita mengampuni, namun tetap mengingat kesalahan mereka yang membuat kita kecewa.
Dari mana kekuatan kita mengasihi mereka? Mengasihi tidak muncul dengan sendirinya atau bersumber dari keinginan kita, melainkan dari keteladanan Allah. Dalam 1Yohanes 4: 19 tertulis, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Teks ini mengingatkan kita, bahwa kita sudah menerima kasih Allah. Kasih itulah yang kita teruskan kepada orang lain. Kasih Allah itu begitu sempurna dan tidak bisa digantikan manusia. Penerusan ini dilakukan di semua aspek dan di mana pun kita berada. Hal ini memang tidak mudah, tetapi kita dipanggil untuk melakukannya. Lantas, bagaimana kita bisa melakukannya? Saya menguraikannya dalam beberapa pokok besar:
Mengasihi Itu Butuh Proses
Saya bisa memahami, bahwa mengasihi itu tidak mudah, apalagi bagi kita yang masih remaja, yang belum bisa mengatasi dan mengelola ego. Meski demikian, hal ini tidak bisa menjadi alasan kita terus terbenam tidak mengasihi. Oleh karenanya, saya mengusulkan gagasan, bahwa mengasihi itu butuh proses. Mengapa disebut proses? Kita sering mendengar, bahwa tidak ada yang instan. Kita tentu sering memasak mie instan. Nah, untuk memasak mie instan saja, kita membutuhkan waktu atau proses memasak. Apalagi, bila hal ini diterapkan dalam hal mengasihi orang lain, jelas membutuhkan proses yang lebih panjang dibandingkan memasak mie instan.
Bagaimana proses mengasihi? Yang pertama, kita perlu menyadari sumber kasih itu sendiri. Sumber kasih itu tidak lain, mengarah kepada Allah. Allah adalah kasih. Dari Dialah kasih itu ada dan berasal. Kita memohon tuntunan dari Allah, agar kita memperoleh kasih itu dan dapat membagikannya pada semua orang, termasuk orang yang tidak kita sukai atau membuat kita sebal. Yang kedua, kita perlu mengasihi, bukan karena apa yang orang perbuat kepada kita, melainkan belajar dari kasih Allah itu. Allah mengasihi semua orang tanpa terkecuali, apapun keberadaan orang tersebut. Meski orang itu mengecewakan dan membuat kita sebal, kita tetap harus mengasihi mereka dengan sepenuh hati.
Saya menyadari, sebagai sebuah proses, kita tentu tidak akan langsung berhasil mengasihi. Butuh keberanian untuk terus mencoba dan mengupayakan. Ada orang yang sudah lama mengetahui seruan mengasihi, bahkan sejak di sekolah minggu, tetapi masih saja susah mengasihi hingga ia dewasa. Agar tidak terlarut begitu lama, kita perlu menyadari dengan keteguhan, bahwa mengasihi tidak dapat dilakukan dengan kekuatan manusia semata, melainkan kita perlu meletakkannya pada sumber kasih itu sendiri, yaitu Allah. Tanpa itu, manusia tidak akan pernah mampu mengasihi dalam waktu panjang, apalagi bila yang ia kasihi sudah membuatnya sebal dan marah.
Mengasihi Itu Tanpa Syarat
Kasih yang dimiliki dan dilakukan manusia sering bersifat transaksional. Hal ini berarti kita dapat mengasihi bila orang itu baik dan mengasihi kita. Bila kita melakukannya, apa bedanya kita dengan orang yang tidak mengenal Allah? Allah mengajarkan kita mengasihi siapa saja, tanpa memandang identitas mereka, termasuk hal yang telah mereka perbuat kepada kita. Bukankah kita telah mengenal dan memperoleh kasih Allah dalam kehidupan ini? Maka kita pun diajak untuk mengasihi semua orang tanpa syarat.
Kasih tanpa syarat berarti ia tidak lagi memandang siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan. Kasih tanpa syarat dilakukan dengan keyakinan penuh, bahwa kita mengasihi semua orang karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kasih Allah yang tidak terbatas dan berlimpah itu memampukan kita membagikannya pada semua orang. Semua dilakukan, agar mereka turut merasakan betapa besar dan dalam kasih Allah kepada kita. Dengan demikian, mereka bisa merasakan dan mencari, siapa dan di mana sumber kasih itu.
Pengenalan mereka akan kasih Allah ini membuat mereka menemukan keyakinan, bahwa manusia tidak bisa lepas dari Allah, dan manusia tidak bisa hidup dalam kasih jika jauh dari Allah, sumber kasih itu. Hal ini disebabkan kasih manusia itu bersifat terbatas dan tidak akan pernah bertahan lama, penuh syarat transaksional. Ia membutuhkan Allah agar kasih itu terpancar dalam segenap hidupnya, dan terbagikan ke orang sekitarnya secara penuh dan utuh.
Mengasihi itu Tiada Henti
Mengasihi sering terhenti di titik melukai hati. Bila ukuran ini kita pakai, lalu bagaimana dengan kasih Allah? Allah hadir dalam rupa manusia melalui diri Yesus. Ia yang tidak berdosa harus menderita dan mati di kayu salib. Ia rela melakukannya karena ia sungguh mengasihi semua manusia, tiada henti. Pengorbanan-Nya tidak berujung pada waktu tertentu, melainkan berlaku di sepanjang waktu, bahkan hingga akhir zaman.
Kasih tidak memandang waktu. Ia terus bekerja dan terselenggara. Jika manusia berhenti mengasihi, justru di sinilah manusia kehilangan makna sumber kasih itu.
Perwujudan Kasih
Masalahnya, kasih seperti apa yang terus dilakukan? 1Korintus 13: 4-7 mengingatkan dan tertulis demikian, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
Dari ayat-ayat ini, kita sudah memperoleh gambaran utuh dan nyata tentang bagaimana mengasihi. Kasih diwujudkan bukan sebagai tindakan transaksional, melainkan semata berdiri dan berawal dari sumber kasih, yaitu Allah itu sendiri. Sanggupkah kita melakukannya? Kita bisa berkelit bahwa manusia terbatas, tetapi bila kita berpegang teguh pada Allah, maka kasih itu akan terselenggara kepada semua orang. Kita tidak lagi melihat siapa yang kita kasihi, tetapi kita terus mengingat alasan kita mengasihi mereka. Tidak lain, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita, dan kita rindu membagikan kasih itu pada semua orang.
Pada akhirnya, saya ucapkan, selamat mengasihi! Tuhan memberkati dan memampukan kita semua! Amin.

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 105 kali
- Penulis: Hebron Pemasela
“Let love be without hypocrisy. Abhor what is evil; cling to what is good”
Roma 12:9
Bagi anak muda, menjalin relasi romantis merupakan sebuah kebutuhan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena memang itulah yang utama dalam fase hidup mereka. Menurut teori Erik Erikson terkait perkembangan manusia, fase anak muda (18-35 tahun), kebutuhan utama mereka adalah keintiman (intimacy), yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan isolasi (isolation). Anak muda membutuhkan ruang untuk bercerita, berbagi pergumulan, tempat bersandar, dan juga saling mendukung. Hal ini bisa dipenuhi oleh keluarga dan sahabat, tetapi salah satu yang utama pada fase ini adalah dari relasi romantis dengan lawan jenis.
Ada begitu banyak cara anak muda menjalin relasi dengan lawan jenis. Ada yang bertemu dengan lawan jenis dan menjalin relasi dengan teman sekolah, teman kuliah, teman kantor, teman nongkrong, teman gereja, dan salah satu hal yang baru di era sekarang adalah teman online.
Ada begitu banyak aplikasi yang membantu seseorang untuk dapat berkenalan dengan lawan jenis. Kita perlu mensyukuri teknologi sebagai sebuah anugerah Tuhan yang dapat menolong seseorang untuk bertemu, bahkan menjalin hubungan dengan pasangannya, melalui pertemanan online. Namun jika tidak waspada, anugerah tersebut dapat berubah menjadi kutuk. Ada begitu banyak fenomena teman online yang mengkhawatirkan. Orang ingin memberikan impresi yang baik, sehingga sering kali menghalalkan segala cara. Salah satunya, mengubah foto profil menjadi seseorang yang bukan dirinya, dengan tujuan memperlihatkan bahwa dirinya ganteng atau cantik, sehingga orang tertarik. Ada juga yang mengaku orang kaya, lulusan universitas terkenal, dan berpura-pura baik, padahal sejatinya itu bukanlah dirinya. Ketika sudah bertemu secara langsung dan menjalin relasi lebih dekat, barulah ketahuan, bahwa itu semua hanyalah tipuan.
Paulus memperingatkan kepada jemaat Roma, hendaklah kasih jangan berpura-pura. Kata berpura-pura dalam bahasa inggris menggunakan kata hypocrisy, yang berarti munafik. Bahkan jika ditelaah lebih dalam lagi dalam bahasa aslinya, kata tersebut menunjukkan seseorang yang memakai topeng dalam sebuah panggung sandiwara. Berusaha menunjukkan sesuatu yang baik, padahal itu bukan dirinya yang asli. Nyatanya ada begitu banyak fenomena yang menunjukkan hal seperti ini. Ada orang yang berpura-pura baik, mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, tidak mau kesepian, dan masih banyak hal lain, yang menunjukkan cinta yang tak tulus.
Lalu, bagaimana supaya kita tidak jatuh ke dalam kasih yang berpura-pura (munafik)? Jawabannya sederhana. Cinta sejati lahir dari orang yang pernah mengalami cinta sejati. Kata kunci dalam kalimat tersebut adalah yang pernah mengalami. Ada sebuah istilah yang menarik, yaitu di dalam diri kita ada tangki cinta yang perlu diisi. Pengalaman pernah dikasihi membuat tangki cinta kita dapat terisi dengan baik, sehingga menjadi modal kita untuk dapat mengasihi orang lain dengan lebih baik lagi. Jika seseorang tidak pernah merasa dikasihi, tangki cinta tersebut menjadi kosong, sehingga tentu saja dia akan kesulitan mengasihi orang lain dengan kasih yang benar. Jika demikian, bagaimana cara mengisi tangki cinta tersebut?
Tangki cinta bisa diisi pertama dan terutama oleh Tuhan. Dalam surat Roma, sebelum menyatakan bahwa kasih janganlah berpura-pura, pada pasal 1-11, Paulus menyatakan betapa besar kasih Tuhan kepada umat manusia, yang menyelamatkan manusia dari kematian kekal. Maka pada pasal 12 ayat pertama, Paulus menyerukan agar umat percaya yang telah mengalami kasih Allah dapat mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Allah adalah kasih, dan Allah telah menunjukannya dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal. Bukan hanya itu, seluruh Firman Tuhan, jika disimpulkan secara sederhana, hal yang terutama adalah kasih. Jadi, jika ingin tangki cinta kita penuh dengan cinta yang benar, maka kita perlu mengisinya dengan kasih Tuhan, yang bisa kita dapatkan melalui hubungan personal dengan Tuhan dan Firman-Nya. Hal ini menjadi sebuah hal yang mutlak perlu kita miliki, untuk dapat membangun relasi cinta yang sejati.
Tangki cinta juga dapat diisi, bukan hanya oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia, terutama dari figur signifikan, seperti keluarga. Anak yang hidup di tengah keluarga yang penuh dengan kasih akan memiliki modal yang lebih untuk dapat mengasihi orang lain. Dia akan lebih bertumbuh menjadi anak yang penyayang, lembut, penuh empati, dan juga dapat mengasihi lebih baik. Sedangkan anak yang tumbuh di tengah keluarga yang kurang kasih sayang, sering diabaikan, abusive, kasar, suka memukul, akan jauh lebih sulit untuk mengasihi orang lain dengan baik. Ada begitu banyak dampak yang ditimbulkan, seperti memiliki trust issue, insecure, keras, sulit berempati, bahkan banyak juga yang abusive. Orang yang tangki cintanya kosong, akan cenderung menjadi pribadi yang haus akan cinta, dan mencari cinta di mana saja, yang bisa dia temukan. Jika tidak diwaspadai, dia dapat jatuh pada bualan atau rayuan gombal dari orang lain, yang membawanya pada hubungan yang rusak. Ada istilah “orang yang lapar akan cenderung lebih mudah untuk jajan sembarangan”. Hal ini dilakukan karena dia butuh diisi, sehingga menginginkan sesuatu yang bisa memenuhi dirinya, tidak peduli apakah itu baik atau tidak, yang penting dirinya terisi. Misalnya, dia melihat orang menjual gorengan, tak peduli itu sehat atau tidak, dia akan tergoda untuk membelinya, karena sudah sangat lapar. Hal itulah yang terjadi pada orang yang lapar akan cinta. Dia butuh seseorang yang dapat mencintainya, tak peduli orang itu baik atau tidak. Hal inilah yang perlu diwaspadai dalam hal pemenuhan tangki cinta oleh manusia. Pemenuhan tangki cinta oleh manusia yang benar dapat menolong seseorang untuk memiliki relasi yang semakin baik di kemudian hari.
Hati itu laksana handphone yang butuh di-charge, seperti gambar ini. Jika tidak memiliki daya yang cukup, maka dia tidak dapat berfungsi dengan baik. Hati kita bisa diisi dengan kasih Tuhan dan kasih manusia. Memang kasih manusia itu juga penting, tetapi jika kita tidak mendapatkan kasih yang ideal dari manusia, kasih Tuhan mampu untuk memperbaiki dan mengisi hati kita dengan jauh lebih mendalam. Kasih Tuhan adalah kasih yang sejati, sempurna, dan ideal untuk memenuhi hati kita. Maka kita perlu terus membangun relasi yang intim, terutama dengan Tuhan, dan dengan orang-orang sekitar kita, sehingga itu menjadi sumber kekuatan bagi kita, untuk dapat mengasihi orang lain dengan lebih baik.

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 102 kali
- Penulis: Pdt. Andreas Loanka
Alangkah indahnya dunia ini jika dipenuhi dengan kasih. Bagaikan taman yang dipenuhi bunga-bunga dengan warna-warni yang indah, demikian juga indahnya dunia yang dipenuhi dengan orang-orang yang penuh cinta. Tetapi, bagaimana menggapainya?

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 92 kali
- Penulis: Indra Putera
“Hadeuh, dua hari ini bolong baca Alkitab. Gagal deh mematuhi hukum-Nya. Ampun Tuhan, saya jangan dihukum, nanti saya kehilangan berkat untuk bulan ini! Hari Minggu nanti saya akan lebih khusyuk menaikkan doa pengampunan dosa!”

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 108 kali
- Penulis: Herlina Permatasari, S. Psi.
Pernahkah kita merasa marah, kecewa, sedih, atau terluka karena sikap atau perilaku dari orang yang kita sayangi?

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 111 kali
- Penulis: Pdt. Santoni Ong
Dalam Yohanes 15:9-17, ketika akan meninggalkan murid murid-Nya di dunia, Yesus memberikan pesan atau perintah terakhir untuk tinggal di dalam kasih-Nya, untuk memiliki dan menghidupi kasih-Nya.

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 97 kali
- Penulis: Ratna Kartika
Mengasihi anak dengan sepenuh hati bukan berarti memenuhi setiap permintaan anak, atau tidak pernah memarahi anak sama sekali. Namun yang dimaksud adalah mengasihi anak dengan bijaksana, sama seperti yang diteladankan Tuhan Yesus. Mengasihi dengan total, seperti Tuhan Yesus mengasihi Bapa dan umat manusia.

- Details
- Monica Horezki By
- Dibaca: 246 kali
- Penulis: Pdt. Santoni Ong, M.Div
I Korintus 15:10
"Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku".
Tulisan ini mengajak kita untuk belajar dari kehidupan Rasul Paulus. Dalam 1Korintus 15: 8-10, Paulus mengakui bahwa dia tidak layak. Dia rasul paling hina, karena telah menganiaya jemaat Yesus, tetapi Yesus dalam kasih-Nya yang besar telah mengangkat dia, mempercayakan pelayanan yang besar padanya, sehingga ia menjadi rasul Kristus.
Kalau kita pelajari perjalanan pelayanan Rasul Paulus, ia menjadi rasul yang luar biasa, merintis jemaat di mana-mana. Ia mengalami tantangan, penganiayaan, namun tetap setia mengiring Tuhan, dan dia rela mati demi Tuhan, karena ia tahu, bahwa ia ada dan bisa melayani, itu semua hanyalah karena anugerah-Nya.
Silakan download untuk membacanya..