Di penghujung tahun 2015 ini kita punya banyak alasan untuk merasa takut. Kita takut akan terulangnya tindak kejahatan yang kejam dan membabi buta oleh para teroris seperti yang baru-baru ini terjadi di Paris, Beirut dan banyak tempat lain. Kita tahu masih banyak gembong teroris belum tertangkap, dan tampaknya cukup banyak pihak di negeri ini secara diam-diam memihak atau bersimpati terhadap para teroris. Dalam skala yang lebih kecil, patut diduga bahwa gerakan penutupan tempat-tempat ibadah, termasuk beberapa tempat ibadah GKI, bersumber ada semangat yang serupa dengan yang merasuki parateroris dan simpatisannya itu. Kegagalan pemerintah dalam melindungi tempat-tempat ibadah itu menunjukkan bahwa rasa takut juga menguasai para penyelenggara negara.

Kita juga punya alasan untuk takut dengan situasi ekonomi yang belum membaik seperti tampak pada angka pertumbuhan ekonomi yang meleset dari prakiraan, melemahnya nilai mata uang Rupiah dan indeks harga saham. Hal itu berakibat pada tingginya angka pengangguran yang pada gilirannya berpengaruh atas tingkat kejahatan. Maka tidak heran kalau perampokan dan penipuan semakin banyak terjadi dengan cara-cara yang semakin licik dan sadis.

Yang tidak kalah menakutkan adalah budaya korupsi dan kemunafikan yang sudah demikian menjalar di negeri ini, sampai sulit bagi kita untuk menemukan lembaga dan individu yang tidak terlibat di dalamnya. Pelemahan secara sistematis atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan secara terang-terangan dengan melibatkan berbagai pihak berwenang tanpa ada yang mampu menghentikan. Permainan tingkat tinggi seperti pada kasus “papa minta saham” masih belum jelas penyelesaiannya. Kemunafikan sudah begitu membudaya sehingga sogokan dibilang biaya administrasi, komisi proyek dibilang biaya konsultasi, plesiran super mewah dengan uang rakyat dibilang studi banding. Kejahatan semacam ini lebih mengerikan ketimbang perampokan konvensional. Tidak ada bangsa yang hancur karena perampokan, tetapi banyak peradaban runtuh karena korupsi dan kemunafikan pemimpin-pemimpinnya.

Di tengah-tengah situasi yang penuh faktor menakutkan ini, masih adakah artinya mengulangi berita natal: ‘Jangan takut…’(Lukas 2:10)? Apakah itu bukan kata-kata klise saja yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata? Apakah itu bukan sekadar hiburan semu yang berlaku hanya satu dua hari di bulan Desember ini?

Sebetulnya pertanyaan semacam itu juga dapat ditanyakan oleh para gembala di masa kelahiran Yesus. Sama seperti kita, paragembala itu juga punya banyak alasan untuk merasa takut. Secara fisik, mereka bisa diserang binatang buas yang mengincar domba-domba mereka. Secara spiritual mereka juga takut kepada para pemimpin agama, karena tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan ritual dan moral agama yang rumit dan mahal. (Jadi agama pun bisa menjadi sumber ketakutan). Secara sosial, mereka adalah orang kecil yang mudah dikambinghitamkan dan dikorbankan dalam segala persoalan. Pokoknya, situasi yang tidak biasa, termasuk perubahan politis dan hari raya, yang biasanyadisambut gembira oleh orang banyak, justru seringkali menakutkan bagi para gembala. Itu sebabnya ketika melihat malaikat Tuhan di depan mereka, dan bahkan “kemuliaan Tuhan bersinar,” mereka justru “sangat ketakutan”!

Tetapi justru berita malaikat “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa…” ditujukan kepada orang-orang yang penuh ketakutan itu. Berita itu juga berlaku bagi setiap bangsa yang punya alasan untuk takut. Apakah berita malaikat itu cukup konkret bagi para gembala itu? Seperti apakah keselamatan besar itu? Apakah mampu mengusir binatang-binatang buas yang sedang mencari mangsa domba-domba peliharaan mereka? Apakah mampu merombak agama dan budaya masyarakat mereka yang seringkali menakutkan? Semuanya belum jelas benar. Memang ada bukti yang ditunjukkan oleh para malaikat itu. Tetapi bukti itu bukanlah perubahan dramatis di dalam kota Betlehem, bukan pula perbaikanekonomi yang terjadi secara ajaib, bukan juga perombakan hukum dan aturan keagamaan. Satu-satunya bukti adalah: seorang bayi yang terbalut kain lampin terbaring di palungan!

Apakah artinya seorang bayi yang lemah di tengah-tengah kekuatan-kekuatan yang menakutkan? Bagaimanakah seorang bayi bisa menjadi pangkal keselamatan di tengah-tengah kehidupan yang menakutkan dan penuh kepalsuan ini? Belum terlalu jelas bagi para gembala waktu itu. Tetapi mereka “pulang dengan sukacita sambil memuji dan memuliakan Allah.” Mereka tidak takut lagi, karena mereka percaya bahwa berita malaikat itu benar. Yang tampak di mata dunia memang hanya seorang bayi yang lemah, tetapi para gembala itu tahu ada bala tentara sorga di baliknya. Itu berarti sorga tidak memihak mereka yang menjadi sumber ketakutan! Penguasa sorga, yaitu Allah sendiri menentang para penyebar ketakutan. Allah hadir dalam diri seorang bayi, yang tidak menakutkan, dan tidak dapat melakukan kekerasan atau kemunafikan, dengan begitu dinyatakan bahwa dunia hanya dapat diselamatkan dengan cara-cara yang tidak menakutkan, yang anti kekerasandan anti kemunafikan.

Perayaan natal semestinya menjadi event untuk menegaskan kembali iman terhadap Allah yang tidak menakutkan. Iman semacam itu akan tercermin bukan hanya dalam sikap menolak ditakut-takuti tetapi juga menolak untuk menakut-nakuti. Iman semacam itu tercermin dalam karakter komunitas yang menolak melawan kekerasan dengan kekerasan, penghakiman dengan penghakiman, permainan kekuasaan dengan permainan kekuasaan, atau kepalsuan dengan kepalsuan. ‘Karakter komunitas,’ berarti sikap menolak ditakut-takuti dan sekaligus menolak menakut-nakuti bukanlah sekadar strategi sementara, tetapi merupakan budaya umat yang muncul sangat jelas dalam bentuk tindakan, kebijakan, dan cara berkomunikasi internal maupun eksternal, justru ketika sedang menghadapi ancaman dan serangan yang menakutkan.

Maka jangan mau hidup dalam budaya ketakutan yang penuh kepalsuan dan kekerasan. Jangan lagi menunjukkan bukti bahwa kita bisa lebih menakutkan ketimbang pihak yang mencoba menakut-nakuti kita. Jangan lagi berbangga bahwa kita bisa lebih licik ketimbang pihak yang merugikan kita. Jangan lagi memakai cara berkomunikasi yang lebih menyakitkan ketimbang yang dipakai pihak yang mencoba menyudutkan kita. Lihat, Allah datang dan Ia tidak menakutkan. Marilah bersama para gembala kita menyembah sang bayi, tanpa kekerasan, tanpa kepalsuan, dan tanpa ketakutan.  Selamat Hari Natal!