Mengosongkan Diri untuk Memberikan Hidup
Filipi 2 : 1 – 11
 
Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 29 Maret 2015

Di dalam lift yang padat, secara tidak sengaja seorang ibu yang gemuk menghimpit seorang anak kecil. Anak itu berkata, “Bu, ibu sudah menindih muka saya!”   
Bukannya meminta maaf, si ibu malah dengan angkuh berkata, “Siapa suruh kamu kecil, maka nggak kelihatan!”  
Si anak hanya bisa menunduk. Ia malu kerena diremehkan dan direndahkan di hadapan banyak orang. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi di dalam hati tersimpan perasaan kesal dan sakit hati.
Tidak lama kemudian, si ibu tiba-tiba menjerit. Pinggulnya digigit anak kecil itu.  Rupanya tanpa disengaja si ibu menggencet anak itu lagi, lalu digigit olehnya.


Dia kesakitan, dan marah kepada anak itu.  Si anak pun tidak meminta maaf, melainkan dengan enaknya berkata, “Saya kira ada paha sapi panggang yang menindih muka saya, maka kugigit!”
Orang-orang di lift tertawa lebar mendengar jawaban anak itu. Saat itu, wajah si ibu memerah menahan rasa malu. Begitu pintu lift terbuka, ia cepat-cepat keluar.
Seperti anak itu, kebanyakan orang tidak suka direndahkan dan diremehkan. Orang bakal sakit hati jika dia merasa dirinya dilecehkan orang lain. Kalau ada kesempatan, tindakan balasan pun dilakukan.  
Coba bayangkan, jika dalam sebuah keluarga, gereja atau masyarakat, anggota-anggotanya tinggi hati serta suka saling merendahkan dan melecehkan. Apa yang bakal terjadi? Pasti akan ada banyak sakit hati, dan akan ada banyak tindakan balas-membalas. Jika itu dibiarkan terus, maka kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan akan semakin menjauh dari komunitas itu.
Tuhan tidak suka kepada orang yang tinggi hati, sebaliknya Ia berkenan kepada orang yang rendah hati. Di dalam Alkitab dituliskan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak. 4:6). Tuhan Yesus tidak hanya mengajarkan, tetapi juga memberikan teladan untuk rendah hati. Kerendahan hati dinyatakan Tuhan Yesus melalui kerelaan-Nya untuk mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama seperti manusia.
Tuhan Yesus telah mengosongkan diri untuk memberi hidup kepada kita. Dengan rendah hati Ia telah meninggalkan takhta surgawi dan datang ke dunia yang fana untuk melayani sebagai hamba (Flp. 2:6-7). Ia bahkan rela mati di atas kayu salib untuk menebus manusia dari dosa (Flp. 2:8), sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya mendapat hidup yang kekal (Yoh. 3:16b).
Belajar dari Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dan Juruselamat kita, marilah kita mengosongkan diri dari keangkuhan dan pementingan diri sendiri. Hendaklah kita tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia (Flp. 2:3a). Sebaliknya, hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri, dan tiap-tiap orang tidak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Flp. 2:3b-4).
Orang yang rendah hati mau mengakui dosa-dosanya di hadapan Tuhan dan bersedia memperbaharui diri. Kalau ada kekhilafan dan kesalahan yang telah dilakukannya terhadap sesama (termasuk terhadap istri, suami, anak-anak, orang tua, atau saudara), ia mau dengan rendah hati memohon maaf dan memperbaiki diri.  
Di dalam setiap komunitas, termasuk keluarga, bisa terjadi kesalahpahaman dan konflik. Hal itu adalah wajar. Masalahnya adalah bagaimana sikap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Apakah dengan tinggi hati menyalahkan pihak lain, atau mau mengosongkan diri dan dengan rendah hati mengatasinya?
Pasangan atau sanak-saudara yang berkonflik seringkali terpancing untuk mengkritik pihak lain secara emosional, menghinanya dengan kata-kata kasar,  membela diri dengan dusta dan fitnah, lalu... pada akhirnya saling membisu dengan hati yang terluka. Sudah tentu, itu bukanlah cara yang baik dalam menghadapi konflik! Maka ingatlah, pada saat terjadi konflik janganlah saling menyalahkah, saling menghina, saling membela diri atau saling membisu.
Belajarlah untuk mengosongkan diri dari keegoisan dan keangkuhan. Pada saat terjadi konflik, baiklah masing-masing orang mau dengan rendah hati mengendalikan diri sendiri dan memperhatikan kepentingan orang lain. Janganlah biarkan kemarahanmu berlarut-larut (Ef. 4:26) dan segeralah selesaikan konflik yang terjadi dengan cara yang baik, yaitu: 1. Jangan pendam konflik menjadi dendam, tetapi segera selesaikan konflik dengan memilih saat dan suasana yang tepat; 2. Dudukkan permasalahannya dengan jelas ; 3. Mendengarkan dengan hati, sehingga yang didengarkan bukan hanya perkataan terucapkan, tetapi juga perasaan yang ada di baliknya;  4. Berpikirlah sebelum berbicara dan kendalikan emosi; 5. Masing-masing dengan rendah hati memperhatikan kesalahan di pihaknya sendiri dan mau mengakuinya; 6. Mengambil sikap pelajar dan mau memperbaiki diri;  7. Menemukan solusi yang memuaskan kedua pihak.
Tuhan Yesus telah mengosongkan diri untuk memberikan hidup kepada kita.  Kiranya kita juga bersedia mengosongkan diri untuk memberi ruang bagi hidup orang lain.