Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 28 Maret 2021

Alkitab mengajar kita untuk dapat menguasai diri dalam segala hal (2Tim. 4:5). Penguasaan diri merupakan salah satu faktor penting yang membuat kita menjadi giat dan berhasil di dalam pengenalan akan Tuhan (2Ptr. 1:5-8). Sebaliknya, tanpa penguasaan diri kita mudah dijatuhkan. Dalam Kitab Amsal dituliskan: “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Ams. 25:28).

Pujian dan penolakan merupakan ujian yang berat bagi penguasaan diri. Orang bisa menjadi angkuh dan lupa diri pada saat menerima pujian. Orang dapat menjadi marah dan lepas kendali pada saat menerima penolakan. Tetapi Tuhan Yesus telah memberikan teladan agar kita dapat tetap memiliki penguasaan diri di tengah pujian ataupun penolakan.

Pada saat Tuhan Yesus memasuki Yerusalem dengan naik keledai, menjelang hari Paskah, banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, menyebarkan ranting-ranting hijau, serta mengelu-elukan Dia (Mrk. 11:1-11). Tetapi semua pujian itu tidak membuat-Nya menjadi sombong dan lupa diri, sehingga beralih dari tujuan kedatangan-Nya ke dunia. Di tengah pujian Ia tetap memiliki penguasaan diri yang baik dan berjalan sesuai dengan misi Allah.

Pada saat Ia menerima penolakan, Ia juga tetap dapat menguasai diri dengan baik. Ia dikhianati dan dijual oleh murid yang dibimbing-Nya, ditangkap dan diadili meskipun Ia tidak berbuat salah, disangkal tiga kali oleh murid yang dekat dengan-Nya, diolok-olok dan disiksa oleh serdadu-serdadu, dan akhirnya disalibkan (Mrk. 14-15). Tetapi semua itu tidak membuat-Nya marah dan lepas kendali. Ia tetap dapat menguasai diri dengan baik untuk menggenapkan karya keselamatan Allah bagi umat manusia.

Tuhan Yesus bukannya tidak bisa marah, tetapi Ia selalu marah tepat pada waktunya dan tidak pernah marah pada waktu yang salah. Ia marah ketika halaman Bait Allah dijadikan tempat berjual-beli dan pemerasan terselubung oleh persekongkal para pedagang dan pemimpin agama (Mat. 21:12). Ia marah dan menghardik Petrus pada saat ia berusaha menghalang-halangi-Nya untuk melaksanakan misi Allah melalui jalan penderitaan (Mat. 16:22-23). Tetapi Ia tidak marah pada saat Ia dikhianati, disangkal, diadili, diolok-olok, disiksa, dan disalibkan. Ia tahu bahwa penderitaan dan kematian di atas kayu salib adalah jalan yang dikehendaki Allah untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.

Tuhan Yesus adalah contoh sempurna dari penguasaan diri. Alkitab mengatakan: “Pada dasarnya Ia sama dengan Allah, tetapi Ia tidak merasa bahwa keadaan-Nya yang ilahi itu harus dipertahankan-Nya. Sebaliknya, Ia melepaskan semuanya lalu menjadi sama seperti seorang hamba. Ia menjadi seperti manusia, dan nampak hidup seperti manusia. Ia merendahkan diri, dan hidup dengan taat kepada Allah sampai mati -- yaitu mati disalib” (Flp. 2:6-8, BIS).

AL