Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 25 September 2011

Tertullianus berkata, "Darah para martir merupakan benih gereja." Orang-orang Kristen mula-mula dianiaya, dipenjarakan, dan dibunuh. Tetapi penganiayaan itu tidak berdaya menyurutkan iman mereka, sebaliknya semakin mengobarkan semangat mereka untuk memberitakan Injil Kristus. Meskipun mereka terpaksa terpencar ke berbagai tempat, namun di mana pun kaki mereka berpijak, di sana Injil terus diberitakan.

Saulus mendengar bahwa di Damsyik telah banyak orang yang menjadi Kristen. Hati sang penganiaya itu menjadi panas. Ia menghadap Imam Besar dan meminta surat kuasa darinya untuk dibawanya kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik. Dengan surat itu ia diberi kuasa untuk manangkap orang-orang Kristen dan membawa mereka ke Yerusalem untuk diadili dan dihukum.

Sang penganiaya memiliki surat kuasa, tetapi ia tetap tidak berdaya. Dalam perjalanan dekat Damsyik, yaitu pada waktu tengah hari, tiba-tiba memancarlah cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilinginya (Kis. 22:6). Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara, "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya aku?" Jawab Saulus, "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya, "Akulah Yesus, yang engkau aniaya itu." Pada saat itulah Saulus hanya bisa rebah di tanah tanpa daya. Rencana Saulus pergi ke Damsyik adalah untuk menganiaya dan menangkap orang-orang percaya, tetapi Tuhan justru membawa Saulus untuk bertelut di hadapan-Nya.

Sang penganiaya tak berdaya menghancurkan Gereja, sebab Tuhan Yesuslah kepala Gereja. Saulus menganiaya Gereja, tetapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa diri-Nya yang dianiya. Semakin kuat Gereja dianiaya, semakin nyata kuasa Tuhan di dalamnya; sebab semakin dianiaya, umat Tuhan semakin dekat dan bersandar pada-Nya. Ketika Tuhan menyatakan diri dan kuasa-Nya, sang penganiaya hanya dapat rebah di tanah dengan tidak berdaya.

Perjumpaan dengan Kristus di jalan menuju Damsyik, membawa perubahan besar pada diri Saulus. Sejak saat itu, melalui suatu proses pembentukan oleh Tuhan, akhirnya Saulus benar-benar diubahkan. Saulus si penganiaya orang-orang Kristen berubah menjadi Paulus sang pemberita Injil Kristus.

Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang setia. Ia dengan segenap hati melayani Tuhan, yakni memberitakan Injil, menasihati, dan mengajar tiap-tiap orang dalam segala hikmat (Kol. 1 :28a). Tujuannya jelas, yaitu untuk memimpin tiap-tiap orang kepada Kristus (Kol. 1 :28b). Ia tidak gampang kecewa dan tidak mudah lelah. Ia juga tidak lekas puas diri. Ia terus berusaha dan bergumul dengan sekuat tenaga sesuai dengan kuasa Allah yang bekerja dengan kuat di dalam dia (Kol. 1 :29). Ia mengarahkan pandangannya pada tujuan yang Allah kehendaki dan berusaha untuk mencapainya. Ia juga menasihati umat Allah agar melayani dengan segenap hati, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23).

Paulus setia sampai akhir di dalam melayani Tuhan dan memberitakan Injil. Hal ini tampak jelas dalam surat kepada Timotius yang kedua, yang ditulis pada masa tuanya. Ia menasihati Timotius untuk siap sedia memberitakan firman baik atau tidak baik waktunya (2 Tim. 4:2), menguasai diri dalam segala hal, sabar dalam penderitaan, serta setia melakukan pekerjaan pemberitaan Injil dan menunaikan tugas pelayanan (2 Tim. 4:5). Dalam kesempatan itu ia mengatakan kepada Timotius: "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Tim. 4:6-7).

Ia tahu bahwa orang-orang yang setia sampai akhir tidak akan dikecewakan oleh Tuhan. Paulus menuliskan, "Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya" (2 Tim. 4:8).

Kini saatnya bagi kita untuk mengintropeksi diri: Apakah kita sudah melayani dengan setia? Siapkah kita untuk setia sampai akhir? - AL -