Pada bacaan kita terungkap istilah “Puteri Sion”. Ada tiga makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, umat Allah yang terpilih: bangsa yang dipilih Allah, bersorak sorai dan menunjukkan kedekatan dan perhatian Allah yang lembut terhadap mereka. Kedua, kaitannya dengan Gereja atau orang yang percaya. Yakni semua orang, termasuk yang non Israel, bersatu padu untuk menantikan kedatangan Mesias. Ketiga, simbol kerinduan akan pemulihan: menderita akibat perbuatan dosa namun dipulihkan Allah, layak berpengharapan karena Mesias akan datang. Warna merah muda, melambangkan kegembiraan, karena sudah semakin dekat saja akan kedatangan Sang Mesias.
Mesias yang dinanti merupakan sosok besar. Bacaan pertama kita menggambarkannya dengan istilah “gibbor” : Sosok yang pahlawan, gagah berani namun menunjukkan hubungan yang begitu intim dengan umat-Nya. Sebab Sang Mesias merupakan “yassha” : Sosok yang memulihkan, membebaskan umat dari penghukuman dan kesemena-menaan para musuh. Bahkan bukan hanya itu saja Ialah juga Sang “go’el”> Hal senada yang dipersaksikan Ayub bahwa, “..tetapi penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu..”. Mesias, berarti penebus, yang demi pemulihan akan mengalami pederitaan dan rela dirinya mengalami kehancuran.
Dalam bacaan Injil kita melihat bagaimana Yohanes Pembaptis mewartakan pertobatan. Ia menuturkan, “keturunan ular beludak”. Klausa ini merupakan sindiran keras, mengacu pada orang yang menganggap diri mereka sebagai orang benar hanya karena berasal dari garis keturunan Abraham, tanpa menunjukkan perubahan hidup yang sejati. Yohanes memperingatkan bahwa kebenaran dan kesalehan tidak cukup hanya dinyatakan secara lisan ataupun ritual, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Yang disebut dengan pertobatan bukan sekedar mengubah hati tetapi ternyata berdampak dalam hubungan sosial dan ekonomi. Tuhan Yesus yang datang akan menghadirkan pembaruan besar dan pemulihan yang mendalam. Dengan demikian panggilan bagi kita semua adalah mari dengan gembira kita tulus hati dalam menghidupi iman. Konkretnya tidak memanfaatkan posisi sosial untuk keuntungan diri, justru memakainya untuk kepentingan mereka yang membutuhkan.
“Jangan biarkan pertobatan menjadi suatu ritual kosong, tetapi biarkan itu menjadi perjalanan hati yang benar-benar berbalik kepada Tuhan. Jika hati kita tidak berubah, maka pengakuan kita hanyalah suara kosong. Keikhlasan dalam pertobatan adalah mendengarkan suara Tuhan dan mengubah hidup kita sesuai dengan kehendak-Nya” (Gregorius Agung, 540 sd 604M)