Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 30 Maret 2025
Bacaan Alkitab: Yosua 5:9-12; Mazmur 32; 2 Korintus 5:16-21; Lukas 15:1-3, 11b-32
Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang nenek. Ia memiliki seorang cucu laki-laki. Namun, ketika remaja, cucunya mulai bergaul dengan teman-teman yang salah. Ia jarang pulang, mulai mencoba hal-hal yang tidak baik, dan akhirnya meninggalkan rumah tanpa kabar. Jam demi jam berlalu. Oma tetap menunggu di teras rumahnya. Hari pun berganti. Ia berdoa, berharap cucu kembali. Orang-orang menertawakannya, berkata, “Buang saja harapanmu, Nek! Ia memang tidak baik. Ia sudah tidak menghargaimu.” Tapi Oma tetap percaya bahwa cucunya pada dasarnya baik.
Larut malam, seorang pemuda kurus dan lusuh berdiri di depan rumah itu. Matanya penuh air mata. Ia ragu, takut ditolak. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintu Oma sudah berlari memeluknya. “Cucuku, kau pulang!” serunya sambil menangis. Di tengah pelukan neneknya, ia bertanya, “Oma, apakah kau masih mau menerimaku setelah semua yang kulakukan?” Dengan suara lembut, Oma menjawab, “Kamu selalu punya tempat di sini, Nak. Kasih sayangku tidak pernah berubah.”
Dalam Yosua 5, bangsa Israel baru saja memasuki Tanah Perjanjian setelah 40 tahun mengembara di padang gurun. Mereka pernah menjadi budak di Mesir, dan generasi sebelumnya dihukum karena ketidaktaatan mereka. Namun, di Gilgal, Tuhan berkata, “Hari ini telah Kuhapus cela Mesir itu daripadamu.” (Yosua 5:9). Kalimat ini sangat kuat. "Cela" dalam bahasa Ibrani adalah cherpah, yang berarti kehinaan atau rasa malu yang dalam. Tuhan tidak hanya membawa mereka ke tanah baru, tetapi juga menghapus beban masa lalu mereka. Banyak dari kita hidup dengan rasa bersalah. Mungkin ada orang tua yang merasa gagal mendidik anak, pemuda yang menyesali keputusan buruk, atau lansia yang terbebani oleh penyesalan lama. Tetapi Tuhan berkata, “Cela masa lalu telah dihapus!”
Mazmur 32 menggambarkan kebahagiaan orang yang menerima pengampunan Tuhan. Daud berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!” (Mazmur 32:1). Kita sering mencari kebahagiaan dalam hal-hal duniawi—uang, status, atau hiburan. Tapi Mazmur ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari kesempurnaan hidup, melainkan dari pengampunan Tuhan. Dari anak-anak hingga lansia, kita semua pernah berbuat salah. Tapi Tuhan menawarkan kebahagiaan sejati: bukan dengan menghapus kesalahan kita secara ajaib, tetapi dengan mengampuni dan memulihkan kita. Rasul Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus, kita adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Kata "ciptaan" di sini memakai kata Yunani ktisis, yang berarti sesuatu yang benar-benar diperbarui, bukan hanya diperbaiki. Lebih dari itu, kita tidak hanya diampuni, tetapi diberi tugas sebagai "duta-duta Kristus" (ayat 20). Tuhan tidak hanya menerima kita kembali, tetapi juga mengutus kita menjadi agen rekonsiliasi bagi dunia.
Dari perspektif psikologi, konsep penerimaan dan rekonsiliasi ini bisa dikaitkan dengan Teori Attachment (Kelekatan) dari John Bowlby. Bowlby menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk merasa aman dan diterima dalam hubungan mereka. Ketika seseorang mengalami keterpisahan atau penolakan dalam kehidupan, hal itu bisa menyebabkan luka emosional yang mendalam. Namun, penelitian dalam psikologi juga menunjukkan bahwa pengalaman rekonsiliasi—seperti yang terjadi dalam kasih karunia Allah—dapat membawa penyembuhan emosional. Saat kita merasa diterima, bahkan setelah kegagalan, kita mengalami pemulihan psikologis yang mendalam. Inilah yang ditawarkan Kristus: bukan hanya pengampunan, tetapi juga pemulihan hubungan. Tuhan tidak hanya berkata, "Aku mengampunimu," tetapi juga, "Aku ingin bersamamu kembali." Kini kita masuk ke perumpamaan Yesus yang sangat terkenal: anak yang hilang. Namun, mari kita melihat dari perspektif yang lebih mendalam.
Mengapa Sang Bapa Berlari? Dalam budaya Yahudi, seorang patriark (kepala keluarga) tidak pernah berlari. Berlari dianggap sebagai tindakan yang memalukan bagi orang tua. Tetapi ketika melihat anaknya pulang, sang bapa berlari! Ini bukan sekadar tindakan emosional, tetapi juga tindakan penyelamatan. Menurut hukum Yahudi, seorang anak yang mempermalukan keluarganya bisa dihukum kezazah—dilempari batu oleh penduduk desa. Dengan berlari lebih dulu, sang bapa mencegah anaknya dihukum oleh orang-orang. Inilah yang Yesus lakukan bagi kita. Ia turun dari surga, mengambil rupa manusia, dan berlari menuju kita, bahkan mati di kayu salib agar kita tidak mengalami penghukuman. Anak Sulung: Gambaran Orang yang Sulit Menerima Kasih Karunia. Kita sering melihat diri kita dalam anak bungsu. Tapi bagaimana dengan anak sulung? Ia tidak bisa menerima bahwa ayahnya begitu mudah mengampuni adiknya. Ini adalah gambaran dari orang-orang yang merasa lebih benar, yang sulit memahami bahwa kasih Tuhan tidak tergantung pada jasa manusia. Kita bisa menjadi seperti anak sulung ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, atau ketika kita sulit mengampuni orang yang pernah menyakiti kita. Tapi kasih Allah lebih besar dari keadilan manusia. Bagi-Nya, setiap orang yang kembali berhak mendapat kasih yang sama.
Dalam Kebaktian Intergenerasional kita hari ini sepatutnya kita merenungkan:
Bagi anak-anak: Tuhan selalu mengasihi kalian. Jika kalian melakukan kesalahan, jangan takut. Tuhan siap mengampuni dan menerima kalian kembali.
Youth, teens dan Dewasa Muda: Dunia menawarkan banyak kesenangan yang bisa menjauhkan kalian dari Tuhan. Jangan menunggu sampai kalian jatuh untuk kembali. Kasih Tuhan selalu terbuka.
Dewasa: Mungkin ada orang-orang yang sulit kalian maafkan. Ingatlah, jika Tuhan menerima kita tanpa syarat, kita juga harus belajar menerima dan mengampuni orang lain.
Lansia: Tidak ada kata terlambat untuk mengalami pemulihan. Tuhan masih bekerja dalam hidup kalian dan tetap menanti setiap pertobatan dengan penuh kasih.
Apakah ada di antara kita yang merasa jauh dari Tuhan? Apakah ada yang merasa sulit untuk menerima kasih karunia? Hari ini, kita diundang untuk kembali. Jangan takut. Tuhan tidak akan menolak. Sebaliknya, Ia akan berlari kepada kita, memeluk kita, dan berkata: "Kamu selalu punya tempat di sini."
Pdt. Pramudya Hidayat