Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 23 October 2011
Ayub adalah sosok yang sangat baik dalam pandangan Tuhan, bahkan Tuhan juga bangga akan kesalehannya. (1:8). Di tengah keluarga, Ayub juga adalah ayah teladan bagi anak-anakNya, ia sangat baik kepada anak-anaknya (ay 4-5). Dan tentu saja ia juga seorang suami yang baik, yang mengasihi istrinya. Dia adalah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab, memiliki kepemimpinan rohani yang baik dalam keluarga. Ayub boleh dikatakan tipe pria yang ideal. Ia sangat kaya secara jasmani maupun rohani, ia baik dan saleh luar dan dalam. Itulah Ayub. Bagaimana dengan istri Ayub? Sebelum masuk ke dalam pencobaan tentu ia adalah wanita yang sangat berbahagia, dia merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Ia memiliki segalanya, suami yang baik dan saleh, bisa dipercaya, ia memiliki anak-anak yang banyak dan memiliki harta yang melimpah. Sehingga tak pernah kekurangan. Mungkin setiap hari ia tersenyum puas menatap masa depannya yang cerah. Dan pasti Ayub juga merasa bahagia mendapatkan seorang istri yang baik. Rumah tangga mereka sangat diberkati Tuhan dengan berbagai kelimpahan.
Namun episode keluarga ini selanjutnya berubah 180 derajat. Semua yang sudah dalam genggaman akhirnya hilang begitu saja, melalui musibah-demi musibah yang mereka alami (1:13-19). Ayub dan istrinya tentu saja sangat tertekan dan menderita dengan semua peristiwa yang menimpa keluarga mereka. Dan yang paling menderita pasti Ayub, karena dialah yang menjadi sasaran tembak dari iblis. Pada saat itu, secara manusia satu-satunya kebahagiaan yang masih tersisa dari Ayub hanyalah istrinya, sehingga kehadiran dan dukungan dari istrinya sangat dibutuhkan. Namun satu-satunya asa yang ada selain Tuhan, kini menampakkan wajah aslinya. Ketika istrinya mempertanyakan kesetiaan Ayub kepada Allah. “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9) Saya berpikir,….. inilah pukulan yang terberat dari semua pencobaan dan ujian yang dialami Ayub. Sebagai seorang suami dia masih bisa bertahan menghadapi segala tantangan. Tetapi kali ini dia mendapat pukulan telak, ia seolah ditusuk tepat di tempat yang paling mematikan! Namun kesetiaan Ayub kepada Tuhan tetap tidak dapat dihancurkan, dengan semua ide dan sumpah serapah itu. Ayub berkata: “engkau berbicara seperti perempuan gila” (ay 10). Dalam keadaan yang normal, itu memang bukan perkataan yang pantas dari seorang suami kepada istrinya. Tetapi kita setuju kalau ide, sikap dan perkataan istri Ayub melebihi batas. Ternyata senyuman manis, kecantikan yang menawan dan kebaikan yang dulu dirasakan Ayub hanyalah bungkus luar! Sebab wajah asli seseorang terlihat pada saat ia tertekan, Baik oleh penyakit, penderitaan ataupun persoalan hidup yang berat. Apakah imitasi ataukah emas!
Dalam perspektif Allah, pastilah Dia tahu dan dapat mengukur kapasitas yang dapat dipikul seseorang dalam menanggung beban, sehingga semua pekerjaan iblis pun dalam kontrol dan batasan yang dibuat Allah, baik kepada Ayub maupun kepada istrinya (1:12; 2:6). Namun yang menarik, wajah asli istri Ayub lebih dari “seorang perempuan gila” sebab konsepnya ternyata sama persis dengan konsep iblis. Bahwa manusia jika menderita pasti, dan seharusnya meninggalkan Allah (2:5). Beruntung “wajah asli” Ayub adalah emas. Seandainya Ayub bukan emas, pasti perkataan istrinya sudah meluluhlantakan imannya. Sehingga karena ia emas, ia tak pernah takut dengan api. Sebab emas dalam api justru semakin dimurnikan. Itulah Ayub melewati api pencobaan, tetapi hidupnya justru semakin dimurnikan. Emas tetaplah emas sekalipun dalam lumpur. Tetapi jika barang tiruan, bertemu dengan api akan terlihat kualitasnya yang rendah dan tak berharga. Saudara, siapakah kita sesungguhnya apakah emas atau imitasi akan teruji dalam “api pergumulan.” Sebab itu, di bulan keluarga ini, marilah kita membangun keluarga yang takut akan Tuhan, Keluarga yang tetap setia kepada Tuhan, menjadi suami atau istri saling setia di dalam segala perkara. Bukan keluarga “palsu” yang iman dan setianya gampang dipermainkan oleh situasi kehidupan. Yang hanya terlihat saling mengasihi ketika semua urusan tampak lancar dan baik-baik. Tetapi saling menuding dan menyalahkan serta meninggalkan Tuhan ketika di dalam persoalan. Seperti apakah keluarga yang kita bangun? imitasi ataukah emas murni? Amin. - RR -