Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 12 Februari 2012
Sudah merupakan tradisi bila orang yang berpenyakit kusta diasingkan dari keluarga dan masyarakat. Selain karena takut tertular, menurut hukum Musa orang kusta adalah najis (Im 13-14), sehingga menjadi stigma di masyarakat kalau penyakit ini adalah kutukan Allah. Itu sebabnya dalam kisah ini, si kusta meminta supaya ia ditahirkan (disucikan), bukan disembuhkan seperti yang lazim. Karena itu dapat dibayangkan bagaimana menderitanya keadaan seorang yang berpenyakit kusta.
Sebab ia harus “terbuang” dari orang-orang yang dikasihi, dari lingkungannya, ia kehilangan semua kesempatan dalam hidup; kesempatan berkumpul dengan keluarga, kesempatan bersosialisasi, bekerja, beribadah, dll. Sehingga banyak di antara mereka yang didapati meninggal dunia, bukan karena penyakit kustanya, tetapi karena siksaan batin yang luar biasa menghadapi dampak ganda dari penyakit itu. Dimana ia seolah-olah merasa “dihukum” Allah dan juga manusia.
Yang menarik, bagaimana sikap Tuhan Yesus ketika berhadapan dengan orang kusta ini? Ternyata Tuhan tidak mengusir atau menghindarinya, malahan Dia menyentuhnya dengan hati yang penuh belas kasihan, bahkan menyembuhkannya seketika itu juga! (ay 41-42). Menurut Firman Tuhan, tindakan Yesus ini didasari oleh belas kasihNya, “…Lalu tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan….”(ay 41). Kata belas kasih yang dipakai di sini dari kata Yunani splanchnizomai yang berarti kesayangan, lubuk, rahmat, terharu, bela rasa (compassion). Itulah kasih sayang yang timbul dari lubuk hati yang paling dalam ketika melihat penderitaan orang lain, sehingga perasaan ini memunculkan usaha untuk menolongnya. Belas kasihan lebih kuat dari pada simpati. Rasa simpati belum sampai pada tindakan yang konkrit, sedangkan belas kasihan adalah kasih dan kepedulian yang dinyatakan dalam perbuatan. Dan kita dapat menyaksikan bahwa setiap kali hati Tuhan tergerak oleh belas kasihan, maka Dia segera bertindak untuk menolong. Sikap belas kasihan Tuhan Yesus merupakan dasar dari seluruh karyaNya. Itulah isi hati Tuhan kita Yesus Kristus yang berbelas kasih ketika melihat kesengsaraan manusia, sehingga Dia hadir juga dalam dunia ini, “menyentuh” kita yang berdosa dan membebaskan kita dari belenggu dosa dan maut (Rom 5:8). Belas kasihNyalah yang mengalahkan segalanya.
Belas kasihan Tuhan harus diresponi dengan ketaatan (ay 44). Sebab ketidaktaatan akan menghambat kesaksian atau pemberitaan kabar baik, bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah yang hidup (ay 45). Ketaatan kepada segala perintahNya sebenarnya merupakan wujud dari kasih dan syukur kita atas kebaikan dan kemurahanNya (1 Yoh 4:19). Demikian pula bentuk ketaatan yang tidak kalah pentingnya yaitu ketaatan untuk berbelas kasihan kepada sesama yang menderita, terpinggirkan, orang-orang yang kurang beruntung dalam dunia ini (1 Yoh 4:20). Tuhan “menitipkan” mereka kepada kita. Ia berkata: “…orang-orang miskin selalu ada padamu,...” (Mark 14:7). Apalah arti pelayanan kita jika hanya menyentuh kepuasan/kepentingan diri sendiri, komisi atau gereja sendiri tetapi tidak pernah menyentuh mereka yang terhilang dan terbuang? Bukankah banyak kali kita gagal dalam hal ini, karena kita tidak memiliki hati yang berbelas kasihan kepada yang terbuang, sehingga kita tidak berani “menyentuh” tetapi justru menghindar dan bahkan mengusir mereka jauh dari kehidupan kita! Ingatlah bahwa sebenarnya kitalah “si kusta!”, yang telah terbuang karena dosa. Tetapi Tuhanlah datang mencari kita (Luk 19:10). Dia menyentuh dan memulihkan hidup kita yang terbuang dan terhilang untuk ditahirkanNya, sehingga kita dilayakkan menjadi anak-anakNya, diterima menjadi anggota keluargaNya (Yoh 1:12). Sebab itu marilah kita membuka hati kita sehingga belas kasihan Tuhan juga memenuhi hati kita, supaya kita dapat juga bertekun dan berjuang dalam perbuatan kasih (1 Yoh 3:18). Amin - RR -