Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 19 Februari 2012

Ada sebuah kesaksian dari kisah nyata yang dibuang sayang, yang intinya sebenarnya mau mengajarkan tentang kuasa doa. Di mana dikisahkan tentang sebuah keluarga yang kecewa dengan Tuhan, sebab persoalan hidup tak kunjung usai. Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta memang berat.

Mereka terlilit dengan berbagai masalah, diantaranya terlilit hutang yang banyak. Sehingga sebagai solusi terakhir pasangan suami istri yang telah menjadi gelap mata ini, berniat untuk melakukan bunuh diri, termasuk juga membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil, dengan jalan meminum racun. Waktu dan tempat telah mereka sepakati dan siapkan dengan perencanaan yang matang. Dan pada saatnya 4 gelas minuman beracun yang mematikan telah tersedia di atas meja. Kemudian pasangan yang nekat ini, memanggil anak-anaknya yang tampak lagi bermain-main ceria, yang tentu saja belum mengerti apa-apa. Yang aneh sang suami masih sempat memimpin doa. Dalam doanya ia berkata: “Ya Tuhan kalau memang ini jalan yang Engkau kehendaki kami siap,..” Dan pada saat itu kontan ke-4 gelas itu seperti meledak, pecah berantakan. Pasangan suami istri itu terperanjat dan seolah disadarkan. Mereka berpelukan menangis memohon ampun kepada Kristus, mereka menyesali tindakkan mereka yang hampir saja membawa kematian yang sia-sia. Tentu saja kita tidak boleh menjadikan kasus ini menjadi contoh untuk mencobai Tuhan. Tetapi kalau kita mencermati, ada sebuah perbedaan besar antara Kristus dan orang Kristen pada umumnya. Kristus selalu bertanya, “Apakah yang Bapa kehendaki untuk Aku lakukan?” Kristus selalu mendahulukan kehendak Allah. Sementara kita hampir selalu “memaksa” Allah untuk menuruti kehendak kita!” Bahkan sebelum Ia berdiri melangkahkan kakiNya, Kristus selalu berlutut dulu untuk berdoa kepada BapaNya (Mark 1:35). Sementara kecenderungan kita, selalu melangkah lebih dulu, nanti ketika giliran bagian yang tersulit, baru diserahkan kepada Allah. Sehingga Allah dan kehendakNya bukanlah menjadi solusi dan prioritas pertama, tetapi selalu menjadi solusi terakhir, dan yang pada gilirannya ketika semua jalan menjadi buntu, seringkali, Allah juga ikut kebagian “getahnya”, dipersalahkan dan dikambinghitamkan!

Apa yang terjadi di gunung Hermon sebenarnya merupakan suatu peneguhan atas pergumulan dan doa Kristus yang akan menempuh jalan salib (Luk 22:42-44). Sebelum Ia memasuki Yerusalem, Kristus mendapat kekuatan dari Bapanya, dari Musa dan Elia. Kehadiran Musa dan Elia memang merupakan penggenapan nubuat dari Firman Tuhan (Mal 4:5), dan mereka adalah nabi-nabi yang besar yang sangat dihormati umat Israel. Tetapi maksud kehadiran mereka, tentu memiliki tujuan, sebagai nabi yang pernah melewati padang gurun yang kelam, padang gurun ketidakpercayaan dan penolakan. Mereka seolah-olah memberi konfirmasi bahwa jalan salib yang ditempuhNya adalah memang jalan yang kelam dan hina, tetapi itulah jalan yang penuh dengan kemuliaan. Hal itu diteguhkan oleh Allah sendiri yang berfirman dalam awan kemuliaan : “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” (ay 7). Peneguhan ini mau menunjukkan bagaimana perkenan Allah Bapa terhadap AnakNya. (Luk 3:22; Mat 17:5). Sebab itu, marilah kita belajar mendahulukan Allah dan kehendakNya, supaya hidup kita senantiasa berkenan di hadapanNya. (Maz 34:10-11; Mat 6:33).

Peristiwa transfigurasi ini ternyata disaksikan pula oleh ketiga murid Yesus yaitu, Yakobus, Petrus dan Yohanes. Menyaksikan kemuliaan Kristus yang begitu dahsyat, tentu membuat mereka sangat takut, takjub dan bersukacita. Sehingga Petrus yang memiliki kecenderungan untuk bertindak lebih dulu mengusulkan untuk mendirikan 3 kemah; untuk Musa, untuk Elia dan untuk Yesus. Usul Petrus menunjukkan bahwa ia ingin tetap berada di atas gunung menikmati kemuliaan Tuhan. Petrus berkata: “…Rabi, betapa bahagianya kami berada ditempat ini…” (ay 5). Tetapi Allah menghendaki supaya mereka taat seperti Kristus, “…dengarkanlah Dia…” (ay 7). Dan untuk itu mereka harus turun gunung melayani sebagai hamba yang mengabdi dan berkorban. Bukankah kadang kala sikap kita sama seperti Petrus yang hanya senang berada di atas gunung, takjub menikmati berkat dan kemuliaan dari Tuhan? Kita enggan “turun gunung” melayani sebagai hamba! Saksi kemuliaan Kristus haruslah turun gunung, taat seperti Kristus melayani sebagai hamba Amin - RR -