Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 8 Juli 2018

Ben Adam artinya anak manusia. Seorang teolog besar, yang bernama Soren Kierkegaard, membagi manusia, khususnya orang-orang Kristen, dalam tiga level.

Pertama, Level Aesthetic. Pada level ini, orang Kristen itu melakukan suatu hal berdasarkan apa yang dia suka. Apa pun juga yang diperbuatnya, dasarnya kembali pada satu hal, “Saya suka atau tidak?” Kalau suka baru dia dilakukan. Level ini bicara soal perasaan nyaman. Kedua, Level Rasional. Pada level ini, hidup orang Kristen itu semua dipertimbangkan dengan penilaian: “Masuk akal atau tidak? Benar atau tidak?” Kalau bisa dipahami, masuk akal dan dinilai benar, barulah dilakukannya. Ketiga, Level Iman. Pertanyaan pada level ini bukan ”Apakah masuk akal atau tidak?” Pertanyaannya adalah: ”Apakah kehendak Allah?”

Merasa nyaman itu perlu, dan bertindak rasional itu juga dibutuhkan. Tetapi ada satu hal yang tidak boleh diabaikan, yaitu kehendak Tuhan. Ada saatnya kita harus meninggalkan “zona aman” dari Level Aesthetic serta ”belenggu keterbatasan rasio” dari Level Rasional. Kita harus masuk ke Level Iman. Ukurannya bukan hanya, ”Apa yang aku suka?” atau ”Apa yang masuk akal bagiku?”, tetapi ”Apa kehendak Allah?”

Ben Adam (anak manusia) harus mengutamakan kehendak Allah. Tuhan Yesus, Allah yang berinkarnasi menjadi Anak Manusia, memberikan contoh yang baik dalam hal ini. Bukan perasaan sendiri yang diutamakan-Nya, tetapi kehendak Bapa-Nya. Dia mengalami penolakan di Nazaret, tempat asal-Nya (Mrk. 6:1-5), tetapi hal itu tidak membuat-Nya menjadi sedih dan putus semangat untuk melayani. Ditolak di Nazaret, Dia justru berjalan keliling ke tempat-tempat lain untuk mengajar dan memberitakan Injil (Mrk. 6:6), bahkan mengutus kedua belas murid-Nya berdua-dua untuk melakukannya juga (Mrk. 6:7-13).

Ben Adam mesti siap menghadapi kelemahan dirinya untuk mengalami kekuatan Tuhan dalam hidupnya. Rasul Paulus memberikan contoh dalam hal ini. Dia memiliki kelemahan yang disebutnya sebagai duri dalam daging (2Kor. 12:7). Ada ahli yang menafsirkan ”duri dalam daging” adalah penyakit (mata, malaria), tetapi ada pula yang menafsirkannya sebagai orang-orang yang suka mencari-cari kesalahan dan menyerang Paulus. Apapun bentuknya, hal itu tentu membuat Paulus merasa tidak nyaman dan mengalami penderitaan. Ia sudah tiga kali berseru kepada Tuhan untuk menyingkirkan duri dalam daging itu (2Kor. 12:8). Tetapi jawab Tuhan kepada-Nya: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Secara rasio hal itu tampaknya tidak masuk akal, tetapi Paulus bukan hanya mengandalkan rasionya semata, melainkan ia dapat dengan iman mengamini kehendak Tuhan. Itu sebabnya ia dapat meresponi firman Tuhan dengan berkata: ”Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2Kor. 12:10).

AL