CURAHAN KASIH KEKAL

Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 1 Maret 2015

Allah mencurahkan kasih-Nya yang kekal kepada umat-Nya. Ia berkenan menjadi Allah bagi kaum keluarga Israel dan bagi mereka yang menjadi umat-Nya. Dari jauh Ia menampakkan diri dan berkata: “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:1,3).
Kasih Allah tidak berubah.  Kendatipun manusia telah jatuh dalam dosa, namun Ia tetap mengasihinya. Ia berkenan menyerahkan Anak Tunggal-Nya untuk mati bagi manusia yang berdosa. Kitab Suci menyatakan: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Tuhan Yesus datang ke dalam dunia untuk menyatakan kasih Allah yang kekal:  “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantara nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr. 1:1-2). “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi” (Ibr. 1:3).
Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang (Mat. 20:28). Kitab Suci menyatakan bahwa Ia "telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini, menurut kehendak Allah dan Bapa kita” (Gal. 1:4).
Di dalam Yesus, Allah yang maha besar dengan kasih yang besar telah melakukan perbuatan yang besar untuk manusia berdosa yang seharusnya binasa. Inilah kabar baik yang dinyatakan dalam Alkitab (Yoh. 3:16). Karena kasih, Yesus Kristus rela mati di atas kayu salib untuk menggenapkan karya keselamatan dari Allah.  
Kematian Yesus merupakan korban yang bersifat menggantikan (the sacrifice of substitution).  Bila Ia  tidak mati sebagai korban yang menggantikan, maka kita tidak dapat lepas dari status sebagai orang berdosa. Tentang hal ini firman, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (II Korintus 5:21).
Kematian Yesus merupakan korban yang bersifat meredam murka Allah (the sacrifice of propiation). Karena dosa, kita berada dalam murka Allah. Namun melalui kematian dan kebangkitan-Nya Ia telah menyelamatkan kita dari murka Allah (I Tes 1:10).
Kematian Yesus merupakan korban yang bersifat menanggung hukuman (the sacrifice of retribution). Hukuman yang seharusnya dijatuhkan pada manusia berdosa, telah ditanggung oleh Tuhan Yesus di atas kayu salib, sehingga tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus (Rom 8:1-4).
Kematian Yesus merupakan korban yang bersifat mendamaikan (The sacrifice of reconciliation). Kita yang telah terpisah dari Allah dan menjadi seteru-Nya karena dosa dan pelanggran kita, kini telah diperdamaikan dengan Allah melalui Yesus Kristus yang telah mati untuk kita (II Kor 5:15,18-19).  Dulu kita adalah seteru-seteru Allah, tetapi sekarang adalah anak-anak Allah.
Tuhan Yesus tidak hanya mati untuk menyelamatkan manusia, tetapi Ia telah bangkit pada hari yang ketiga dan naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang maha kuasa. Dia pergi ke surga untuk menyediakan tempat bagi orang-orang yang percaya (Yoh. 14:1-3).
Kasih kekal dari Allah kiranya mendorong, memampukan, dan mengajar kita untuk berkomitmen mengasihi secara konsisten. Kasih bukan sekedar perasaan. Kasih merupakan suatu komitmen untuk memberikan diri kepada Allah dan kepada sesama. Kepada pasangan, keluarga, dan orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita. Perasaan bisa berubah-ubah, tetapi komitmen kasih membuat kita tetap mengasihi apapun situasi dan kondisinya.
Marilah kita mengasihi secara konsisten. Selama masih hidup kita harus ”tetap mengasihi.” Kurikulum tentang kasih bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari sekali saja kemudian diabaikan. Kasih harus kita pelajari seumur hidup. Marilah kita belajar mengasihi dengan mengalami kasih Allah, memiliki kasih Allah, dan mengaplikasikan kasih Allah.