Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 9 Juni 2024
Bacaan Alkitab: Kejadian 3:8-15; Mazmur 130; 2 Korintus 4:13–5:1; Markus 3:20-35
Istilah “Dosa Menghujat Roh Kudus” memang terkesan ada sebuah hukuman menyeramkan yang tidak mungkin lagi terhindarkan bagi yang sudah melakukannya. Namun sesungguhnya istilah “Dosa Menghujat Roh Kudus” adalah tentang bagaimana merespons kesempatan-kesempatan-Nya yang sudah dihadirkan-Nya dalam kehidupan kita. Blasphemia secara harafiah memang diterjemahkan menjadi menghujat, mengatakan kata-kata jahat dan menghina. Akan tetapi maknanya terletak pada sebuah perbuatan/tindakan perlawanan yang terus menerus terjadi, menolak pekerjaan Roh Kudus. Dengan demikian bukan pengampunan Allah yang terbatas, tetapi dengan sengaja ia menutup diri untuk mendapatkan pengampunan.
Latar belakang keluarnya istilah, “Dosa Menghujat Roh Kudus” adalah Tuhan Yesus yang dipermasalahkan. Pertama dalam kalangan kaum keluarga-Nya sendiri. Tuhan Yesus dianggap melakukan tindakan yang keluar dari diri sendiri/menjadi gila. Tuhan Yesus dianggap kehilangan kontrol, membahayakan Tuhan Yesus sendiri. Keluarga berupaya menolongnya dengan menarik Tuhan Yesus dari hadapan banyak orang. Peristiwa ini mengajar kepada kita bahwa komitmen Tuhan Yesus, yakni Kerajaan Allah: keadilan, kasih, pengampunan dan kerendahan hati, sesuatu yang amat penting dan mendesak untuk dinyatakan. Saking pentingnya, komitmen Tuhan Yesus kepada misi Allah tersebut, ketika membutuhkan pengorbanan dan penolakan diterima-Nya.
Kedua, permasalahan dari para Ahli Taurat. Mereka menuduh Tuhan Yesus memakai kuasa beel-zebul. Istilah ini sesungguhnya sedang merujuk dewa Filistin yang dikenal sebagai “tuan dari tempat yang tinggi” (penguasa setan/iblis). Mereka dengan sengaja mendiskreditkan pekerjaan dan otoritas-Nya. Demi popularitas para Ahli Taurat meruntuhkan kredibilitas Tuhan Yesus di hadapan banyak orang. Namun tindakan Tuhan Yesus bukan demi popularitas/kredibilitas. Tetapi Kerajaan Allah: kesembuhan orang sakit.
Sesungguhnya kisah ini ingin menegaskan bahwa keluarga, betapapun Ahli Taurat yang sedemikian berbuat jahat, Allah tetaplah panjang sabar, penuh kasih dan siap mengampuni segala dosa. Pengampunan tetap mungkin bagi mereka yang membuka hati untuk pertobatan. Pengampunan Allah tetaplah tanpa batas. Namun apalah arti pengampunan Allah yang tanpa batas itu jika tidak disambut dengan pertobatan. Bagaimana pertobatan itu sendiri dapat terjadi? Pertobatan terjadi karena karya Roh Kudus yang membawa kepada pertobatan.
“Dalam tindakan sehari-hari kita, ketaatan dan kerendahan hati adalah kunci untuk tetap berada dalam kasih karunia Roh Kudus. Kekerasan hati, bahkan dalam hal sepele, dapat membawa kita kepada penghujatan terhadap Roh Kudus” (Gregorius Agung, Pastoral Rule, 3:36). Kita diajak untuk melihat pada perbuatan dosa yang dianggap sederhana, sepele dan kecil dalam kehidupan keseharian kita. Apakah kita terbiasa untuk bertobat atau terbiasa untuk abai? Apakah terbiasa untuk mengakui? Atau ngeyel?
Pdt. Pramudya Hidayat