Para tokoh di sekitar kelahiran Tuhan Yesus mesti mengambil keputusan-keputusan besar dan penting berkaitan dengan tugas panggilan dari Tuhan kepada mereka. Keputusan-keputusan itu tidak mudah dan pelik. Tidak serta merta Maria dan Yusuf meng-iya-kan pemilihan Tuhan atas diri mereka menjadi orangtua duniawi bagi Yesus yang dari sorga. Mereka mesti mengambil sikap menerima atau menolak pemilihan ilahi dalam peran mereka masing-masing. Yusuf, setelah sesaat gamang, ragu-ragu, cemas, mau menceraikan tunangannya sendiri meski dengan pertimbangan baik terutama untuk Maria (supaya yang membuatnya hamil bertanggungjawab) dia mengambil keputusan untuk menerima kehormatan dari Tuhan. Dia tidak melihatnya sebagai beban meski pun, secara manusiawi, berkorban besar. Dalam kebiasaan di masyarakat kita jika kita melanggar aturan dan tertangkap tangan lalu kita “minta kebijaksanaan”. Sadar melakukan kesalahan tetapi minta dimaklumi dan dianggap tidak salah. Bagi Yusuf (dan Maria tentunya) sikap bijaksana tidak harus menjadi sikap yang sifatnya permisif, bisa ditawar-tawar, dinegosiasikan, win-win solusion (dalam pengertian yang jelek). Sikap bijaksana mereka adalah tetap taat melakukan apa pun yang diperintahkan oleh Tuhan dengan mantap, konsisten dan konsekuen. Seperti Abraham. Sikap bijaksana itu adalah sedia berkorban untuk kepentingan yang lebih besar dan ia tahu itu adalah kepentingan Tuhan. Yusuf (dan Maria) juga bersikap demikian. Yusuf dan Maria ini percaya Tuhan yang tidak kasat mata, suka bekerja dalam hening, sepi dan diam akan menjamin kehidupan mereka. Mereka bahagia justru karena mereka mengambil keputusan yang sangat bijaksana. “Mengaminkan panggilan Tuhan” meski pun nampaknya menyusahkan mereka. Kata iman dalam bahasa Ibrani “aman” artinya memercayakan diri kepada …. , menyandarkan diri kepada ..… Beriman kepada Tuhan artinya “menyandarkan hidup sepenuhnya atau memercayakan hidup seutuhnya kepada Tuhan.”. Inilah landasan sikap iman Yusuf dan Maria menyongsong hari depan mereka. Dan tidak mengecewakan ….