Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 22 November 2020
Di dunia yang kompetitif ini, perhatian orang sering kali lebih tertuju kepada orang-orang "besar,” yaitu mereka yang sukses dan terkenal di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, orang-orang “kecil” dan “lemah” seringkali tidak dipandang orang. Dalam kehidupan bergereja adakalanya hal yang seperti itu bisa juga terjadi. 2000 tahun yang lalu Yakobus telah menegur para pemimpin jemaat di perantauan berkenaan dengan hal tersebut. Mereka memperlakukan orang-orang berada secara istimewah, sebaliknya orang-orang yang tak punya mereka pandang hina. Yakobus menegur mereka dan berkata, “.... janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka” (Yak. 2:1b).
Teguran Yakobus itu juga ditujukan kepada kita yang hidup di awal abad XXI ini. Janganlah kita memandang rendah orang-orang yang lebih lemah, baik yang lemah secara fisik, pendidikan, sosial ekonomi, maupun tingkat spiritualitasnya. Mereka yang lebih lemah itu juga makhluk ciptaan Allah yang berharga.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, kita saling membutuhkan satu dengan yang lain. Karyawan membutuhkan majikan, tetapi majikan juga membutuhkan karyawan. Pasien membutuhkan dokter, tetapi dokter juga membutuhkan pasien. Rakyat memerlukan pemimpin, tetapi pemimpin juga memerlukan rakyat. Oleh karena itu, jangan memandang rendah orang lain. Sebaliknya, kembangkanlah hati yang peduli kepada orang lain. Lebih perlu lagi kita peduli kepada mereka yang kecil dan lemah.
Di dalam kehidupan berjemaat, sikap saling peduli harus terus dibina dan dikembangkan. Anggota yang satu tidak boleh berkata kepada yang lain: “Aku tidak membutuhkan engkau.” Sebab tubuh Kristus itu dapat diibaratkan seperti tubuh manusia, di mana anggota-anggota tubuh yang tampaknya paling lemah yang paling dibutuhkan. Misalnya otak dan jantung itu lemah, tetapi coba bayangkan kalau otak atau jantung minta cuti satu hari saja, akan jadi apa tubuh kita? Selain itu, anggota-anggota tubuh kita yang kurang terhormat kita beri penghormatan khusus, dan anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok kita beri perhatian khusus (1Kor. 12:21-24). Misalnya kaki yang letaknya paling bawah kita beri sandal atau sepatu, dan wajah yang berjerawat kita obati dan rawat dengan baik. Oleh karena itu, janganlah saling meremehkan, tetapi hendaklah kita menunjukkan kepedulian dalam tindakan yang nyata.
Marilah kita pupuk suatu kehidupan yang saling peduli di tengah keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang “kuat” harus peduli kepada yang “lemah.” Yang “besar” harus memperhatikan yang “kecil.” Begitu juga sebaliknya! Kepedulian pada orang lain akan membebaskan kita dari penjara egoisme dan eksklusivisme, menuju suatu kehidupan yang memiliki kesaling-tergantungan satu dengan yang lain.
Kesaling-tergantungan itu bukan ciri kelemahan, tetapi merupakan ciri kedewasaan. Stephen R. Covey, penulis buku The 7 habits of Highly Effective People yang terkenal itu, membagi hubungan antar manusia dalam tiga tahap, yaitu ketergantungan, kemandirian, dan kesaling-tergantungan. Setiap orang memulai hidupnya dari tahap bergantung pada orang lain. Tetapi ia dapat memasuki tahap kemandirian dengan menjadi proaktif, mulai dengan akhir dalam pikirannya, dan dapat mendahulukan yang utama (kemenangan pribadi). Ia pun dapat meningkatkannya ke tahap yang lebih matang, yaitu kesaling-tergantungan. Hal dapat dicapai dengan berpikir menang/menang, berusaha mengerti orang lain terlebih dahulu baru dimengerti orang, dan mewujudkan sinergi (kemenangan publik).
Kepeduliaan yang membawa kita memiliki kesalingtergantungan, dapat membuat kita menerobos kemenangan pribadi menuju kemenangan publik. Marilah kita belajar peduli pada orang lain! Peduli itu sangat penting dan tinggi nilainya!
AL