Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 28 April 2013

Ada sebuah survey di Amerika Serikat tentang topik apa yang paling populer dibahas dalam masyarakat, diukur dari judul-judul buku yang diterbitkan. Dalam urutan 5 besar hasilnya sebagai berikut:  tentang Surga 2.652 judul, Uang 10.344, Seks 16.065, Allah 18.818, dan Kasih 30.066 judul. Kita patut bersyukur jika melihat hasil survey ternyata KASIH masih menjadi topik  yang utama yang  dibicarakan dan dibahas dalam masyarakat. Hal itu berarti kasih masih menjadi suatu hal yang penting dan dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat modern.
Bagaimana dengan gereja? Apakah kasih masih menjadi topik yang utama? Jawabannya tentu saja ya! Bahkan KASIH tidak pernah alpa untuk dinyanyikan dalam ibadah-ibadah kita, kasihlah yang selalu dijadikan tema di setiap perayaan-perayaan gerejawi. Tema tentang kasih juga yang paling banyak dipentaskan dalam drama-drama Natal maupun Paskah. Khotbah tentang kasih juga yang mendominasi mimbar-mibar gereja, seminar, ceramah, pendalaman Alkitab (PA) dst.
Pada satu sisi kita bersyukur karena kasih juga masih menjadi topik utama dalam gereja. Namun pada sisi yang lain, kita juga harus prihatin, karena walau kasih yang paling sering dibicarakan, dibahas dan dinyanyikan, ternyata semua itu hanya sebatas wacana, teori dan lips service. Karena dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari, cara hidup kita seringkali jauh dari kasih yang diperintahkan Tuhan.
Faktanya, banyak sekali kekacauan, perpecahan, permusuhan, penolakan, kebencian, saling membalas dendam, peperangan, dll., justru telah menjadi sejarah kelam mewarnai perjalanan hidup gereja!  


Justru itu melalui nas ini, Tuhan Yesus memberi teladan dan menunjukkan bagaimana seharusnya kasih yang benar itu dipraktekkan:
1.    Kasih itu harus memiliki “daya tahan”.  (ay 31,34)    
Kebanyakan kasih kita gampang luntur, apabila kita dikecewakan orang lain. Apalagi ketika kita disakiti atau dikhianati (Hos 6:4c). Dalam hal ini, Tuhan Yesus memberi teladan bagaimana kasihNya yang tidak goyah, walau Ia menyadari betul saat itu, bahwa tiba saatnya Ia akan dikhianati oleh Yudas,  disangkali oleh Petrus dan ditinggalkan oleh murid-muridNya. Yesus justru memberi perintah yang baru untuk saling mengasihi. “Sesudah Yudas pergi berkatalah Yesus.....Aku memberi perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi......” (ay 31, 34). Yang menarik di sini kata “baru” berati “segar” artinya, kasih kita harus selalu segar kepada orang lain. Tidak luntur atau goyah karena sikap orang lain yang mengecewakan kita.   
Itulah kasih Tuhan Yesus yang selalu segar, memiliki kekuatan dan daya tahan, sehingga walau Ia dikhianati, disangkali, ditinggalkan sendirian. Tetapi kasih Yesus tak pernah berubah. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi besar kesetiaanMu!” (Rat 3:22-23).

2. Kasih itu harus dipraktekkan bukan  sekedar teori (ay 34)
Bagi Yesus, kasih memang tidak cukup hanya diajarkan atau teori, dijadikan simbol, slogan, atau wacana semata. Tetapi harus melekat dalam gaya hidup kita, sehingga menjadi ciri khas setiap murid-muridNya. Untuk itu, Yesus memberi pengajaran dan sekaligus teladan. Ia berkata: “.....supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu.......” (ay 34). Melalui ungkapan ini, kita dapat memahami bahwa ketika Ia memberi perintah untuk mengasihi, Ia telah mempraktekkan kasih itu terlebih dahulu, “sama seperti Aku telah mengasihimu....” Yesus tidak hanya pandai berteori tentang kasih, tetapi hidupNya adalah teladan bagaimana mengasihi yang sesungguhnya. Dan salib di bukit Golgota adalah bukti kasihNya yang tiada taranya.

3. Standard kasih kita harus kasih Agape  (ay. 31, 34-35)
Kasih Agape adalah kasih yang rela berkorban tanpa pamrih. Jika hal ini dikaitkan dengan konteks saat itu, berarti adanya kesediaan dari Tuhan untuk mengampuni murid-muridNya,  bahkan yang mengkhianatiNya sekalipun. Selain itu juga, adanya kesediaan Tuhan untuk menerima keadaan murid-muridNya apa adanya, sekalipun sangat mengecewakanNya. Adanya kesediaan untuk berkorban tanpa pamrih. Adanya kesediaan untuk tetap mengasihi walau kasih itu tak terbalas, dll. Itulah model kasih yang juga seharusnya kita terapkan dalam hidup kita sebagai anak-anakNya. Kasih Agape, bukan kasih “karena”..... Saya mengasihinya “karena” ia baik....” Tetapi kasih Agape adalah kasih yang “walaupun” .... Saya mengasihinya “walaupun” ia membenci saya!   

4.Kasih Agape harus menjadi identitas orang percaya (ay 34-35)
Dan akhirnya kasih Agape adalah tanda pengenal atau identitas dari murid Kristus. Orang lain  dapat mengenal kita sebagai murid Tuhan, bukan karena warna/model pakaian yang kita pakai, bukan hanya sekedar ibadah minggu yang setia kita hadiri. Bukan hanya sekedar kata-kata yang berbau agama yang kita lontarkan, bukan hanya dari berapa banyak ayat Alkitab yang rajin kita kutip dan hafalkan. Bukan pula dari jabatan yang kita sandang dalam gereja. Identitas seorang murid Kristus diukur dari bagaimana relasi yang penuh kasih mesra dengan Tuhan dan sesama. Apakah kita mau mengulurkan tangan kita kepada yang tersisih? Apakah kita rela memberi dan berbagi dengan mereka yang menderita? Apakah kita mau menyapa dan tersenyum dengan mereka yang tak dipandang dunia ini? Apakah kita mau mengampuni yang bersalah kepada kita? Apakah kita mau bersikap terbuka menerima orang lain apa adanya bahkan mereka yang berbeda dengan kita? Kasih Tuhan Yesus itu terlalu tinggi, dalam dan luas untuk dibicarakan. Tak akan pernah cukup waktu untuk merenungkannya. Sebab itu, ada baiknya jika kita juga mulai mempraktekkannya. Sebab hanya dengan mempraktekkan kasih Agape, kita dapat menjadi saksi Tuhan yang berguna. Kasih Tuhan Yesus itu terlau agung dan mulia untuk direnungkan, tetapi sangat sederhana untuk dapat dipraktekkan! Amin.  RR