Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 22 September 2019

Untuk setia dalam segala perkara, harus dimulai dari setia dalam perkara-perkara kecil. Tuhan Yesus mengatakan: "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Luk. 16:10).

Apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara kecil” dan “perkara-perkara besar”? Di dalam konteks perikop Lukas 16 tersebut, yang dimaksud “perkara-perkara kecil” itu adalah perihal Mamon, yaitu masalah uang (materi). Dalam pandangan Tuhan Yesus, masalah uang (materi) adalah “perkara kecil.” Sedangkan “perkara besar” yang dimaksudkan-Nya adalah “hidup yang mengabdi kepada Allah.”

Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, yaitu perkara uang, akan setia juga dalam perkara-perkara besar. Setia dalam perkara kecil dimulai dengan memposisikan uang dengan benar. Allah menciptakan manusia untuk kemuliaan-Nya (Yes. 43:7). Allah menciptakan materi untuk manusia kelola dengan baik bagi kemuliaan-Nya (Kej. 1:28; Rm. 11:36). Jadi Allah ada di atas manusia (Tuhan, Tuan), dan materi/uang ada di bawah manusia (hamba, pelayan). Setia dalam perkara kecil, dimulai dengan setia menempatkan uang pada posisi yang benar, yaitu sebagai pelayan (yang di bawah), bukan sebagai tuan (yang di atas). Orang yang memposisikan uang dengan benar, akan berusaha mendapatkan uang dengan jujur, memiliki rasa cukup dalam hati, serta tahu menggunakan uang dengan baik, sehingga hidupnya menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Allah. Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, yaitu perkara uang, akan setia juga dalam perkara-perkara besar, yaitu hidup untuk memuliakan Allah.

Orang yang tidak benar dalam perkara kecil, yaitu perkara uang, akan tidak benar juga dalam perkara-perkara besar. Tidak benar dalam perkara uang dimulai dengan menempatkannya pada posisi yang keliru, yaitu uang dianggap sebagai hal yang terpenting dan terutama. Tanpa disadari, uang bukan lagi menjadi pelayan, melainkan telah menjadi tuan dan dirinya menjadi hamba. Pada saat orang telah menjadi hamba uang, maka ia tidak dapat lagi mengabdi kepada Allah (Luk. 16:13). Orang yang mengutamakan uang senantiasa ingin cepat kaya sehingga jatuh ke dalam pencobaan dan jerat dan berbagai keinginan yang bodoh dan yang menyakitkan, yang sedang menenggelamkan manusia ke dalam kehancuran dan kebinasaan (1Tim. 6:9). Alkitab juga mengatakan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10). Selain itu, tidak benar di dalam memposisikan uang juga akan membuat orang tersebut tidak benar pula di dalam mempergunakan uang. Ia tidak lagi mempergunakan uang untuk menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Allah, tetapi justru sebaliknya: ada yang memakai uangnya untuk berfoya-foya dan berbuat dosa; ada yang menggunakan uang untuk memperdaya orang dan memanfaatkan sesamanya; dan ada pula yang menimbun uang untuk dirinya sendiri, tanpa mau peduli pada orang lain (Luk. 16:19-21).

Setia dalam segala perkara harus dimulai dari setia dalam perkara-perkara kecil, yang didasarkan pada setia dalam perkara-perkara besar, yaitu hidup mengabdi kepada Allah dan memuliakan-Nya. Orang yang setia dalam melakukan perkara-perkara kecil, tentu akan setia pula dalam melakukan perkara-perkara besar.

AL