Realitas Indonesia dan Pembelajaran Moral. Saudara-saudara yang terkasih, beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan maraknya berita tentang aksi gotong-royong warga di berbagai daerah yang dilanda bencana—mulai dari banjir bandang di Sumatera Barat, kebakaran di Kalimantan, hingga tanah longsor di Jawa Tengah. Di tengah minimnya bantuan resmi yang cepat datang, warga sekitar bergerak tanpa menunggu perintah: ada yang memasak untuk korban, ada yang mengangkut barang dengan perahu seadanya, ada yang membuka rumah mereka untuk pengungsi. Fenomena ini membuat banyak orang tersentuh—karena di saat yang sama, kita juga mendengar berita tentang orang-orang yang justru memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi: menimbun bantuan, menaikkan harga kebutuhan pokok, atau menyebarkan hoaks demi kepentingan tertentu.
Dua realitas ini mengajarkan kita satu hal penting: kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas untuk memilih sikap moral yang benar. Kita dihadapkan pada pilihan setiap hari—apakah kita akan menjadi bagian dari mereka yang membangun kehidupan bersama, atau mereka yang merusaknya demi kepentingan diri sendiri. Sebagai umat Kristen yang hidup di Indonesia yang merayakan 80 tahun kemerdekaan, panggilan kita jelas: hadir di tengah bangsa bukan hanya sebagai penduduk, tetapi sebagai saksi kasih dan kebenaran Allah. Kita dipanggil untuk menjadi hadir seperti Allah yang “dekat” dalam Yeremia 23, berdoa seperti pemazmur dalam Mazmur 28, bertahan dalam iman seperti para saksi di Ibrani 11, dan membawa api pembaruan seperti Kristus dalam Lukas 12.
1. Allah yang Dekat dan Kehadiran yang Mengubah (Yeremia 23:23–29) Yeremia menyampaikan firman Tuhan: “Masakan Aku Allah yang dekat, dan bukan Allah yang jauh?” (ay. 23). Allah hadir secara aktif, bukan hanya mengamati dari jauh. Dia melihat setiap pikiran manusia dan menilai setiap tindakan kita.
Kehadiran Allah yang dekat ini menjadi model bagi kita—umat Kristen di Indonesia—untuk hadir secara aktif di tengah masyarakat. Kita tidak cukup menjadi penonton peristiwa bangsa. Kehadiran Kristen harus seperti api dan palu (ay. 29): • Api yang menghangatkan hati yang dingin karena ketidakpedulian. • Palu yang memecahkan kebekuan moral dan mengoreksi ketidakbenaran.
Jika kita diam, kita kehilangan kesempatan untuk menjadi wakil kehadiran Allah di tengah bangsa.
2. Mengandalkan Tuhan di Tengah Ujian Bangsa (Mazmur 28) Pemazmur berkata: “Kepadamu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru” (ay. 1). Dalam konteks bangsa, doa ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan berarti kita lepas dari tantangan. Tantangan baru selalu muncul: krisis moral, kesenjangan sosial, dan degradasi lingkungan. Kehadiran Kristen di Indonesia harus ditandai oleh doa yang konsisten dan keterlibatan yang nyata. Kita tidak hanya mengkritik pemerintah atau masyarakat dari pinggir, tetapi juga bersyafaat dan ikut bekerja membangun negeri. Bangsa ini butuh lebih banyak umat Kristen yang menghidupi semboyan: “Doakanlah mereka yang memerintah, supaya kita dapat hidup tenang dan tenteram” (1Tim. 2:2), sambil memberi kontribusi nyata dalam pekerjaan sehari-hari.
3. Bertahan dengan Iman di Tengah Arus (Ibrani 11:29–12:2) Penulis Ibrani mengingatkan bahwa para saksi iman bertahan dalam ujian—mereka berjalan di laut yang terbelah, meruntuhkan tembok Yerikho, bahkan bertahan dalam penderitaan. Kehadiran Kristen di Indonesia menuntut keberanian untuk berbeda demi kebenaran. Iman membuat kita tidak hanyut dalam arus korupsi, intoleransi, atau hedonisme, tetapi tetap memandang kepada Yesus sebagai pusat hidup (12:2). Iman bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi komitmen publik yang terlihat dalam kejujuran bekerja, integritas dalam memimpin, dan kesetiaan melayani.
4. Membawa Api Pembaruan dan Membaca Tanda Zaman (Lukas 12:49–56) Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi” (ay. 49). Api Kristus adalah api yang memurnikan, membakar kebusukan moral, dan menerangi kegelapan. Kehadiran Kristen di Indonesia tidak selalu membuat semua orang nyaman—kadang justru memanggil pada pertobatan yang bisa memicu ketegangan. Yesus juga menegur orang yang bisa membaca cuaca tetapi tidak peka pada tanda zaman. Gereja harus peka terhadap konteks Indonesia hari ini—isu lingkungan, intoleransi, kesenjangan ekonomi, hingga tantangan generasi muda—dan memberi respons yang setia pada Injil.
Panggilan di Usia 80 Tahun Kemerdekaan Saudara-saudara, 80 tahun kemerdekaan adalah anugerah besar. Tapi anugerah itu datang dengan tanggung jawab: menghadirkan Allah yang dekat melalui kehidupan kita. • Menjadi umat yang memperkuat persatuan, bukan menambah perpecahan. • Menjadi umat yang menyalakan api pembaruan, bukan membiarkan apinya padam. • Menjadi umat yang memegang iman teguh, bukan ikut arus yang merusak.
Kiranya, ketika bangsa ini melihat kita, mereka bisa berkata: “Ada harapan, karena ada orang-orang yang menghadirkan kasih dan kebenaran Allah di sini.” Amin.