Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 19 Oktober 2025
Bacaan Alkitab: Yohanes 5:1-18
Kisah mukjizat penyembuhan seorang yang sakit 38 tahun di kolam Betesda merupakan kisah yang cukup populer dan sering disampaikan di berbagai kegiatan, termasuk di Sekolah Minggu dan Kebaktian. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?
Nama “Betesda” berarti house of mercy/compassion/kindness, rumah kemurahan hati, belas kasihan, atau kebaikan. Di kolam Betesda itu ada banyak orang sakit yang memerlukan kemurahan hati, kebaikan, dan belas kasih Allah lewat mukjizat kesembuhan dari guncangan air kolam itu. Mereka orang-orang yang karena sakit, jadi tak berdaya guna, tak mampu menjalani hidup dengan semestinya. Di Betesda, rumah kemurahan, kebaikan dan belas kasihan itu, ada orang yang sembuh dan kembali berdaya guna.
Namun di Betesda juga ada sebuah kisah tragedi. Ada orang yang sudah 38 tahun menderita sakit, lumpuh dan terbaring di atas tikar. Dia tak pernah berhasil mencapai kolam karena selalu didului yang lain. Tragis, di tempat dengan nama rumah kebaikan dan kemurahan hati, orang tak peduli sesamanya, hanya peduli pada kesembuhan diri dan mungkin kerabatnya. Yang sembuh mungkin sudah puluhan bahkan ratusan, tapi tak satupun mau peduli dengan mereka yang masih tertinggal dan tak berdaya. Tragisnya lagi, ketika orang yang sakit 38 tahun itu disembuhkan dan dipulihkan Yesus, para pemuka Yahudi malah marah dan tidak suka karena hal itu dilakukan di hari Sabat. Angkat tikar dan menyembuhkan dianggap sebagai melanggar hari Sabat, di mana tidak boleh ada bekerja. Ironis, bahkan untuk membantu sesama dan menyembuhkannya, itu dianggap salah!
Kadang tragedi seperti itu juga terjadi di dekat kita. Sama seperti “Betesda” - house of mercy/compassion/kindness, bisa jadi tempat yang tragis, jauh dari belas kasihan, kebaikan dan kemurahan, begitu juga gereja yang semestinya jadi tempat yang aman dan penuh damai sejahtera, tidak sedikit malah jadi tempat yang meresahkan dan membuat orang tak betah. Yang mestinya jadi tempat mencari pemulihan dari sakit dan kepedihan, justru menjadi tempat yang menorehkan luka lebih dalam.
Yesus hadir di Betesda itu. Ia bertanya kepada orang yang sudah 38 tahun sakit itu: “Maukah engkau sembuh?” Tidak sekali dua kali penulis Injil menyebutkan terjadinya mukjizat didului oleh adanya ungkapan: “hati-Nya tergerak oleh belas kasihan” – yaitu kesadaran simpatik terhadap penderitaan atau kesusahan orang lain, yang bersamaan dengan munculnya kerinduan untuk mengurangi kepedihan yang ditimbulkannya. Itu sebabnya setiap kali disebutkan “tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan” maka senantiasa diikuti dengan suatu tindakan nyata dari Tuhan Yesus. Yesus tidak tinggal diam. Ia mengajar mereka, menyembuhkan yang sakit, menguatkan yang lemah.
Melalui gereja sebagai komunitas umat percaya, belas kasihan Tuhan juga seharusnya dialami mereka yang menyandang disabilitas, baik disabilitas fisik maupun intelektual. Mereka semua adalah umat Tuhan, bagian dari keluarga kerajaan Allah. Ada yang masih tampak kuat tegak berjalan, tapi juga ada yang sudah duduk di kursi roda, bahkan terbaring lemah di rumah. Apakah kita sebagai gereja, menjadi komunitas yang ramah, baik bagi mereka penyandang disabilitas maupun bagi keluarga mereka yang berjuang menopang? Ramah bukan hanya menyapa, tapi juga mengingat dan memfasilitasi pelayanan bagi mereka penyandang disabilitas, sama seperti kita memperhatikan anggota gereja lainnya, terutama yang lemah, kekurangan dan tak berdaya? Mari belajar dari peristiwa di Betesda, jadikan gereja sebagai “Betesda”, house of mercy, kindness and compassion, supaya semua orang di dalamnya, termasuk penyandang disabilitas dan keluarganya mengalami kemurahan, kebaikan dan belas kasih Tuhan.