Dalam sebuah khotbahnya, seorang pendeta mengatakan, seekor anjing justru akan menggeram ketika sedang diobati lukanya. Ia tidak mau didekati oleh siapa pun, menghindar, bahkan terkadang akan menyerang orang yang berusaha mendekatinya.
Itulah gambaran sebagian kita ketika sedang terluka. Tidak jarang, respons kita terhadap luka tersebut malah membuat suasana di sekeliling kita menjadi tidak nyaman. Padahal, jika tidak diobati, luka itu akan menjadi semakin parah. “Jadi, jika ada orang di sekitar kita yang suka membuat kericuhan, mungkin sebenarnya dia membawa luka dalam dirinya, atau jika kita tidak mengobati luka-luka kita, kita pun dapat menjadi sumber masalah bagi sekeliling kita,” demikian kata pendeta itu.
Disadari atau tidak, semakin dekat dengan seseorang, semakin kita menuntut kedekatan yang sama dengan orang tersebut. Seorang remaja SMA bercerita, dia baru saja memutuskan hubungan dengan pacarnya, dengan alasan sang pacar tidak memberitahukan hal-hal kecil yang terjadi dalam kesehariannya, misalnya pergi hang out dengan teman-temannya. Hal sepele yang membuat si remaja SMA tersebut merasa tidak dilibatkan. “Itu membuat saya merasa tidak penting dalam hidupnya. Kalau begitu, mengapa saya harus melanjutkan hubungan ini?” katanya.
Jika remaja SMA yang baru beberapa bulan menjalin hubungan dengan pacarnya itu ingin diutamakan, apalagi hubungan dalam sebuah keluarga. Berani berkomitmen berarti berani membuka diri dan menjalin hubungan timbal balik yang setara antaranggota keluarga. Namun kenyataannya, sebuah hubungan tidak selalu berjalan harmonis. Kekecewaan akibat disharmoni hubungan yang dekat akan menimbulkan luka yang lebih dalam. Goresan luka oleh orang terdekat akan terasa lebih memedihkan hati.
Demikian pula dalam pelayanan. Sering kali, kita lebih mudah melayani orang yang tidak kita kenal daripada orang yang kita kenal. Kita lebih menjaga tata krama, tutur kata, dan sikap terhadap orang lain dibandingkan terhadap anggota keluarga kita. Membantu orangorang yang kesulitan nun jauh di sana dilakukan dengan lebih menggebugebu dibandingkan membantu sanak saudara kita yang dekat di sini.
Dua kondisi yang bertolak belakang inilah yang sering kali membuat goresan yang tidak kasat mata dalam keluarga. Satu goresan ditambah goresan-goresan yang lain, pada akhirnya membuahkan luka yang dalam.
Ada ungkapan yang mengatakan, harapan memiliki sayap. Semakin tinggi kita dibawa terbang, semakin sakit jika ia menghilang. Ungkapan ini mengingatkan agar kita tidak menaruh harapan pada manusia. Manusia bisa sibuk, lupa, dan khilaf. Hanya Sang Khaliklah harapan sejati kita.
Kembali pada kata-kata pendeta di awal tulisan tadi, ia melanjutkan dengan ajakan, agar kita mau melepaskan luka-luka yang ada. Kita tidak mau seperti anjing terluka yang menggeram, bukan? Oleh sebab itu, terimalah uluran tangan Sang Pencipta yang mengasihi kita bagaikan biji mata-Nya. Di tengahtengah hiruk pikuk dan kekecewaan hidup, kita tak pernah sendirian. Berharaplah hanya kepada-Nya, sampai hidup kita selesai di dunia ini.
*Penulis adalah ketua Komisi Perpustakaan dan Publikasi GKI Gading Serpong.