Sebenarnya harus bagaimana sih melawat orang sakit sekarang ini? Aturan baru di masa pandemi membuat kita tidak lagi bisa menengok teman di rumah sakit. Jadi kita terpaksa hanya dapat melawat secara virtual atau menunggu si sakit sudah pulang ke rumah.

Selama pandemi ini, terhitung beberapa kali saya berkesempatan menemani anggota keluarga yang harus dirawat di rumah sakit. Ada rumah sakit yang aturannya ketat, pendamping benar-benar dibatasi hanya untuk satu orang, dan untuk masuk ke ruang perawatan harus menunjukkan surat keterangan negatif COVID-19 berdasarkan tes antigen. Jika untuk pendamping saja sudah seketat itu, apalagi untuk penjenguk. Jelas saja mereka tidak diizinkan masuk. Tapi ada juga rumah sakit yang lebih slebor. Pendamping maupun penjenguk bebas saja keluar masuk ruang perawatan, tanpa harus menunjukkan surat apapun. Celakanya, di rumah sakit yang satu ini, dinding kamar perawatannya benar-benar tidak kedap suara. Jadi, suara para pendamping ataupun penjenguk di kamar-kamar sebelah, bablas terdengar sampai ke telinga saya. Saya tidak habis pikir, jika mendengar ada penjenguk yang tanpa merasa bersalah mengobrol keras-keras di lorong antar kamar, apalagi jika tampaknya si penjenguk berasal dari gereja tertentu, terdengar dari isi obrolan dan doa-doa yang dipanjatkan bagi si sakit. Tidakkah mereka sadar? Jangankan menjadi berkat, suara yang keras itu sangat mengganggu pasien-pasien di kamar yang lain. Lagi pula, tidak semua pasien yang dirawat itu berasal dari penganut agama yang sama. Bagaimana jika terdengar oleh pasien yang beragama lain? Tidakkah itu malah menjadi kesaksian yang buruk?

Terkadang entah karena iseng atau memang mencari perhatian, pasien yang dirawat di rumah sakit dengan senang hati membagikan kondisinya di status media sosial. Tentu saja, perhatian pun datang bertubi-tubi. Jika diperhatikan, jenis perhatian yang diterima si sakit dari hasil pasang status di medsos ini ada dua macam. Ada orang yang benar-benar care, tapi ada juga yang hanya sekedar kepo. Mudah membedakan di antara dua jenis perhatian ini. Yang cuma kepo, paling bertanya, dia sakit apa, kok sampai harus dirawat di rumah sakit? Setelah diberi tahu, paling berikutnya mereka hanya mengucapkan, “GWS yah!” That’s all! Walaupun demikian, seperti yang pernah saya alami, ada juga teman yang lalu mengirimkan masakan, dengan pesan agar masakan kirimannya di-review dan di-post di medsos, untuk membantu mempromosikan dagangannya. Hmm…!

Tapi yang betul-betul care, biasanya selalu ada follow up-nya. Entah secara berkala menelepon untuk mengecek kondisi si sakit dan mendoakan, menyempatkan diri untuk mengantarkan buah tangan berupa parcel buah, makanan untuk pendamping, berbagai suplemen kesehatan, atau bahkan ada juga yang mau bersusah payah mengantarkan hasil masakannya sendiri, jika ia meyakini itu akan dapat membantu memulihkan kondisi si sakit, atau paling tidak untuk menghibur keluarga yang mendampingi. Ada juga yang mungkin lalu mengajak beberapa teman untuk bersama-sama menjenguk secara virtual, entah dengan Zoom, Google Meet, atau Whatsapp Call. Pernah juga saya menemui kasus, di mana si sakit berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit, maka pelawat yang menjenguk lalu memberikan rekomendasi kepada sie diakonia untuk dapat memberikan bantuan kepada keluarganya, walaupun mungkin jumlahnya tidak banyak.

Entah seperti apa pun bentuk perhatian yang diberikan, yang pasti kita harus menahan diri untuk tidak sembarangan mengumbar janji untuk memberikan bantuan, jika kita tidak yakin dapat memenuhi janji tersebut. Jangan sampai nanti malah mengecewakan. Seperti kasus Jenny, yang menawarkan diri untuk menjemput sahabatnya Clara, setelah ia dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit. Eh ternyata ketika tiba waktunya, Clara sudah penuh harap menghubungi Jenny, ternyata Jenny tidak bisa menjemputnya, karena sudah terlanjur sampai di rumah, sehabis menjemput anaknya dari sekolah. “Mendingan ga usah janji deh, Jen!” umpat Clara dalam hati dengan pahit, sambil menghubungi perusahaan taksi untuk mengantarnya pulang.

Sejak saya mendampingi orang tua yang sakit bertahun-tahun yang lalu, hal lain yang tidak saya sukai dari orang-orang yang menjenguk adalah tanpa diminta, mereka memberikan berbagai saran, yang saya yakin, mereka berikan dengan tulus, tapi tidak sesuai dengan kondisi yang kami alami. Mulai dari memberikan rekomendasi dokter-dokter kenalan mereka, metode pengobatan yang mereka yakini lebih baik, diet tertentu, menyarankan suplemen-suplemen yang mereka yakini bisa membantu penyembuhan, atau bahkan menggunakan kesempatan tersebut untuk menjual produk kesehatan dagangan mereka.

Berbeda kasusnya jika memang si sakit atau keluarga pendamping yang meminta, maka mereka siap untuk menerima saran dan informasi tersebut. Misalnya yang pernah saya alami, ketika kami sebagai keluarga mencari informasi dari teman-teman tentang penyedia jasa sewa ranjang rumah sakit, perawatan home care, dan supplier obat-obatan untuk perawatan di rumah.

Memang gampang-gampang susah. Saya sendiri sekarang lebih menahan diri jika mengetahui ada orang yang saya kenal dirawat di rumah sakit. Sebelum menghubungi mereka, saya perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah saya betul-betul care atau sekadar kepo? Apa yang akan saya lakukan setelah mengetahui penyakitnya? Apakah saya hanya akan berkata “GWS!" atau ada hal lain yang akan saya lakukan? Apakah saya akan mengirimkan sesuatu? Atau paling tidak, apakah saya akan mendoakannya? Jika tidak, mungkin lebih baik saya tidak usah bertanya. Barangkali si sakit sedang bergumul dengan rasa sakit akibat tusukan jarum infus dan pengobatan yang sedang diterimanya. Biarkanlah ia beristirahat.