Beberapa tahun lalu dalam sebuah seminar, seorang pembicara dengan kocak mengatakan, “Tidak terlepas kemungkinan, suatu saat persembahan gereja menggunakan aplikasi seperti OVO atau Gopay, dan bisa jadi nanti ada promo juga, misalnya cashback.” Kami semua yang mendengar tertawa, merasa itu tidak mungkin terjadi. Apalagi kemudian pembicara itu melanjutkan,” Eh…siapa tahu lho, siapa yang persembahannya banyak, akan mendapatkan cashback atau voucher lebih banyak!”

Tidak sampai satu tahun dari pembicara itu mengatakan hal demikian, kita semua diperhadapkan dengan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, dan setiap saya melakukan persembahan menggunakan gadget, saya pun teringat saat saya menertawakan perkataan pembicara tersebut, walaupun sampai saat ini sepertinya belum ada yang menawarkan cashback kepada para jemaat gereja yang memberikan persembahan.

Demikian juga beberapa tahun lalu, ketika saya merasa tergagap-gagap diajari para designer majalah, yang saat itu masih kuliah (sekarang sudah menjadi orang tua) menggunakan aplikasi pada laptop dan rapat yang diusulkan secara online seperti saat ini. Mereka yang tinggal di luar Tangerang, merasa kehabisan waktu untuk bertemu dalam rapat. “Bagaimana jika rapat nya menggunakan…?” Saat itu saya dengan tegas menolaknya, dan merasa itu tidak mungkin dilakukan. Namun sekarang, berkomunikasi, bahkan seminar, rapat sampai persekutuan dengan media Zoom pun sudah umum dilakukan.

Hal-hal yang sepertinya tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin. Bagaimana dengan metaverse? Saya sendiri baru mengetahui istilah ini ketika seorang teman memberitahukan di media sosial, “Eh, ternyata rumah virtual bisa lebih mahal dari rumah real!” Pernyataan yang menggelitik itu membuat saya mencari tahu apa itu metaverse. Istilah metaverse sendiri disebutkan oleh Neal Stephenson dalam novelnya yang berjudul Snow Crash pada tahun 1992. Metaverse adalah ruang virtual 3 dimensi, di mana orang-orang dapat berinteraksi seperti sesungguhnya: bekerja, menonton konser, bahkan sampai membeli rumah.

Yang menjadi pertanyaan adalah, jika ibadah yang dahulu dilakukan secara temu muka bisa dilakukan secara daring, kemudian dilakukan secara hybrid, tergantung dari situasi dan kondisi pandemi, bagaimana jika suatu saat ibadah dilakukan dengan metaverse, yang akan lebih memberikan pengalaman seakan-akan nyata? Apakah itu suatu hal yang diperbolehkan atau tidak?

Dalam survei awal respons para aktivis dan pimpinan gereja Indonesia terhadap metaverse, yang dilakukan sepanjang minggu ketiga dan keempat Februari 2022 oleh Pdt. Robby Chandra, dengan jumlah 313 jawaban yang diperhitungkan dari 375 jawaban yang masuk, dikatakan metaverse memiliki gambaran positif untuk responden berumur 30-60 tahun. Sebanyak 60.1% menyatakan, bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan, metaverse tidak terhindarkan, sama seperti pengunaan handphone dan internet saat ini. Sebanyak 13.7% menyatakan, walaupun penggunaan metaverse tidak terhindarkan, namun tidak akan terjadi dalam komunitas agama. 40.1% menyatakan, bahwa metaverse hanya akan menjadi perhatian sesaat, dan kemudian akan diabaikan. Dan 22% menyatakan, bahwa metaverse hanya akan digunakan terutama oleh kalangan milenial.

Terlepas dari pro kontra yang sekarang dihadapi, bagaimana kita bersikap? Saat menulis artikel ini, saya membaca tulisan yang ditulis oleh seorang pendeta yang menolak jika suatu saat metaverse digunakan dalam kegiatan ibadah. Ada yang berbeda antara kegiatan dalam suatu ibadah dengan kegiatan-kegiatan lainnya, yaitu kekudusan.

Namun tidak dapat dipungkiri, metaverse bisa digunakan sebagai media untuk pendidikan, pembinaan, bermisi, ataupun penginjilan. Sama seperti penggunaan pisau, apakah pisau itu berbahaya? Pisau mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama yang biasa bekerja di dapur. Namun, pisau pun bisa digunakan untuk melukai, bahkan membunuh orang.

Secara pribadi, jika pertanyaan itu diajukan sebelum masa pandemi, dengan lantang saya akan menolaknya. Namun pandemi Covid-19 sudah mengubah banyak hal dalam kehidupan, salah satunya dalam kehidupan sosial dan cara kita berelasi. Sebagai cara bertahan dalam pandemi, banyak aturan, pengetahuan, kemampuan telah dipaksakan untuk beradaptasi dengan kinerja sang virus SARS-CoV-2 yang juga selalu bermutasi.

Jadi, apakah suatu saat kita akan menggunakan metaverse dalam beribadah? Waktu yang akan berbicara!