Yosua 4: 19-24 Bangsa itu telah keluar dari sungai Yordan pada tanggal sepuluh bulan pertama dan mereka berkemah di Gilgal, di batas timur Yerikho. Kedua belas batu yang diambil dari sungai Yordan itu ditegakkan oleh Yosua di Gilgal. Dan berkatalah ia kepada orang Israel, demikian: "Apabila di kemudian hari anak-anakmu bertanya kepada ayahnya: Apakah arti batu-batu ini?

Maka haruslah kamu beritahukan kepada anak-anakmu, begini: Israel telah menyeberangi sungai Yordan ini di tanah yang kering! Sebab TUHAN, Allahmu, telah mengeringkan di depan kamu air sungai Yordan, sampai kamu dapat menyeberang seperti yang telah dilakukan TUHAN, Allahmu, dengan Laut Teberau, yang telah dikeringkan-Nya di depan kita, sampai kita dapat menyeberang, supaya semua bangsa di bumi tahu, bahwa kuat tangan TUHAN, dan supaya mereka selalu takut kepada TUHAN, Allahmu."

 

Batu adalah benda biasa. Bentuknya beragam, kadang bulat, kadang kotak dan lebih sering tidak beraturan. Warnanya juga tidak terlalu bervariasi, kadang hitam, kadang coklat atau abu-abu. Umumnya tidak ada yang menarik dari sebuah batu, karena batu bukanlah benda yang istimewa. Lebih sering batu tergeletak di jalan tanpa ada yang memperhatikan. Jika ada batu yang terlihat indah, biasanya ketika batu bersanding dengan elemen lain, misalnya batu dalam dekorasi ruangan. Batu adalah batu, dan selalu terlihat seperti batu. 

Namun demikian, batu yang terlihat biasa ini nampaknya memiliki tempat tersendiri dalam tradisi bangsa Israel. Sebagaimana terekam di kitab Yosua 4:19-24, tumpukan batu dijadikan simbol pengingat peristiwa yang fenomenal, yaitu ketika bangsa Israel melintasi sungai Yordan. Tumpukan batu juga nampaknya memegang peranan tersendiri dalam sejarah Israel selanjutnya. Kata “Eben Haezer” yang berarti “Sampai di sini Tuhan Menolong Kita” adalah perkataan yang diucapkan Samuel setelah mendirikan tumpukan batu sebagai monumen mengingat pertolongan Tuhan. 

Mungkin bangsa Israel adalah bangsa pelupa. Bangsa yang tidak mudah mengingat peristiwa besar dalam hidup mereka. Mengalami langsung saja tidak cukup sehingga harus dibantu dengan batu-batu sebagai pengingat. Kita tahu kisah cerita bangsa Israel sebagaimana dicatat dalam Perjanjian Lama. Jatuh bangun. Mereka mengalami masa bahagia dipimpin Tuhan, namun setelah itu lupa akan Tuhan. Setelah lupa, mereka harus melewati masa yang menyesakkan, baru ingat Tuhan lagi. Setelah ingat Tuhan lagi barulah mereka hidup baik. Demikian terus berulang, meskipun sudah dibantu dengan simbol pengingat seperti batu-batu, Nampaknya Tuhan bukan bagian yang selalu hadir dalam kisah mereka. Tuhan kerap terlupakan meskipun terdapat monumen batu sebagai pengingat peristiwa perjalanan Israel bersama Tuhan. 

Sejarah pun terus bergulir. Pada masa ketika Yesus akan lahir, bangsa Israel sedang dalam penjajahan dan sangat menginginkan kelepasan. Mereka menantikan kedatangan Mesias yang dianggap mampu membebaskan mereka. Namun harapan tinggal harapan. Selembar kertas tipis di Alkitab yang diletakkan di antara kitab Maleakhi dan kitab Matius ditengarai menceritakan kisah yang berjarak kurang lebih 400 tahun. Masa tersebut sering disebutkan sebagai masa kelam, karena Tuhan dirasakan tidak hadir. Sangat minim catatan yang dituliskan tentang kehadiran Tuhan, sehingga pada masa-masa tersebut sering dikatakan Tuhan tidak lagi berbicara kepada bangsa Israel. 

Kisah bangsa Israel yang terjadi ribuan tahun lalu mungkin tidak jauh berbeda dengan kisah kita sekarang. Seperti bangsa Israel yang sering melupakan penyertaan Tuhan, kita pun sering berlaku demikian. Tidak mudah mengingat penyertaan Tuhan. Jangankan mengingat yang Tuhan lakukan 10 tahun lalu, mengingat penyertaanNya sekitar 3 bulan lalu saja tidak mudah. Paling-paling yang diingat hanya hal besar saja sedangkan yang kecil dan rutin luput dari ingatan. Coba saja, berapa banyak penyertaan Tuhan yang dapat diingat dalam waktu 3 bulan terakhir? 

Di tengah kehidupan yang terus berjalan dengan hal-hal rutin, perayaan natal dan tahun baru menjadi momen tersendiri. Perayaan ini hadir setiap tahun, dan kehadirannya kerap membuat kita berhenti sejenak. Momentum natal dan tahun baru seakan-akan meminta kita berdiam sejenak dan bertanya; apakah kita mau terus larut dalam pusaran waktu yang terus bergerak ? 

Seringkali perasaan campur aduk muncul ketika melewati masa natal dan tahun baru. Perasaan tersebut muncul karena kita mendadak harus mereflesikan kehidupan yang sudah kita lalui. Ketika berefleksi, seringkali kita mengingat harapan-harapan yang masih belum tergapai, teman-teman atau saudara yang telah melukai hati, kerugian usaha yang terjadi, ataupun penyakit yang tak kunjung sembuh. Banyak kenangan manis, namun tidak sedikit yang pahit. Di penghujung tahun kita juga menyadari adanya persahabatan baru, namun ada juga pertengkaran yang telah terjadi. 

Jika membandingkan dengan tradisi bangsa Israel, apakah tujuan mereka membangun batu-batu pengingat dan mewariskan tradisi menceritakan perbuatan Tuhan kepada generasi selanjutnya? Tujuannya adalah mengilas balik penyertaan Tuhan di masa lalu, agar memupuk iman untuk masa depan, supaya dapat menjalani hidup di masa sekarang. 

Tujuan tersebut dapat kita lakukan hari ini juga. Berefleksi pada momentum perayaan natal dan tahun baru adalah untuk menyadari batu-batu pengingat yang telah kita miliki. Batu-batu tersebut mungkin berwujud kesehatan yang kita miliki, rumah yang kita tempati, pekerjaan atau usaha sekarang, pasangan yang mendampingi, kehadiran anak-anak atau orang tua, atau bahkan penyakit atau penderitaan yang tak kunjung usai, yang melaluinya kita semakin mengenal cara Tuhan bekerja. 

Batu-batu kehidupan yang telah kita lalui tersedia dan berserakan di sekitar kita. Ketika kita mau mengambil upaya menata dan menyusunnya, tumpukan batu-batu tersebut akan menguatkan perjalanan kita selanjutnya. Berefleksi dan mencatat penyertaan Tuhan di masa lalu adalah upaya menata dan menyusun batu-batu tersebut menjadi monumen hidup kita. Momen natal dan tahun baru seringkali menjadi saat yang tepat untuk manata tumpukan batu-batu tersebut. Monumen tersebut akan membantu kita mengilas balik penyertaan Tuhan di masa lalu, agar memupuk iman untuk masa depan, supaya dapat menjalani hidup di masa sekarang. 

Kalau kita mengucapkan dan menerima salam “Selamat Natal dan Tahun Baru”, semoga salam ini mengingatkan kita akan batu-batu yang telah Ia sediakan bagi kita. Bisa jadi Tuhan tidak lagi memakai cara yang pernah Ia lakukan di masa lalu untuk masa depan kita, namun kisah penyertaanNya yang telah berlangsung sejak awal kehidupan akan menjadi jaminan yang terus menguatkan kita.

Selamat Natal dan Tahun Baru