"Buka dulu topengmu...buka dulu topengmu.."

Mungkin di antara pembaca ada yang tahu atau masih ingat dengan sepenggal syair lagu tersebut. Beberapa hari yang lalu, saya membaca status di salah satu kontak WA saya, yang bunyinya kalau diterjemahkan kira-kira demikian: "Di saat-saat ini, ada orang-orang yang tidak suka atau tidak terbiasa memakai masker di gedung gereja, padahal dulu mereka selalu memakai topeng di gereja." Wow, makjleb, ya?

Bagi saya sendiri, memang terasa sulit untuk melepaskan topeng ketika berada di gedung gereja atau di lingkungan kerja, karena kecenderungan saya adalah ingin dikenal sebagai orang yang baik-baik, orang yang saleh, orang yang murah hati, pokoknya yang baik-baik deh. Kencenderungan untuk ja’im (jaga image) amat besar, jangan sampai self-image jatuh.

Padahal, ketika sudah meninggalkan gedung gereja atau lingkungan kerja, kembali ke rumah, taring saya pun mulai terlihat, kuku-kuku saya juga ikut keluar, segala borok-borok kelihatan, karena topeng sudah dilepaskan.

Melepas topeng di gereja bukanlah perkara mudah. Butuh hati yang rela membuka diri, rela dikritik karena borok-borok yang ada atau bahkan untuk hal-hal yang sebetulnya tidak pernah dilakukan, juga hati yang rela menerima orang lain apa adanya, sebagaimana diri sendiri dilihat apa adanya oleh orang lain. Dengan demikian kita bisa saling membangun dengan tulus hati. (Roma 14:19, “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.”)

Melalui status kontak WA saya tadi, saya diingatkan kembali, untuk tampil apa adanya. "...Buka saja topengmu, karena hidupmu kitab terbuka yang dibaca sesamamu; apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu?.."

Yuk, menjelang ibadah onsite, pakai maskermu, tapi sebelumnya buka dulu topengmu!