“Wow, si Andi sudah beli sepatu lagi,” tiba-tiba seorang remaja yang berusia 13 tahun menyeletuk.

“Dia lagi di Jepang ‘kan?” sahut teman di sebelahnya, “Bukannya dia baru beli sepatu baru?”

Saya yang ada di depannya,  menanyakan  bagaimana mereka tahu Andi sedang di Jepang dan membeli sepatu baru. “Memangnya kalian teman dekat ya, jadi saling cerita lagi apa, ada di mana?”

 “Enggak-lah, kami berbeda  geng-nya,  engga pernah ngobrol.  Ini lho, Bu..lewat instagram,” jelas mereka berdua sambil menunjukkan instagram-nya. Dan terlihatlah foto sepatu yang kanan kuning dan kiri oranye.

“Kok sepatunya kanan kiri beda, model  baru, ya?” saya jadi ikut berkomentar juga.

“Ahh Ibu enggak ngerti…itu maksudnya dia lagi memilih mau beli yang mana, coba tunggu 20 menit lagi, nanti pasti ada postingan sepatu yang dia pilih,” jelasnya lagi.

Suatu hari saya ditraktir seseorang makan di rumah makan keren, yang makanannya nampak keren juga. Saat hidangan tersaji di depan kami, yang pertama dilakukan adalah memotret dulu makanan yang tersaji. “Buat facebook,”katanya.  Lalu kami pun makan sambil mengobrol. Dan herannya, saat piring saya sudah habis, piring dia tetap utuh. “Sedang diet,”jelasnya.  Kemudian dia minta makanannya dibawa pulang untuk diberikan kepada pembantunya.

Dunia maya menjadi dunia yang sangat luas, dan tiba-tiba saja ada satu kebutuhan lagi yang diperlukan dalam diri seseorang, yaitu kebutuhan update untuk dilihat orang.  Bagaimana orang lain yang tidak seruangan dengan kita bisa mengetahui apa yang kita lakukan dan kerjakan, kita tidak pernah berbicara dengan mereka tapi mereka tahu kita ada di mana dan sedang makan apa, membeli barang apa.  Cukup dengan memposting status GKI Gading Serpong dan foto cawan kecil berisi cairan merah, orang-orang yang kita kenal ataupun tidak, bisa mengetahui kita adalah umat Tuhan yang sedang melakukan perjamuan kudus di GKI Gading Serpong.  Cukup dengan memposting kantong kolekte dan kaki-kaki bersepatu yang berbaris rapih, orang-orang tahu kita sedang menjadi petugas kolekte atau memberikan pesembahan ke kantong kolekte. Tidak perlu berkata-kata ataupun bersua, kita bisa memperlihatkan apa yang sedang kita lakukan.

Seorang pendeta pernah menceritakan dalam khotbahnya  bahwa salah satu jemaatnya yang rajin memberikan persembahan dalam jumlah besar untuk pelayanan, bunuh diri karena terlilit utang. Tentu saja semua heran mendengarnya.

Kebutuhan untuk dilihat bahagia, dilihat suci, dilihat aktif melayani, dilihat makmur, dilihat sehat, dilihat senior, dilihat baik, dilihat penuh kasih sayang, dsb, ternyata sekarang mulai menjalari sebagian orang. Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah berita tentang seorang artis yang mengakui telah melakukan beberapa operasi plastik. “Supaya enak dilihatnya,”itu alasannya.  Perbedaan cuping hidung atau lesung pipi beberapa milimeter bisa berarti banyak bagi dirinya. 

Apakah kita pun memiliki kebutuhan dilihat juga? Dilihat siapakah? 

Sejujurnya, kepada siapakah sebenarnya kita ingin memperlihatkan diri?