[ Penulis: Tjhia Yen Nie.  Editor: David Tobing. Foto: pixabay ]

20160915NasibBuruk

Karena kecelakaan, seorang lelaki paruh baya alami koma. Istrinya setia menemani di rumah sakit. Setelah beberapa waktu, lelaki itu sadar. Istrinya pun bergembira. Sambil tersenyum, sang istri menggenggam tangan sang suami. Kepada istrinya, sang suami berbisik lemah, “Ma…, engkau selalu ada di sisiku, saat aku bekerja dan di-PHK, engkau selalu ada di sisiku. Saat aku berbisnis dan tertipu rekanan bisnis, engkau ada di sisiku. Saat aku kehilangan rumah dan harus menjualnya, engkau ada di sisiku. Sekarang, saat aku kecelakaan, hampir mati, dan terkapar lemah, engkau juga ada di sisiku.” Mendengar hal itu, sang istri terharu dan menggangguk-anggukan kepala seraya mempererat genggaman. Kemudian, sang suami itu menatap mata istrinya, berbisik, “Engkau memang nasib burukku!”

Saya terkejut mendengar akhir cerita itu.  Saya pikir, tentu sang suami akan memuji istrinya.  Tapi ternyata dia mengatakan sebaliknya.

Ternyata kisah ini sering terjadi di sekeliling kita. Bahkan mungkin kita alami sehari-hari. Kita melihat kehidupan sebagai hal yang buruk, sama seperti suami itu menyalahkan istrinya yang setia itu. Padahal hal itu terjadi karena ketidakmampuan kita mengenali kehidupan sebagai hal yang baik, anugerah.

“Coba kalau saya tidak dilahirkan dalam keluarga broken home, saya pasti tidak terlibat narkoba!”

“Seandainya orangtua saya kaya, saya pasti bisa sekolah tinggi dan tidak jadi orang susah seperti sekarang!”

“Istri saya tidak bisa bekerja, selalu repot dengan urusan rumah tangga dan anak-anak, itulah yang menyebabkan kehidupan kami pas-pas-an!”

“Istri saya selalu sibuk dengan kantornya, makanya anak-anak kami nilainya jelek!”

“Seandainya saya cantik, suami saya pasti tidak selingkuh dengan wanita lain!”

“Kalau saja suami saya pengusaha sukses, saya pasti berani datang reuni karena tidak kalah gaya dengan teman-teman yang suaminya kaya.”

“Pendetanya kalau kotbah enggak enak, makanya iman saya enggak bertumbuh walaupun tiap minggu ke gereja.”

“Namanya juga pria normal, wajar saja kalau sesekali khilaf tergoda wanita lain. Orang lain juga sama, kok.”

Kita dengan gampangnya menyalahkan hal lain atas sesuatu yang terjadi dalam diri kita. Saat saya terkejut dan merasa tidak masuk akal mendengar akhir cerita di atas, saya pun jadi berpikir, bagaimana saya menyikapi hidup saya.

Apakah kita seperti sang suami itu?