“Put, besok pagi temani aku ke Jakarta ya,” kata suamiku di telepon. Duh, langsung terbayang di pelupuk mataku kondisi kemacetan di Jakarta. Perasaan jengkel dan tidak berdaya pada saat terjebak dalam kemacetan langsung mengganggu hatiku. 

“Sekarang sudah ada aplikasi navigasi yang canggih kok. Nanti aku carikan rute yang tidak terlalu macet,” sambungnya berusaha menenangkanku. Dia tahu persis aku malas ke Jakarta.

“Oke,” jawabku lemah.

Keesokan paginya jam 8.45 suamiku sudah rapi dan siap berangkat. Aku masih berlama-lama mengunyah sarapanku berharap dia batal mengajakku. Dari sudut mata kulihat dia sibuk dengan aplikasi navigasi di gawainya meneliti kondisi lalu lintas yang akan kami lalui. “Wah, di sini macet. Ada kecelakaan. Hmmm… harus cari jalan lain,” gumamnya. “Ah... lewat sini juga macet,” gumamnya beberapa kali sambil terus meluncurkan jari di layar gawainya. Beberapa saat kemudian, “Lewat sini sajalah, memang agak memutar tapi tidak terlalu macet. Yuk, berangkat sekarang,” ajaknya. Berusaha nampak semangat, aku meninggalkan sarapanku dan masuk ke dalam mobil. Dimulailah perjalanan dari Tangerang menuju Jakarta. 

 

Menembus lalu lintas, aku cemas setiap kali nampak ada beberapa mobil terhenti. Aduh! Macet! keluhku dalam hati. Mungkin keluhanku nampak di wajahku karena suamiku segera melirik aplikasi navigasinya dan sesaat kemudian menginfomasikan bahwa lalu lintas hanya sedikit tersendat. Mendekati tujuan, aku harus akui bahwa rute yang dipilih suamiku cukup lancar sehingga kami tidak terjebak kemacetan. 

Ini berkat kecanggihan aplikasi navigasi dan ketelitian suamiku memilih rute perjalanan, batinku. Ahh… alangkah enaknya kalau dalam menjalani kehidupan ada aplikasi navigasi seperti ini, batinku lagi.

 

Aku mulai membayangkan apabila ada aplikasi semacam itu, aku tidak akan salah memilih metode didik yang tepat dan sesuai dengan kepribadian masing-masing anakku. 

Aku tahu talenta mana yang harus fokus dikembangkan secara maksimal agar prestasi mereka selalu di puncak dan saat dewasa nanti mereka mencapai kesuksesan luar biasa. Teringat beberapa kursus yang terpaksa dihentikan karena rupanya anakku hanya ingin mencoba-coba saja. Sia-sia rasanya menghabiskan waktu, tenaga dan uang kalau belum mahir sudah berhenti.

Aku dan suami tidak perlu pusing memilih kata-kata dan memikirkan sikap yang tepat dalam menasehati dan memotivasi mereka saat sedang malas belajar dan menghibur mereka tatkala mengalami kekecewaan. Terbayang kembali protes-protes keras yang terucap karena mereka salah mengartikan tindakan kami. Kupegang dadaku untuk menghentikan rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang. Ku ambil nafas panjang untuk mencegah air mataku menitik.

 

Ah! Ngelantur! 

Kuperbaiki posisi dudukku dan kutegakkan punggungku. Sambil terus menatap lalu lintas di depanku, dalam hati aku mengucap syukur kepada Tuhan karena tidak ada aplikasi seperti yang kubayangkan. Apa jadinya duniaku kalau semuanya serba pasti. 

Tak ada kebingungan yang membuatku berlutut berdoa dan membaca firman-Nya. Tak ada perasaan tak berdaya yang membuatku makin bergantung erat pada Tuhan. Tak ada kecemasan yang membuatku berserah pada-Nya. 

Tak ada kejutan-kejutan saat aku belajar memahami sifat dan talenta anak-anakku yang membuatku makin mengagumi Sang pencipta. 

Tak ada pula kekecewaan yang membuatku makin mengakui bahwa Dia-lah yang mengatur seluruh alam semesta. 

Pertolongan-Nya yang selalu datang tepat waktu membuktikan kasih-Nya senantiasa menyertaiku dan keluarga kecilku. Tak terasa mataku berkaca-kaca.

 

“Kita sudah sampai.”

Aku tergagap kaget mendengar suara suamiku. Dia memarkir lalu mematikan mesin mobil.

“Lho… kamu kenapa koq mewek?” tanya suamiku cemas melihat mataku basah.

“Engg…enggak apa-apa,” jawabku. 

Dia memandangku sambil mengernyitkan alisnya. Cepat-cepat aku turun dari mobil. Kuraih tangannya dan sembari berjalan aku berbisik “Di perjalanan pulang nanti akan kuceritakan kenapa aku mewek.”