Dalam setiap perjalanan kehidupan pernikahan, ada masa-masa manis, ada pula masa-masa sulit. Kita perlu mengetahui apa yang menyebabkan masalah dalam kehidupan pernikahan dan cara mengantisipasinya, agar pernikahan dapat terselamatkan, bahkan memuaskan bagi kedua belah pihak. Karena itulah, pada Sabtu, 9 Agustus 2025, pukul 10.00–12.30, Komisi Dewasa sie Pasutri GKI Gading Serpong menyelenggarakan seminar "Season to Season" di Aula Kana, Griya Kasih, Jalan Kelapa Gading Selatan Blok AG15 No.16, Kelapa Dua, Pakulonan Barat, Tangerang, dengan narasumber Sujarwo Silas dan Linda Elyizabeth dari GKI Pondok Indah.

Sebanyak 80 orang, yang terdiri dari 38 pasutri dan 4 peserta yang hadir tanpa pasangannya mengikuti acara in. Panitia kompak hadir mengenakan atasan putih dan bawahan jeans. Tempat duduk peserta telah diatur oleh panitia berdasarkan usia pernikahan. Yang duduk di baris terdepan adalah mereka yang usia pernikahannya paling muda, dan yang paling belakang adalah mereka yang usia pernikahannya yang paling lanjut.

Acara dibuka oleh Putri Handayani dan Heniwati, yang mengajak para peserta untuk bersama-sama menyanyikan lagu “Tuhan Yesus Baik” dan “Goodness of God”, sambil merangkul pasangan masing-masing. Pnt. Ricky Kosasih memimpin doa pembukaan.

Dalam sesi pertama, Sujarwo Silas menjelaskan mengenai dinamika kehidupan pernikahan, yang dapat dianalogikan sebagai musim-musim dalam kehidupan pernikahan. Ada musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, yang datangnya tidak selalu berurutan secara kronologis, dan durasinya tidak sama panjang, bisa berbeda-beda antarpasangan. Dari masing-masing musim, ada ancaman dan pelajaran yang dapat diperoleh. Krisis akan datang dan pergi, tetapi harus dijalani. Pertanyaannya, di musim manakah kehidupan pernikahan kita saat ini?

Musim semi adalah situasi pada awal pernikahan, yang biasanya menyenangkan, penuh harapan positif dan antisipasi. Di masa ini, biasanya ada banyak kejutan. Ada hal-hal negatif yang dijumpai, yang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Iritasi yang terus berulang akan menimbulkan ketidaknyamanan. Jika tidak diatasi, hal ini dapat mengubah musim semi menjadi musim gugur. Di musim ini, masih ada rasa saling percaya akan integritas masing-masing. Ini menimbulkan sikap saling menghargai. Setiap hari, kedua pihak berusaha memelihara hubungan secara efektif, mengusahakan waktu berkualitas, penghargaan, dan kebersamaan.

Musim panas ditandai dengan suasana bahagia dan kepuasan dalam rumah tangga. Kedua pihak sudah lebih rileks, dapat tampil apa adanya, tidak lagi saling mempermasalahkan kelemahan pasangan. Masing-masing lebih mementingkan bertumbuh dalam kebersamaan. Namun, pasangan suami istri harus belajar menangani konflik. Masalah harus diselesaikan, tidak boleh dipendam hanya demi menghindari pertengkaran. Keindahan itu tidak terjadi begitu saja, tapi harus terus diupayakan. Musim ini baru terjadi, jika suami dan istri dapat melewati musim semi dengan baik.

Musim gugur adalah masa kejenuhan dalam pernikahan. Tampak baik-baik saja dari luar, tetapi terjadi kemerosotan di dalam. Pernikahan tidak lagi terasa sebagai sebuah berkat, melainkan kutuk. Emosi terkuras karena berbagai kekecewaan terhadap pasangan, kegagalan dalam menyelesaikan masalah, dan berhenti mengupayakan keberhasilan pernikahan. Ini dapat menjadi awal musim dingin. Kedua pihak merasa tidak aman, meragukan masa depan pernikahannya, dan ada keinginan untuk menjauh dari pasangannya, yang dapat menjadi bibit perselingkuhan. Di masa ini, pasangan harus mencari bantuan, misalnya dari konselor pernikahan, membaca dan membahas buku-buku tentang pernikahan, bukan menyangkali keadaan dan tidak berbuat apa-apa. Sayangnya, sebagian pasangan yang sedang berada di musim gugur justru enggan mengikuti pembinaan-pembinaan pernikahan seperti ini, karena khawatir aibnya terbongkar.

Musim dingin adalah masa kebekuan, buntu, keras, hampa, dan pahit. Pasangan tinggal bersama-sama dalam satu rumah, tetapi tidak merasakan kehangatan, bagaikan tinggal bersama orang asing. Masa ini terjadi bukan karena kesulitan-kesulitan hidup, melainkan karena cara pasangan merespons kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu: bersikap saling menyalahkan dan menyakiti, berkeras dengan cara/pendapat masing-masing, dikuasai keputusasaan, dan berhenti berusaha menyelamatkan pernikahan. Kedua pihak berusaha menghindari interaksi dan komunikasi dengan pasangan, karena komunikasi yang terjadi menyakitkan. Acapkali pasangan saling mendiamkan, atau malah bertengkar terus. Di dalam hati, diam-diam mereka mengharapkan perbaikan situasi. Jika keduanya tidak menyerah, tetap berharap pada Tuhan dan mau bertindak, mengambil langkah-langkah mencari pertolongan, perlahan situasi dapat diperbaiki. Setelah kesulitan itu dapat diatasi, akan timbul kesabaran dan ketekunan sebagai buahnya.

Keindahan pernikahan harus diupayakan. Aktivitas sebelum tidur penting untuk membangun keintiman di musim apa pun dalam pernikahan. Jika kondisi pernikahan sedang berada di musim gugur atau bahkan di musim dingin, jangan menyerah. Tetaplah berharap pada Tuhan dan mencari pertolongan. Pembicara kemudian mempersilakan peserta untuk berdiskusi dalam kelompok sesuai jenjang usia pernikahan. Setiap kelompok diminta mendiskusikan, saat terjadi krisis terberat dalam pernikahan, tindakan atau sikap seperti apakah yang akan dipilih? Ini akan menentukan musim pernikahan seperti apa yang akan dialami. Para peserta sangat antusias berbagi pengalaman. Sampai-sampai, ketika waktu habis, mereka masih asyik meneruskan sharing di kelompok masing-masing.

Sesi kedua dibawakan oleh Linda Elyizabeth. Pembicara memaparkan adanya lima tahapan pernikahan, yaitu: young love (0–2 tahun), realistic love (3–10 tahun), comforting love (11–25 tahun), renewing love (26–35 tahun), transcendent love (36 tahun ke atas). Suami istri perlu saling memahami bahasa kasih (love languages) pasangannya. Ada lima jenis bahasa kasih yang biasanya dikenal, yaitu: ucapan yang membangun, perbuatan melayani, pemberian hadiah, waktu berkualitas, dan sentuhan fisik. Dengan memahami dan menggunakan bahasa kasih pasangan, suami/istri dapat menyampaikan kasih dengan lebih efektif, dan pasangannya sungguh merasa dikasihi.

Pernikahan adalah persekutuan terdalam dari dua individu dalam segala bidang. Tujuan pernikahan adalah agar persekutuan intim tersebut dapat memberikan rasa puas, sehingga keduanya dapat sama-sama bertumbuh sesuai kehendak Tuhan. Suami dan istri harus berkomitmen untuk bertumbuh bersama dalam pernikahan.

Acara ditutup oleh Pdt. Pramudya Hidayat yang memimpin doa berkat setelah memberikan kesimpulan, bahwa setiap musim dalam kehidupan manusia, betapa pun tak sesuai harapan kita, tetap berharga di mata Tuhan. Karenanya, walaupun situasi kehidupan kita bagaikan hujan badai, tetaplah berpengharapan. Demikian pun, saat tenang teduh, hendaknya kita tetap eling.