Kebaktian emeritasi Pdt. Santoni dilayankan pada Senin, 24 Februari 2025, bertempat di lantai 6, aula SMA Kristen Gading Serpong, Jl. Kelapa Gading Barat Raya, Gading Serpong, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Sebelum acara dimulai, pada pukul 16.00 diadakan acara foto keluarga, dilanjutkan foto bersama Majelis Jemaat GKI Gading Serpong, para pengerja dan pasangannya, serta ramah tamah bagi para pendeta dan pasangannya di lantai 5. Sementara itu, jemaat serta undangan mulai berdatangan. Jemaat disambut oleh para petugas penyambutan yang membagikan tanda mata berupa buku berjudul Vocare: Menghidupi Panggilan Sang Guru, karya Pdt. Santoni Ong, dan meminta jemaat mengisi daftar hadir. Ibadah dihadiri oleh 1250 jemaat dan undangan, serta 147 pendeta. Tepat pukul 18.00, acara dimulai dengan iringan prosesi para pendeta dan penatua, menuju tempat duduk masing-masing, di hadapan mimbar yang telah dihias dengan dekorasi berwarna teduh.

Ibadah dimulai dengan panggilan beribadah, yang dipimpin oleh Pnt. Pitaya Rahmadi. Jemaat menyanyikan “Puji, Hai Jiwaku, Puji Tuhan” (KJ 9). Kemudian pelayan firman melayankan votum dan salam, sambil jemaat diundang berdiri, dilanjutkan panggilan (vocare) secara berbalasan dan nyanyian “Mengikut Yesus Keputusanku”. Selanjutnya, Paduan Suara Nafiri menyanyikan lagu “Panggilan Tuhan”, karya L. Putut Pudyantara, yang diaransemen ulang oleh Leonardus Yoseph. Pelayanan firman diawali dengan doa eplikese oleh Pdt. Setyahadi, ketua umum BPMS GKI.

Pembacaan Alkitab diambil dari Yohanes 21:15-19, dengan tema “Vocare: Menghidupi Panggilan Sang Guru”. Pdt. Setyahadi mengajak jemaat mengingat tentang “seven great I am”, yaitu tujuh perkataan “Akulah” dari Sang Guru. Di antara ketujuh perkataan tersebut, ada perkataan “Akulah Gembala yang Baik”. Jika ada gembala yang baik, berarti ada juga gembala yang tidak baik. Ada sedikit perbedaan pengertian tentang “gembala” dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, gembala itu biasanya sekaligus menjadi pemilik domba. Itu sebabnya, misalnya saat kita membaca Yesaya 40:11, Allah digambarkan seperti seorang gembala yang menggembalakan kawanan ternak, dan menghimpunnya dengan tangan-Nya. Anak-anak domba dipangku-Nya. Induk-induk domba dituntun-Nya. Sedangkan gembala pada masa Perjanjian Baru, apalagi gembala upahan, mereka bukanlah pemilik domba. Mereka menggembalakan kawanan domba yang bukan miliknya. Mereka bisa menipu, menghilangkan domba demi keuntungannya sendiri, tetapi menyatakan bahwa domba itu diterkam binatang buas, dicuri perampok, dan lain sebagainya. Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai gembala yang baik, tentu tidak sama dengan gembala upahan. Gembala yang baik adalah gembala yang siap untuk merawat, menggembalakan, melakukan apa saja, bahkan siap kehilangan nyawa demi domba-dombanya. Yesus sangat memahami siapa domba-domba yang digembalakan-Nya.

Domba adalah binatang yang tidak berdaya, tidak mempunyai taring atau perlengkapan lain untuk mempertahankan diri saat ada ancaman bahaya. Domba juga dikenal sebagai hewan yang dependen, sangat tergantung kepada gembalanya, tetapi juga keras kepala. Diberi tahu, tidak mau mengikut, bodoh, tidak tahu arah. Karena itu, mudah sekali tersesat. Yesus tiga kali berkata kepada Simon Petrus, “Peliharalah anak-anak domba-Ku … gembalakanlah domba-domba-Ku … peliharalah domba domba-Ku.” Pertanyaan Yesus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Dalam pertanyaan itu ada kualifikasi, yang diminta oleh Yesus untuk dimiliki Simon Petrus, agar dapat menggembalakan dan memelihara anak-anak domba-Nya di tengah kehidupan ini. Tidak bisa tidak, kualifikasi lebih itu memang diperlukan, mengingat identitas kawanan domba yang mesti digembalakan. Domba-domba itu, termasuk kita, kadang-kadang bebal. Soal makanan, misalnya, kita tahu bahwa makanan tertentu tidak sehat, tetapi masih kita makan juga. Kita tahu bahwa sesuatu hal itu salah, berdosa, tidak berkenan, tidak menyenangkan Tuhan, tetapi kita tetap lakukan. Demi domba-domba yang seperti ini, Ia bertanya berulang-ulang, untuk mengonfirmasi. Memelihara anak-anak domba memerlukan kasih di atas rata rata.

Sangat menarik kalau kita mengingat formulasi penahbisan pendeta GKI. Perihal gembala itu termuat di bagian pengantar, di bagian tanya jawab, bahkan di bagian nasihat. Menggembalakan adalah sesuatu yang sangat penting, karena itulah Pdt. Santoni memilih tema ini. Kehidupan Pdt. Santoni memang mencerminkan bagaimana ia merawat dan menggembalakan domba-dombanya. Pertanyaannya, sampai kapankah tugas itu harus dilakukan? Seorang gembala memelihara, merawat, dan menuntun kawanan domba sampai mereka menemukan padang rumput. Dalam bukunya, alm. Pdt. Eka Dharmaputra mengatakan, tidak gampang seorang gembala dapat membawa domba-domba tiba dan menemukan padang rumput yang hijau. Kondisi yang dimaksudkan dalam ayat tersebut tidak seperti di negeri kita ini, yang mudah mencari padang rumput. Menjadi gembala di zaman itu berarti harus siap menuruni lembah, menaiki bukit, menghadapi begitu banyak bahaya, barulah kemudian mereka dapat menemukan padang rumput yang hijau. Maka tugas gembala itu menuntun sekaligus melindungi. Siap untuk memberikan dirinya demi keselamatan domba-domba tersebut. Dengan demikian, tugas menggembalakan untuk tidak pernah berakhir dengan emeritasi seperti pada hari ini. Peran strukturalnya memang akan selesai, tetapi peran fungsionalnya tidak pernah berakhir.

Sama seperti yang tertulis dalam 1Petrus 5: 2–4, “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Ini adalah warisan pengalaman dari Simon Petrus. Jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela. Namun, bukan asal suka atau asal rela, melainkan dalam sebuah koridor, yaitu sesuai dengan kehendak Allah. Jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.

Seolah-olah memerintah pun jangan, apalagi sungguh-sungguh bergaya memerintah. Kenapa? Karena domba-domba itu amat rentan. Sangat diperlukan sebuah gaya pendekatan yang lembut dalam merawat dan menggembalakan domba domba itu, seperti yang dilakukan oleh Yesus. Dikatakan, “Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Para pendeta memang dipanggil untuk menjadi gembala yang menggembalakan kawanan domba Allah, tetapi pada saat yang sama, mereka juga adalah domba. Teladan menjadi pokok yang amat penting, karena keteladanan akan berbicara lebih kuat.

Karya penggembalaan itu mesti terus dilakukan hingga Sang Gembala Agung datang kembali. Saat itulah kita akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. Hari ini Pdt. Santoni memasuki masa emeritasinya, tetapi karya penggembalaannya akan terus berlanjut dalam kehidupannya sebagai seorang pendeta emeritus. Itulah vocare, menghidupi panggilan Sang Guru. Apa yang dipercayakan oleh Sang Bapa itu harus terus dilakukan dengan setia, penuh kasih, dengan ketekunan dan kerelaan, sesuai dengan kehendak Tuhan. Tidak dengan gaya memerintah, melainkan dengan gaya yang menyapa, yang menyentuh, sampai semua dapat merasakan betapa ia dikasihi, betapa cinta Allah itu senantiasa dihadirkan dalam segala keadaan. Bukan hanya Pdt. Santoni, kita semua pun dipanggil untuk melakukan karya itu. Sebab pada dasarnya, sebagai gereja, kita semua dipanggil untuk terus-menerus merawat kawanan domba Allah yang dipercayakan kepada kita.

Setelah saat hening sejenak, Pnt. Jaya Tahoma Sirait memimpin pernyataan Pengakuan Iman Rasuli dengan mengundang jemaat berdiri, dilanjutkan persembahan Paduan Suara Ekklesia dan Ensemble Genesis GKI Gading Serpong, dengan lagu "Make Me a Channel of Your Peace". Sementara puji-pujian dilantunkan, di layar ditayangkan foto-foto pelayanan Pdt. Santoni sejak muda, ketika melayani di Seko, Toraja; POUK Sambu Group; saat melayani bersama Lembaga Alkitab Indonesia, melayani korban banjir, dan suku Anak Dalam. Kemudian, Pdt. Setyahadi melayankan emeritasi atas diri Pdt. Santoni Ong, yang telah berusia 60 tahun, setelah menjadi pendeta Gereja Kristen Indonesia selama 36 tahun.

Setelah doa syukur dipanjatkan oleh pelayan firman, Pdt. Em. Santoni berdiri, menaikkan pujian "Sejenak Aku Menoleh" (PKJ 244), diikuti oleh seluruh jemaat. Pdt. Setyahadi mengucapkan pernyataan emeritasi, dilanjutkan dengan penyerahan piagam emeritasi oleh perwakilan BPMS GKI, Pdt. Edwin Nugraha Tjandraputra, yang membacakan piagam emeritasi pendeta, dan menyerahkannya kepada Pdt. Em. Santoni Ong.

Vokal Grup Prayers Voice dari GKI Pengadilan, Bogor mempersembahkan pujian “Goodness of God”, dilanjutkan dengan doa syafaat oleh pelayan firman. Pelayanan persembahan dipimpin oleh Pnt. Lydia Kurniawati, dengan ayat pengantar persembahan yang terambil dari 1Tesalonika 5:18, "Ucapkanlah syukur dalam segala hal. Sebab, itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu," disambut dengan pujian “Syukur pada-Mu Ya Allah” (NKB 133:1-3), dilanjutkan doa persembahan. Kemudian, paduan suara Ekklesia GKI Gading Serpong kembali mempersembahkan pujian “Lord, I Need You”. Setelah pujian pengutusan dari KJ 416:1-3 “Tersembunyi Ujung Jalan”, dilayankan pengutusan dan doa berkat oleh pelayan firman.

Dipimpin oleh Finy Patricia, acara dilanjutkan dengan penayangan foto-foto perjalanan hidup Pdt. Em. Santoni Ong, mulai dari penahbisannya ke dalam jabatan pendeta di GKI Pengadilan, Bogor, peneguhannya di GKI Kavling Polri, peneguhannya di GKI Gading Serpong, foto ketika Pak San, demikian panggilan sayangnya dari jemaat, ikut dalam pelayanan Christmas Carol, ketika memimpin kebaktian malam Natal, ketika memimpin upacara peletakan batu pertama pembangunan gedung ibadah GKI Gading Serpong, acara penggalangan dana gedung gereja, foto pernikahan anak-anaknya, dan foto keluarga yang juga memperlihatkan cucu pertamanya yang baru saja lahir di penghujung tahun 2024, diikuti tayangan kesan-pesan dari rekan-rekan pendeta dan pengerjanya.

Setelah persembahan pujian dari Vokal Grup Sion Singers yang membawakan lagu “Karena Cinta”, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan yang dibumbui aneka pantun ceria dari Pdt. Suhud Setyowardono yang mewakili BPMS GKI, dan Pnt. Alfian Djoko Setyono, selaku ketua Majelis Jemaat GKI Gading Serpong. Acara kemudian diselingi pemberian tanda kasih dari Majelis Jemaat kepada keluarga Pak San, berupa dua buah lukisan karikatur yang menggambarkan Pak San dengan latar belakang gedung gereja yang sedang dibangun dan mimbar ibadah. Pdt. Ujang Tanusaputra melanjutkan dengan sambutan dan pantunnya, mewakili Divisi Pendeta Emeritus GKI Sinwil Jawa Barat.

Kemudian tiba giliran Pak San untuk menyampaikan sambutannya, yang disampaikan secara haru, sesekali diwarnai titik air mata. Ia mengutip sebuah percakapan antara Rick Warren dan John Piper. Ketika ditanya oleh Piper, kira-kira apa yang akan ditanyakan Tuhan ketika ia mati, Rick Warren menjawab, “Saya percaya, ketika kita mati, Allah akan menanyakan dua pertanyaaan ini, yaitu, apa yang telah kamu lakukan terhadap Anak-Ku, dan apa yang telah kamu lakukan dengan semua yang Aku berikan kepadamu?” Kehidupan pelayanan yang telah dijalaninya sebagai tanggapan atas panggilan Sang Guru ia yakini sebagai jawaban yang dapat ia berikan terhadap kedua pertanyaan ini, menghidupi nilai-nilai Sang Guru, meneladan pada-Nya, untuk menghadirkan paradiso yang baru di tengah-tengah dunia, sesuai apa yang dapat ia lakukan dan miliki, menyampaikan Injil Tuhan kepada banyak orang yang membutuhkan pertolongan. Status emeritus tidak membuatnya berhenti menjalani panggilan itu, dan malah memungkinkannya melayani dalam lingkup yang lebih luas.

Atas dorongan beberapa sahabat, ia menuliskan buku Vocare: Menghidupi Panggilan Sang Guru. Melalui buku ini, ia mengajak gereja untuk hadir di tengah-tengah dunia, salah satunya di tengah realitas kemiskinan, untuk belajar dalam terang firman Tuhan, untuk pergi bermisi. Kepala yang belajar, hati yang tergerak, dan tangan yang berbuat. Itulah yang ingin disampaikannya melalui buku yang ditulis dalam segala keterbatasan ini. Gereja yang bermisi adalah gereja yang hidup. Tanpa misi, gereja mati, karena misi adalah jantung gereja. Gereja kerap kali terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lupa memperhatikan, merawat domba-domba yang lapar, sakit, tanpa harapan, padahal Kristus sudah menebus mereka. Semakin besar jumlah jemaat, semakin berat tugas gembalanya. Apakah mereka telah terlayani dengan baik atau dibiarkan terlantar?

Tak lupa, Pak San mengucapkan terima kasih kepada GKI Pengadilan, Bogor, tempat ia belajar menjadi pendeta yang melayani dan merawat jemaat selama delapan tahun, sejak baru lulus dari sekolah teologia. Juga kepada GKI Kavling Polri, yang dilayaninya selama tujuh belas tahun, yang memungkinkannya melayani dalam lingkup lebih luas, ke daerah-daerah. Terakhir, kepada GKI Gading Serpong, yang telah dilayaninya selama tiga belas tahun, melalui berbagai kesaksian dan pelayanan, di antaranya berbagi dalam pembangunan gedung-gedung gereja di berbagai pelosok pedalaman, dan banyak hal lain. Harapannya, pelayanan-pelayanan tersebut dapat diteruskan. Pak San juga mengucapkan terima kasih kepada panitia dan seluruh tamu undangan yang telah menyempatkan hadir.

Setelah sesi foto bersama beberapa pihak, acara dilanjutkan dengan doa makan, prosesi keluar, pemberian ucapan selamat, serta ramah-tamah. Kasih Tuhan telah memimpin acara emeritasi ini dari awal, pertengahan, hingga akhir dengan kenangan indah, sesuai waktu Tuhan. Selamat memasuki masa emeritasi, Pak San!