Untuk memahami perilaku individu atau sekelompok masyarakat, terlebih dahulu kita perlu memahami budaya yang hidup dalam kelompok masyarakat tersebut. Culture: The visible behaviors and invisible values and beliefs that are unique for each society. These value systems are deeply rooted in the society and passed from generation to generation (Solomon dan Schell, 2009, 20). Jadi budaya mencakup perilaku yang terlihat, nilai-nilai yang tak kasat mata, dan kepercayaan tertentu, yang telah mengakar dalam masyarakat dari generasi ke generasi.

Demikian pula dalam sebuah organisasi, kita mengenal istilah budaya organisasi. Budaya organisasi juga mencerminkan tradisi, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan sistem nilai yang sudah turun-temurun, baik yang terlihat (visible) maupun tak kasat (hidden, invisible). Jadi bagaimana manusia bertindak, berpikir, dan memiliki keyakinan tertentu, sangat dipengaruhi oleh budaya yang dihidupi dalam lingkungan organisasi.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) sebelumnya adalah gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH), yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu kemudian pada tahun 1962 dilebur menjadi GKI. Dalam berorganisasi, dapat dimaklumi jika budaya organisasi GKI sangat dipengaruhi budaya Tionghoa yang turun-temurun. Penulis mengajak kita semua menelaah, apakah warisan budaya tersebut sejalan dengan Firman Tuhan.

Konsep Mianzi (Face)

Budaya Tionghoa tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Berbicara mengenai konsep mianzi tidak bisa dilepaskan dari ajaran Konfusius. The Chinese care so much about face because it is closely related to Confucianism (Yuan dan Liu, 2009, 107). Konsep muka (mianzi) dalam artikel ini bukanlah merujuk kepada muka secara fisik lahiriah. Konsep mianzi ini bersifat abstrak, mengacu kepada warisan yang kental dengan kebudayaan Asia, terutama kebudayaan Tionghoa, yang mengacu kepada citra publik, persepsi sosial, dan harga diri seseorang. … the Chinese concept of “face” (mianzi), which roughly translate into one’s public image or sense of self-esteem (Fernandez dan Laurie, 2006, 83). Mianzi bukan saja menjadi monopoli individu. Organisasi pun memiliki mianzi. Face is by no means only an individual asset, organizations have face, too (Seligman, 1999, 202).

Chow-Hou Wee dan Fred Combe dalam bukunya “Business Journal to the East” menulis, “Face” is a multifaceted term, and its meaning is inextricably linked with culture and other terms such as honor, reputation, image, stature, and everything else that enhances the standing of the individual before his peers and community (Chow dan Combe, 2009, 240). Konsep mianzi berkaitan dengan kehormatan, gambar diri, reputasi, nama baik, dan segala sesuatu yang dapat meningkatkan status sosial kehormatan seseorang.

Dengan kata lain, konsep mianzi ini menggambarkan seluruh eksistensi keberadaan kita (individual’s entire being-body, soul, and spirit). Mianzi ini menyangkut status kehormatan seseorang di hadapan keluarga, kolega, komunitas, dan masyarakat luas. Di mana saja dan kapan saja mianzi harus dijaga. In a world, the Chinese consider it important to have face and maintain face anywhere and anytime (Yuan dan Liu, 2009, 104). Mianzi sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Face is important to the Chinese; some people consider it second only to life (Yuan dan Liu, 2009, 69).

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita tidak menyadari bahwa konflik yang terjadi berkaitan dengan mianzi, yang menyebabkan seseorang merasa kehilangan muka karena perbuatan orang lain. “Face” is important, and conflict can break out when one side experiences severe loss of “face” (Chow dan Combe, 2009). Jika seseorang membuat kita kehilangan muka, kita akan menganggapnya sebagai sebuah pelanggaran berat (serious offence). Kita akan sulit memaafkan orang yang melakukannya. Kita cenderung untuk memberikan pembalasan yang setimpal. Losing face is justification for retaliation. The price exacted may be as low as an apology or as high as a corresponding loss of face on the other side (Seligman, 1999, 210).

Konsep Guanxi (Relationship)

Konsep berikutnya yang berhubungan dengan Konfusianisme adalah konsep guanxi, yang dipandang sangat penting oleh masyarakat Tionghoa. The importance of guanxi to the Chinese can be traced back to the traditional concept of family and group cohesiveness in Confucian philosophy (Yuan dan Liu, 2009, 92). Guanxi dapat dimaknai sebagai sebuah relasi (relationship) atau koneksi (connection), berupa jaringan yang bersifat informal, di mana anggotanya memiliki kesamaan tertentu. Basically, guanxi in Chinese refers to multiple links connecting individuals that have something in common (Yuan dan Liu, 2009, 92).

Pada umumnya guanxi dibentuk hanya untuk kalangan terbatas: keluarga, teman, kolega, alumni, dst., dengan kewajiban tertentu bagi anggotanya. Relatives, friends, neighbors, classmates, and co-workers are all people to whom one bears some form of obligation. No obligation is felts for others outside of one’s circle (Seligman, 1999, 85). Guanxi yang demikian ini bersifat tertutup dan eksklusif. Guanxi is a closed system of relationship, the word guanxi implies that it is a closed (guan) or exclusive systems (Chow dan Combe, 2009, 277).

Karena guanxi ini bukan jaringan resmi, ada kalanya sulit untuk mendeteksi kehadirannya, dan tidak terlihat oleh mereka yang berada di luar guanxi. Tetapi realitanya, guanxi ini eksis. Guanxi networks are not official organizations and most of them are invisible to outsiders (Yuan dan Liu, 2009, 97). Guanxi ini mengotak-ngotakkan orang menjadi orang dalam (insider) atau orang luar (outsider). Untuk kita yang berada dalam lingkaran guanxi, kita terikat kewajiban tertentu terhadap anggota dalam guanxi, sedangkan yang di luar guanxi, tidak memiliki kewajiban apapun. People fall into one of two categories: inside or outside the circle. . . those inside the circle are those with whom one has some form of guanxi and hence to whom one bears some sort of obligation. The rest of the world remains outside of the circle (Seligman, 1999, 71).

Dampak Dosa

Di mata Tuhan, kita adalah manusia berdosa, sebagaimana tertulis dalam ayat berikut: “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Roma 5:12); “Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23); “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat, tidak ada yang berbuat baik seorangpun tidak” (Mazmur 14:3).

Sebaliknya di mata Konfusius, manusia itu pada dasarnya baik. Confucius and his disciples were humanists, believing that man, essentially and innately good (Yeh, 1969,11). Pola pandang ini membuat kita merasa selalu benar. Kita membangun guanxi yang eksklusif dan menjaga mianzi kita berdasarkan kebenaran kita atau kelompok kita. Dan jika ada pihak luar (outsider) mengkritisi kita, kita akan bersikap reaktif dengan menyerang mereka kembali. Padahal kebenaran kita adalah kebenaran yang telah dicemari dosa. Sin corrupts that wholehearted love, so as to affect everything we are, think, or do (Frame, 2014, 165).

Guanxi dan mianzi ibarat dua saudara kembar yang tak terpisahkan. To deny the existence of “face” is similar to denying the existence of guanxi among Chinese and Asian (Chow & Combe, 2009, 240). Kita harus menyadari, bahwa natur dosa yang masih melekat dalam diri kita membuat kita tidak dapat melihat “blind spot” (kelemahan, kekurangan) kita. Kita perlu outsider untuk melihat blind spot kita. Sering kali Tuhan bekerja melalui rekan sepelayanan kita untuk memberikan kritik, teguran, masukan, dan nasihat. Hal ini bukan berarti natur dosa sudah tidak ada dalam diri mereka. Karena keangkuhan kita, menerima teguran, kritikan, dan masukan diartikan tunduk terhadap tekanan, yang membuat kita kehilangan muka (loss of face). Kita lebih takut kehilangan mianzi dan guanxi kita di hadapan manusia daripada takut kehilangan guanxi dan mianzi di hadapan Tuhan.

Di dalam pelayanan gereja, acapkali konflik terjadi di antara aktivis yang berada dalam komisi hingga majelis jemaat tidak jauh dari masalah guanxi dan mianzi. Jika ditelusuri, konflik yang terjadi bukan karena membela kebenaran Tuhan, tetapi lebih untuk membela guanxi dan mianzi kita. Jika diperhadapkan dengan kebenaran, kebenaran Tuhan selalu kita kesampingkan. Kita lebih mendahulukan guanxi dan mianzi kita yang tercemar dosa. Truth is no match for mianzi, and unless it serves someone’s purpose, it almost always loses out when the two go head-to-head (Seligman, 1999, 201).

Pembaharuan Hidup

Keselamatan melalui karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib adalah anugerah dari Tuhan. Dipandang dari sudut status legalitas, dosa kita telah ditimpakan kepada Yesus yang mati di kayu salib. Namun perjuangan kita untuk hidup kudus belum selesai, karena masih ada natur dosa dalam diri kita. Adalah tanggung jawab kita untuk mengalahkan dosa kita dengan pertolongan dari Tuhan. The corruption of sin remains until death, but it grows weaker and weaker, through the continual strength from sanctifying Spirit of Christ (Frame, 2014, 202).

Semenjak kejatuhan Adam dalam dosa, dunia pun telah jatuh dalam dosa. Akibatnya semua budaya sudah tercemar dosa. Budaya harus dievaluasi dari sudut pandang Alkitab dan diperbaharui oleh Injil Yesus Kristus. Firman Tuhan harus menjadi tolak ukur dalam menilai budaya. The Bible must always be the judge and the criterion for truth in every and any culture (Ling & Cheuk, 1999,139).

Perubahan harus mencakup seluruh aspek kehidupan kita, baik itu pikiran kita, perilaku kita, kebiasaan lama kita. Tuhan harus hadir dalam kehidupan kita, dan dengan anugerah-Nya mentransformasi kita. … seeking to bring our thought and practice more in line with Scripture, even if that process requires the elimination of some tradition (Frame, 2014, 95).

Kita boleh saja mempertahankan tradisi warisan, sepanjang tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Firman Tuhan. Dan kita perlu menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sejalan dengan Firman Tuhan. … therefore, for us to work out and retain those aspects of our Chinese culture that are good and acceptable, and discard without regret any aspect that does not glorify or runs contrary to the World of God (Tong, 2012, 9). Kita harus menyingkirkan konsep  guanxi dan mianzi yang eksklusif, yang berfokus pada kepentingan yang sempit. The big picture takes priority over the individual part . . . (Chen, 2003, 92). Jika ingin membangun guanxi dan mianzi, kita harus membangun relasi yang intim dengan Allah Tritunggal dan menjaga mianzi, agar Allah Tritunggal tidak dipermalukan oleh tindakan kita.

Daftar Pustaka

Chen, Ming-Jer. 2003. Inside Chinese Business: A Guide for Managers Worldwide. Harvard Business School Press, USA.

Fernandez, Juan Antonio dan Underwood, Laurie. 2006. China CEO: Voices of Experience from 20 International Business Leaders. John Wiley & Sons (Asia) PTE LTD, Singapore.

Frame, John M. 2014. John Frames’s Selected Shorter Writing, Volume One. P & R Publishing Company, New Jersy, USA.

Hou Wee, Chow dan Combe Fred. 2009. Business Journey to the East: An East-West Perspective on Global-is-Asian. 2009. McGraw-Hill Education, Singapore.

Ling, Samuel dan Cheuk Clarance. 1999. The “Chinese” Way of Doing Things: Perspective on American-Born Chinese and the Chinese Church in North America. P&R Publishing, China Horizon, Canada.

Seligman, Scott D. 1999. Chinese Business Etiquette: A Guide to Protocol, Manners, and Culture in the Peoples’s Republic of China. Warner Business Books, New York, USA.

Solomon, Charlene M. dan Schell, Michael S. 2009. Managing Across Cultures: The Seven Keys to Doing Business with a Global Mindset. The McGraw-Hill, USA.

Tong, Daniel. 2012. A Biblical Approach to Chinese Traditions and Beliefs. Armour Publishing Pte Ltd, Singapore.

Yeh, Theodore T.Y. 1969. Confucianism, Christianity and China. Philosophical Library, New York, USA.

Yuan, Fangyuan dan Liu Meiru. 2009. Anatomy of the Chinese Mind: An Insider’s Perspective. Cengage Learning Asia Pte Ltd, Singapore.