Mengajarkan tentang uang kepada anak sejak usia dini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua, karena anak masih polos dan belum memahami tentang uang sama sekali. Orang tua pun dituntut untuk dapat memberi contoh yang dapat dilihat, dirasakan, dan ditiru oleh anak. Orang tua harus mempraktikkan apa yang mereka katakan dan ajarkan. Selain itu, orang tua harus sabar, disiplin, dan konsisten dalam membimbing anak-anak mereka memahami tentang uang dan cara mengelolanya. Jangankan mengajarkan tentang uang, membangunkan mereka di pagi hari saja memerlukan perjuangan tersendiri!
Bagi sebagian dari kita, terutama generasi baby boomers dan generasi X, pemahaman tentang uang bukanlah sesuatu yang dianggap penting pada masa anak-anak. Saat itu, kita hidup "mengalir" saja, dan belum banyak informasi yang memadai mengenai pemahaman tentang uang. Andai waktu bisa diputar kembali, penulis ingin dapat mengelola keuangan sejak dini.
Mengelola keuangan bukanlah sekedar menghitung, mengalokasikan, dan mengembangkan dana yang ada, tetapi juga berhubungan erat dengan bagaimana mengendalikan keinginan-keinginan kita, mengubah pola pikir, memahami, serta menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dan terukur. Sering kali, kegagalan dalam mengelola keuangan terjadi bukan karena kita salah menghitung atau salah alokasi, tetapi karena kita gagal mengendalikan keinginan-keinginan kita yang begitu banyak, memilah antara kebutuhan dan keinginan, serta menunda kesenangan yang selalu ingin dipuaskan.
Tak ingin mengulangi kesalahan, penulis mempelajari bagaimana mengajarkan cara mengelola keuangan sejak dini kepada anak-anak. Dari beberapa literatur, cara paling efektif mengajari anak mengelola keuangan adalah dengan memberi contoh. Orang tua, terutama ibu, perlu memberi contoh bagaimana mengelola keuangan, serta memahami "rasa uang" kepada anaknya.
Rasa uang yang dimaksud bukanlah apa yang dirasakan saat lidah kita mencicipi makanan, melainkan lebih pada pemahaman kita tentang uang. Dalam hal ini, ibulah yang paling tahu dan memahami rasa uang.
Berhemat
Orang tua dapat mengajarkan anak menggunakan apa yang ada di rumah dan barang-barang yang mereka miliki semaksimal dan seefisien mungkin. Mengajarkan bahwa barang-barang tersebut semuanya dibeli dengan uang, sehingga ada nilainya. Bahkan, barang-barang tertentu mempunyai ceritanya sendiri, atau ada perjuangan tersendiri dalam memperolehnya, sehingga mempunyai nilai sejarah.
Hal ini tampak sederhana, tetapi orang tua perlu dengan sabar, terus-menerus, dan konsisten mengajarkan serta memberi contoh kepada anak-anak, termasuk mereka yang karena kemampuan ekonomi, memandang hal ini bukan suatu prioritas.
Alkitab dengan sangat jelas mengajarkan kepada kita untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada pada kita, seperti tertulis dalam Ibrani 13:5, “Janganlah menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman, ‘Aku sekali-kali tidak akan mengabaikan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’”
Bijaksana
Sebagai orang tua, kita tentu sudah tahu harus menggunakan uang dengan bijak. Namun, apakah kita sudah mengajarkan dan memberi contoh yang baik pada anak kita? Setidaknya ada lima hal yang perlu diajarkan pada anak kita, sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu, yaitu apakah barang tersebut memang sangat dibutuhkan? Apakah sudah sesuai kebutuhan? Apakah harganya sesuai dengan kegunaannya? Apakah ada barang pengganti yang lebih murah, tetapi memiliki fungsi dan kegunaan yang sama? Apakah harus dibeli saat ini atau bisa ditunda? Saat orang tua menerapkan kelima hal di atas, anak dapat melihat, merasakan, dan menirunya, apalagi bila anak dilibatkan dalam proses menilai barang, dan memutuskan perlu membelinya atau tidak. Amsal 21:20 mengajar kita untuk menggunakan uang dengan baik dan bijak, “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang bebal memboroskannya.”
Proses Mengumpulkannya
Anak-anak perlu memahami, menabung di bank ataupun di celengan mempunyai tujuan lebih dari sekadar membeli sesuatu atau pergi berlibur. Namun lebih dari itu, menabung mengajarkan hal-hal yang lebih penting, misalnya melatih anak untuk berdisiplin dan konsisten. Anak perlu memahami, untuk mencapai sesuatu perlu kedisiplinan dan konsistensi, yang dilakukan secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Kedua, melatih anak untuk bersabar. Anak perlu belajar menjalani proses, langkah demi langkah untuk memperoleh dan menghasilkan sesuatu, bahwa perlu kesabaran, karena tidak ada yang serba instan. Ketiga, anak perlu belajar menikmati setiap tahapan proses menabung, yang berlangsung selama seminggu, sebulan, bahkan bertahun-tahun, dengan melihat bagaimana tabungannya bertambah dan bertumbuh, seiring berjalannya waktu. Alkitab mengajari kita cara mengumpulkan uang dengan bijak dalam Amsal 13:11, “Harta yang mudah diperoleh akan berkurang, tetapi siapa yang mengumpulkan sedikit demi sedikit, akan membuatnya bertambah.”
Dalam proses menabung dan mengumpulkan uang ini, orang tua juga perlu mengajarkan pada anaknya beberapa hal, misalnya menabung atau mengumpulkan uang bukan semata-mata demi besarnya uang yang diperoleh atau dihasilkan, tetapi bagaimana mengelola pengeluaran, kebutuhan, dan keinginan kita. Kemampuan menabung atau mengumpulkan uang berhubungan erat dengan mengendalikan ego, supaya tidak terpancing mengikuti tren yang sedang populer. Kemampuan menabung secara tidak langsung menunjukkan kerendahan hati dan rasa syukur atas segala sesuatu yang kita miliki dan nikmati. Dengan menabung, kita akan lebih fleksibel dan memiliki kekuatan tawar-menawar dalam menentukan sesuatu. Hal ini juga berlaku untuk orang dewasa, yang akan menentukan karier dan pilihan-pilihan penting lainnya dalam hidup. Bila anak-anak sudah dewasa, kebiasaan menabung ini akan sangat berguna pada saat mereka berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang ada. Kedisiplinan, kesabaran, kesadaran segala sesuatu perlu proses dan waktu untuk berkembang, adalah prinsip dalam berinvestasi, bukan ilmu atau perhitungan yang rumit.
Sukacita Memberi
Anak perlu merasakan sukacita pada waktu berbagi dan memberi, terutama kepada orang-orang yang membutuhkan. Pertama-tama, orang tua perlu menceritakan tentang pemberian Allah yang terbesar, yaitu Ia telah mengutus Anak-Nya yang tunggal, Yesus, untuk menyelamatkan manusia. Selanjutnya, bertemu atau melihat kondisi anak lain yang berkekurangan, dan menceritakan teladan baik dari orang-orang yang suka memberi, akan menolong anak-anak mengembangkan rasa sukacita saat memberi. Orang tua juga perlu menekankan, memberi adalah salah satu ungkapan rasa syukur atas semua berkat yang sudah Tuhan berikan.
Ayat-ayat Alkitab yang mendasari mereka untuk memberi dan berbagi, dapat kita ajarkan dan jadikan sebagai ayat hafalan, beberapa di antaranya adalah 2Korintus 9:7, “Hendaklah masing-masing memberi menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Mazmur 104:28, “Apabila Engkau memberikannya, mereka mengumpulkannya; apabila Engkau membuka tangan-Mu, mereka kenyang dengan segala yang baik.” Ulangan 15:10, “Engkau harus memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah dengan berat hati apabila engkau memberi kepadanya. Sebab, oleh karena itulah TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu, segala yang diupayakan tanganmu.” Mengajarkan tentang uang pada anak sejak dini berarti juga mengajarkan mereka untuk senantiasa mensyukuri apa yang mereka miliki, dan menyadari semua itu berasal dari Tuhan.
Peran orang tua sangatlah besar untuk memberikan pemahaman yang benar tentang uang, bukan hanya sebatas perkataan, tetapi juga dengan memberikan contoh nyata yang bisa mereka lihat, rasakan, dan lakukan dalam kehidupan mereka. Untuk itu, orang tua juga harus terus belajar dan memperbaiki diri, untuk dapat mengajarkan, sekaligus memberi contoh yang baik kepada anak-anak. Semakin bertambah usia mereka, akan semakin dinamis dan kompleks kebutuhan pemahaman mereka tentang uang. Mereka akan menggumuli bagaimana mengelola antara keinginan dan kebutuhan, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan mereka, alokasi tabungan dan investasi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia mereka, sampai saatnya orang tua melepas mereka ke jenjang kehidupan selanjutnya, bekerja dan berkeluarga.
*Penulis adalah seorang pemerhati keuangan.