Zaman sekarang memang serba instan. Segala sesuatu dapat dilakukan dengan cepat, bahkan dengan cara yang mudah, karena waktu satu menit pun rasanya sangat berharga. Masak, ingin cepat. Masak nasi pakai rice cooker. Kalau bisa beli, ya beli. Bahkan bukan hanya mie instan, sekarang ada juga nasi dan lauk instan. Tinggal kasih air, tunggu sebentar, lalu bisa Menjaga Keintiman dengan Allah dimakan. Malas antre sendiri, biar orang lain saja, jadi pakai aplikasi GoFood. Malas jalan kaki, tinggal naik kendaraan. Merasa kurang cantik, pergi operasi plastik. Asal ada uang, semua mudah dilakukan. Sekejap mata, langsung jadi, langsung ada di depan mata. Cepat, gampang, saking kita sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba instan dan mudah.
Zaman dulu, saat harus menunggu sendiri, masih ada banyak orang yang saling bertanya, saling mengobrol, meskipun tidak kenal. Sekarang? Jarang ada yang seperti itu. Mungkin kita berniat mengajak mengobrol, tapi orang yang ingin kita ajak bicara sedang fokus dengan gawainya, atau bahkan mungkin kebalikannya. Kita lebih sering berfokus pada diri sendiri, jarang berkomunikasi. Kalaupun berkomunikasi, hanya bila dibutuhkan. Butuh, baru bertanya. Butuh, baru mengobrol.
Pola pikir ini kita terapkan juga kepada Tuhan. Kita menganggap Tuhan ini HANYA sebagai mesin penjawab doa-doa kita. Ketika meminta, inginnya Tuhan segera mengabulkan permintaan kita, instan. Sekelas Tuhan seharusnya mudah. Apa sih yang tidak bisa dilakukan Tuhan? Tuhan itu Maha Bisa. Tetapi perlu diingat, kita harus menjaga hubungan dengan Tuhan. Menjaga komunikasi dengan Tuhan itu sangat penting, agar kita dan Tuhan tetap memiliki hubungan yang intim.
Ketika kita mencoba untuk menjalin keintiman dengan Tuhan, maka yang pertama harus kita miliki adalah rasa cinta kepada Tuhan, dan ini bersifat sangat pribadi. Cinta kepada Tuhan harus konsisten. Jangan seperti saat PDKT atau awal-awal menikah, saat pasangannya jatuh, “Aduh sayang, nggak apa-apa ‘kan? Mana yang luka? Sini saya bersihkan!” lalu diberi obat. Setelah lama menikah, saat pasangannya jatuh, “Bisa bangun sendiri ‘kan? Makanya, kalau jalan pakai mata!” Semakin lama, kadar cintanya pun berkurang. Tuhan selalu konsisten dalam mencintai kita. Yeremia 31:3 tertulis, “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” Allah mencintai, bagaimanapun kita.
Menjalin hubungan yang intim tidak bisa instan. Perlu waktu untuk bisa mencintai. Kakek nenek saya dulu menikah karena dijodohkan orang tuanya, tanpa tahu atau mengenal lebih dekat terlebih dahulu. Lalu nenek saya berkata, memang dahulu ia tidak begitu mengenal kakek saya, namun seiring berjalannya waktu, mereka pelan-pelan saling mengenal, dan cinta itu tumbuh. Jadi sangat jelas bahwa menjalin sebuah hubungan membutuhkan proses, agar bisa saling mengenal lebih dekat, dan membangun hubungan yang erat dan penuh kasih.
Begitu pun ketika kita menjalin hubungan dengan Tuhan. Tidak bisa dipungkiri, ada banyak orang yang mengalami pasang surut hubungan dengan Tuhan. Ada yang memutuskan hubungan dengan Tuhan karena kecewa akan sesuatu, ada yang merasa jenuh dan bosan untuk berdoa dan membaca firman Tuhan, bahkan semakin jarang melakukannya. Ada yang masih tetap membaca Alkitab, tapi sebenarnya sudah kehilangan gairah atau tidak lagi merasa mendapatkan apa-apa dari apa yang dibacanya. Hubungan menjadi dingin, tidak ada keintiman dan kedekatan sama sekali dalam doa-doa yang dipanjatkan.
Pernahkah Anda mengalami hal seperti ini? Mengapa itu bisa terjadi? Ada banyak hal, salah satunya adalah kita belum mengenal pribadi Tuhan secara dekat. Kita terjebak dalam segala sesuatu yang sifatnya hanya kewajiban atau keharusan, tanpa mendasarkan segala sesuatu pada hati yang mengasihi. Tanpa didasari pengenalan yang mendalam, kita akan mudah turun naik dalam hubungan kita dengan Tuhan. Ada kalanya Tuhan terasa dekat, tetapi ada pula kalanya Tuhan terasa jauh. Apakah Tuhan memang datang dan pergi dari hidup kita? Tentu tidak! Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Ia dengan setia menepati janji-Nya untuk menyertai kita. Oleh karena itu, bacaan kita kali ini dalam Yakobus 4:8 mengingatkan agar kita tidak sama seperti dunia ini. Melainkan, mendekatlah kepada Allah, karena ketika kita melakukannya, Allah akan mendekat kepada kita. Marilah bertobat!
Ketika rasa cinta kita kepada seseorang begitu besar, kita rela mengorbankan nyawa kita sekalipun demi dia. Tuhan pun mengasihi kita, bahkan lebih besar dari itu. Untuk bisa mengalami itu, diperlukan usaha kita terlebih dahulu untuk mengenal pribadi Tuhan, dan betapa besar kasih-Nya terhadap kita. Ia rela turun ke dunia, bahkan rela disiksa, diolok-olok, diludahi, bahkan mati di kayu salib demi kita. Ketika kita berusaha untuk mengenal Allah yang begitu mengasihi kita, maka seiring perjalanan waktu, kita pun akan semakin intim. Karena tanpa mengenal Tuhan, akan sulit bagi kita untuk bisa membangun keintiman yang langgeng untuk waktu yang lama. Kabar baiknya, Tuhan selalu siap dekat dengan kita. Tuhan merindukan hal itu. Jika kita mendekat kepada-Nya, maka Dia pun akan mendekat kepada kita.
Lalu, bagaimana caranya? Pertama, kita membutuhkan iman (have faith in God). Dengan iman, kita belajar tentang standar Allah. Tanggung jawab yang Tuhan berikan tidak bisa kita lakukan dengan kekuatan sendiri. Apabila Tuhan tidak membantu, kita akan mengalami kegagalan. Akan terjadi krisis iman bila kita tidak mengikuti pimpinan Tuhan. Krisis iman menyatakan apakah kita akan ikut kehendak Tuhan dan percaya akan kuasa-Nya, atau mengikuti cara kita sendiri. Contohnya, Musa mengalami krisis iman saat memimpin bangsa Israel, karena dia mengukur dengan kekuatannya sendiri dan merasa tidak mampu. Padahal, Tuhan berkehendak supaya dia memercayai kuasa Tuhan. Kita harus bisa PERCAYA kepada-Nya. Percaya atas segala sesuatu yang Dia rancangkan untuk kita. Percaya, bahwa segala dosa kita telah dibayar di kayu salib. Percaya akan masa depan kita di tangan-Nya.
Kedua, kita harus bersiap menghadapi perubahan (change your mind). Kata-Nya kepada mereka semua: “Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku” (Lukas 9:23). Kebanyakan orang ingin Tuhan menyatakan kuasa-Nya dalam hidupnya, akan tetapi tidak tertarik untuk mengadakan perubahan dalam hidupnya. Setiap kali Tuhan memberikan tugas atau berjanji kepada seseorang, Ia perlu mengubah orang tersebut, yaitu mengubah kehidupannya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan. Setelah terjadi perubahan, baru Allah melaksanakan kehendak-Nya dalam kehidupan orang tersebut. Contohnya dapat kita lihat dalam kisah hidup tokoh-tokoh seperti Musa, Yusuf, Abraham, atau Daud. Kita harus bisa mengubah cara pandang kita terhadap Tuhan dan diri kita. Kita harus bisa memercayai Tuhan lebih dari apa pun, lebih daripada SIAPA PUN DALAM DUNIA INI, termasuk diri kita sendiri. Tuhan lebih mengenal kita dibanding orangtua mengenal kita. Tuhan lebih mengenal kamu dibanding kamu mengenal dirimu sendiri.
Hal ketiga yang dibutuhkan adalah ketaatan (radical obedience). Ketaatan adalah tanda lahiriah yang kelihatan bahwa kita mengasihi Allah. Upah dari ketaatan adalah kasih Tuhan yang bisa kita rasakan dan alami, yaitu hubungan intim dengan Tuhan. Kita harus bisa mengikuti apa pun yang Tuhan ingin kita lakukan dalam dunia ini. Sekali lagi saya tekankan, kita harus bisa melakukan apa pun yang Tuhan mau untuk kita lakukan dalam dunia ini.