Dalam suatu pertemuan orang tua murid, pembicara menceritakan tentang anaknya yang terpanggil menjadi hamba Tuhan. Ketika diwawancarai, dalam proses penerimaannya di STT, ia ditanya, mengapa ingin menjadi hamba Tuhan? Ia menjawab, “Emang maunya saya?” Dengan jawaban itu, ia ingin menyampaikan, menjadi hamba Tuhan bukanlah kemauan pribadinya, melainkan ia yakini sebagai panggilan Tuhan (vocational calling). Sebelumnya, ia tidak tahu akan meneruskan studi di bidang apa. Mamanyalah yang menyarankannya untuk berdoa dan menggumuli panggilan Tuhan atas hidupnya. Sempat ia bertanya, “Apa itu panggilan?” Jawab mamanya, “Panggilan adalah profesi yang akan tetap kamu jalani, meskipun tidak dibayar!”

Panggilan dalam arti modern untuk suatu pekerjaan, sebenarnya tidak dikenal di Perjanjian Baru. Pengertian itu dikembangkan oleh Luther dan Calvin pada abad ke-16, dalam serangan mereka atas Katolikisme Roma, yang menganggap panggilan itu hanya untuk memasuki suatu ordo keagamaan1.

Budi Sutrisno berpendapat, kita punya dua panggilan besar dalam hidup Kristen kita2. Pertama, kita dipanggil menjadi murid Kristus, untuk mengenal Dia. Dalam Mrk. 1: 16-17, Kristus memanggil murid-murid untuk mengikuti-Nya. Panggilan ini membuat para murid harus belajar meninggalkan yang sebelumnya mereka pikir penting, untuk sesuatu yang lebih penting, bahkan paling penting, yaitu mengenal Kristus. Yoh. 17:3 “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Panggilan kedua, dapat kita baca dalam Kis. 1: 8 “Tetapi, kamu akan menerima kuasa, bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Kita dipanggil menjadi murid, kemudian diutus untuk menjadi saksi. Inilah panggilan utama kita.

Kevin dan Kay Marie Brennfleck mengatakan, “The more diligently you are seeking to live your primary calling, the more effectively the Lord can guide you in finding your vocational calling (that is, work that fits your gifts and brings a deep sense of purpose and significance.)”3. Artinya, semakin tekun menghidupi panggilan utama kita, maka semakin efektif Tuhan menuntun kita menemukan panggilan pekerjaan kita (yaitu pekerjaan yang cocok dengan karunia-karunia kita, dan membawa suatu rasa berguna dan penting yang mendalam).

Hanya Hamba Tuhan?

Biasanya, jika berbicara tentang panggilan, orang langsung mengaitkan dengan panggilan menjadi hamba Tuhan, dalam arti menjadi pendeta atau pengerja di gereja, penginjil, atau staf lembaga paragereja. Tetapi, panggilan Tuhan tidak terbatas pada hal itu! Allah juga memanggil anak-anak-Nya untuk mengerjakan pekerjaan baik, melalui berbagai profesi. Di dunia ada begitu banyak kebutuhan yang tidak dapat dijalankan hanya oleh profesi hamba Tuhan. Tuhan tidak hanya memanggil para imam, hakim, raja, nabi, dan rasul. Ia juga memanggil Yusuf yang diangkat menjadi pemegang kuasa di Mesir (Kel. 41:39-44), Dorkas yang pandai menjahit (Kis. 9:36, 39), Kornelius sang perwira (Kis. 10:1), Lidia si penjual kain ungu (Kis. 16:14), Priskila dan Akwila, suami istri yang berprofesi sebagai tukang kemah (Kis. 18:2-3), kepala penjara Filipi (Kis. 16:33), sida-sida, kepala perbendaharaan dari Etiopia (Kis. 8:27). Dunia ini juga memerlukan para pengajar, dokter, pekerja sosial, politikus, penulis, desainer, ahli bangunan, tentara, ilmuwan, seniman, koki, dan berbagai profesi lainnya, termasuk yang sering kali hanya dipandang sebelah mata, seperti ibu rumah tangga, tukang, atau petugas kebersihan. Melalui pekerjaan duniawi pun, kita dapat melayani panggilan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing.

Panggilan bukanlah pekerjaan atau profesi, melainkan melebihi semua itu. Seseorang yang dipanggil untuk mengedukasi masyarakat, misalnya, tidak selamanya harus menjadi guru di sekolah. Bisa saja ia menjadi guru les, dosen, penyuluh kesehatan, seorang influencer yang mengedukasi melalui media sosial, penulis buku ilmu pengetahuan, dll. Dan, di sepanjang hidupnya, bisa saja pekerjaannya berganti-ganti, tergantung kondisi dan ladang pelayanan yang terbuka untuknya. Tetapi, prinsipnya tetap sama, yaitu ia terpanggil untuk mengedukasi masyarakat, dan itulah yang menggerakkannya untuk berkarya melalui berbagai cara.

Bukan Keinginan Pribadi

Benar sekali, seperti jawaban si anak tadi, panggilan Tuhan bukanlah keinginan pribadi kita sendiri. Ini dapat kita lihat dalam panggilan terhadap Abram (Kej. 12:1-3), Musa (Kel. 3:2-10), Samuel (1Sam. 3:1-21), Simon Petrus (Mat. 4:18-19), Paulus (Kis. 9:3-6), Yeremia (Yer. 1:4), dan masih banyak lagi.

Inisiatifnya berasal dari Allah, karena ada sesuatu yang akan Ia kerjakan di dunia. Kita hanyalah alat-Nya. Dan, ketika memanggil, Allah memaparkan visi-Nya secara jelas. Abram dipanggil karena Allah akan membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan olehnya semua kaum di muka bumi mendapat berkat (Kej. 12:2). Musa dipanggil untuk membawa umat-Nya, orang Israel, keluar dari Mesir (Kel. 3:10). Petrus dipanggil untuk dijadikan penjala manusia (Mat. 4:19). Paulus dipanggil untuk memberitakan nama-Nya di hadapan bangsa-bangsa lain, raja-raja, dan orang-orang Israel (Kis. 9:15).

Jadi, yang disebut sebagai panggilan bukanlah cita-cita, angan-angan, atau sasaran pribadi kita sendiri, melainkan sebuah visi yang Tuhan tanamkan dalam hati kita.

Allah Memampukan

Bukan tidak biasa, ketika Allah membukakan visi-Nya, kondisi kita justru seolah tidak mendukung. Mungkin kita sedang sibuk mengerjakan suatu proyek. Mungkin kondisi finansial kita tidak memungkinkan. Mungkin kita sudah berkeluarga, dan ada anak-anak yang harus kita beri makan. Mungkin kondisi fisik kita sakit-sakitan. Tidak heran, kita merasa gentar. Kita tidak yakin akan mampu menjalankan visi Allah tersebut. Musa dan Yeremia bahkan mencoba menolak ketika dipanggil (Kel. 4:10, 13; Yer. 1:6).

Justru karena kelemahan kitalah, kebesaran Tuhan itu nyata. Jika inisiatif itu datang dari diri kita, biasanya itu karena kita merasa mampu. Maka ketika visi itu tercapai, kitalah yang mendapatkan kemuliaan, karena keberhasilan itu menjadi sebuah pencapaian. Tetapi, inisiatif ini datang dari Allah, dan sering kali hadir ketika kita merasa tidak mampu, dan ada banyak halangan. Maka, ketika visi itu tercapai, Allahlah yang memperoleh kemuliaan, sebagaimana yang tertulis dalam 2Kor. 4:7, “Namun, harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.”

“… ingatlah bagaimana keadaan kamu ketika kamu dipanggil: Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan apa yang kuat … supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:26-27, 29).

Kita lupa, Allahlah yang punya kepentingan, bukan kita. Dan, Ia akan memastikan rencana-Nya berhasil. Terkadang kita dapat melihat cara Allah mempersiapkan seseorang. Seperti kasus Musa, yang diizinkan lahir di masa Firaun membunuhi bayi-bayi laki-laki Israel, dan melalui putri Firaun, dapat memperoleh pendidikan terbaik di Mesir, peradaban tertinggi pada masa itu. Tuhan pula yang menggemblengnya selama empat puluh tahun di padang penggembalaan, sebelum memanggilnya untuk menggembalakan umat-Nya. Sebelum dipanggil menjadi rasul, Paulus sudah memperoleh pendidikan agama yang sangat baik di bawah ajaran Gamaliel, seorang ahli Taurat yang sangat dihormati orang banyak (Kis. 22:3; Kis.5:34). Walaupun tidak semua cara Allah mempersiapkan tokoh Alkitab disebutkan secara lengkap, kita tahu, dalam kemahakuasaan-Nya, Allah dapat mengatur jalan hidup seseorang, sehingga cocok dipakai untuk melaksanakan pekerjaan-Nya.

Panggilan tidak sama dengan karunia Roh dan talenta, namun Allah dapat menggunakan karunia Roh, talenta, kepribadian/temperamen, dan pengalaman kita untuk membuat kita lebih efektif melaksanakan panggilan itu. Misalnya, seseorang memiliki panggilan untuk merawat dan mengurangi penderitaan mereka yang sedang sakit. Tentu akan sangat menolong jika ia juga memiliki karunia melayani, memiliki temperamen flegmatis yang ramah dan menyenangkan, berlatar belakang pendidikan kedokteran atau keperawatan, punya pengalaman merawat orang tuanya yang sakit keras, atau sudah terbiasa merawat neneknya yang sakit-sakitan di rumah. Bukan berarti mereka yang memiliki jenis karunia Roh, talenta, temperamen, dan pengalaman yang berbeda tidak dapat memenuhi panggilan yang sama, tetapi tentu karakteristik pelayanannya pun tidak akan sama.

Dan, Allah dapat menggunakan segala keunikan orang-orang pilihan-Nya untuk membuat mereka berhasil menjalankan panggilan-Nya. Abram yang istrinya mandul, dan yang mulanya tega menyerahkan istrinya kepada Firaun dan Abimelekh demi keselamatannya sendiri, dapat menjadi bapa banyak bangsa dan bapa orang beriman. Musa yang hatinya lembut namun tidak pandai bicara, berhasil membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Petrus, murid yang paling bersemangat, walaupun sempat menyangkali Yesus, Tuhan pakai untuk memimpin para rasul dan menggembalakan jemaat mula-mula. Paulus, mantan penganiaya jemaat yang berpendidikan tinggi, dipakai-Nya untuk menyebarkan Injil kepada bangsa-bangsa lain, hingga akhirnya kita yang jauh pun ikut terhitung sebagai anak-anak Allah.

Demikian pula, kita mungkin kecil hati ketika Allah menyingkapkan ladang yang telah Ia bukakan untuk digarap. Tetapi sesungguhnya, melalui pengalaman dan kisah hidup kita, Tuhan sudah mempersiapkan kita untuk dipakai-Nya.

Apa Panggilan Kita?

Kita tidak cukup “beruntung” dapat mendengar panggilan Allah secara langsung, seperti Samuel, Abram, Musa, dan para rasul. Namun, di masa modern ini pun, Allah tetap berbicara kepada para murid-Nya melalui berbagai hal. Tidak selalu panggilan itu muncul ketika kita sedang bersaat teduh dalam keheningan. Bisa saja Allah memanggil kita di tengah-tengah kesibukan sehari-hari, saat sedang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, sedang menonton televisi, membaca berita, dan lain-lain.

Jadi, apa panggilan kita? Kita perlu mengenali rancangan unik kita. Apa hobi kita, nilai-nilai hidup, temperamen/kepribadian, peranan yang kita sukai, minat, dan karunia Roh kita? Kita dapat mengetahuinya melalui pengalaman hidup, berbagai tes (tes kepribadian, tes minat/bakat, tes karunia Roh, dll.) atau umpan balik dari orang lain. Pelayanan akan lebih efektif dan dijalani dengan penuh sukacita, jika kegiatan itu sesuai dengan rancangan diri kita.

Jika bergaul intim dengan Allah melalui doa dan pembacaan Alkitab, Allah akan membukakan visi-Nya bagi hidup kita dengan jelas, melalui ilham yang kita dapatkan seusai berdoa, tawaran-tawaran yang terbuka bagi kita, keprihatinan yang besar terhadap suatu kondisi. Sesuatu yang besar, alkitabiah, penuh kasih. Sesuatu yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh kita, yang masih punya kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri.

Tidak jarang, visi itu menggelisahkan kita, karena menuntut perubahan hidup. Tidak ada orang yang mau keluar dari zona nyaman. Tetapi, sebagai anak-anak-Nya, kita mau taat pada panggilan-Nya. Adalah suatu kehormatan jika Allah mau berbuat sesuatu melalui diri kita. Ambillah tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi halangan-halangan yang mungkin ada, yang menyulitkan kita untuk memenuhi panggilan itu.

Komitmen pada Panggilan

Nabi Yeremia menulis, “Bila aku berpikir, ‘Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau berbicara lagi demi nama-Nya,’ maka dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku. Aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.” (Yer. 20:9)

Ya, jika benar panggilan itu berasal dari Allah, mau lari ke mana pun, berapa lama pun, keterbebanan itu tetap ada. Rasanya tak tertahankan, hingga akhirnya kita pun menyerahkan diri untuk dipakai-Nya. Contohnya adalah nabi Yunus, yang mencoba lari dari panggilan Allah untuk mempertobatkan Niniwe (Yun. 1:1-3). Allah mengejarnya sampai ke dalam perut ikan! Pada akhirnya, ia pun menyerah, dan menjalankan perintah Allah tersebut (Yun. 3:1-4), walaupun tetap dengan berat hati. Dan, Allah memberkati pekerjaannya. Niniwe bertobat dan diselamatkan (Yun. 3:5-10).

Keterbebanan dari Allah itulah yang menggerakkan kita, seperti api yang menyala-nyala. Jika hanya mengandalkan kehendak kita untuk mendapatkan suatu pujian, keberhasilan, ketenaran, penghormatan, keuntungan, maka ketika tantangan datang, dengan mudah kita akan meninggalkan apa yang sedang kita kerjakan. Tetapi, karena panggilan itu datang dari Allah, Ialah yang akan memberi kekuatan untuk tetap menjalaninya, walaupun mungkin penuh tantangan, kesulitan, aniaya, bahkan kehilangan nyawa.

Contoh yang sangat jelas dapat kita lihat pada diri Simon Petrus. Dalam kepongahannya, ketika Tuhan Yesus memberitahukan bahwa Ia akan diserahkan, Simon sesumbar, ”Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!” (Luk. 22:33), dan dicoba dibuktikannya, dengan menyerang hamba imam besar dan memotong telinganya (Luk. 22:50). Namun, imannya segera gugur saat menyaksikan Yesus diadili di rumah imam besar. Begitu cepat ia berbalik menyangkali Gurunya (Luk. 22:54-62). Dengan kekuatan sendiri, ia tidak dapat bertahan ketika diperhadapkan dengan kesulitan.

Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di tepi pantai Danau Tiberias. Setelah sarapan, Ia meneguhkan Simon secara khusus, dan memintanya untuk menggembalakan anak-anak domba-Nya (Yoh. 21:15-17), dan bahkan mempersiapkannya untuk memuliakan Allah melalui kematiannya (Yoh. 21:18-19).

Kita lihat dalam perkembangan sejarah Kekristenan, setelah menerima panggilan dari Tuhan Yesus tersebut, Petrus bertransformasi dari seorang yang sempat menyangkali Yesus, menjadi seorang yang berani. Khotbahnya pada hari Pentakosta berbuah pertobatan tiga ribu jiwa (Kis. 2:41). Ia tidak mundur ketika dibawa menghadap Mahkamah Agama (Kis. 4:1-22, Kis. 5:26-42), bahkan dipenjarakan (Kis. 12:1-19). Menurut tradisi, Petrus meninggal disalibkan secara terbalik. Panggilan yang jelas dari Tuhan memampukannya memegang komitmen untuk menjalani segala tantangan yang dihadapi, sekalipun menuntut nyawanya.

Sudahkah Anda menghidupi panggilan Allah dalam hidup Anda? Mari temukan panggilan-Nya, dan jalanilah! Allah menyertai kita senantiasa.

https://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=PANGGILAN

https://www.griikg.org/panggilan-utama-orang-kristen-ku-2/

3 https://www.letu.edu/alumni/identify-your-calling.html

*Penulis adalah penerjemah dan editor literatur Kristen, anggota GKI Gading Serpong.