Tebal: 264 halaman | Ukuran: 14x21 cm

Dalam buku Formasi Ibadah, Steven D. Brooks dengan lugas menyatakan, ibadah adalah prioritas terpenting gereja. Penginjilan, persekutuan, pelayanan, dan praktik-praktik kehidupan gereja lainnya mengalir dari ibadah. Saat menyembah, kita menjadi makin serupa dengan Anak Allah. Semakin menyerupai Yesus, kita akan, sebagai hasilnya, bertindak seperti Yesus. Bagaimana Yesus berperilaku? Ia mencintai sesama dan memproklamasikan kabar baik kasih tersebut. Ibadah adalah praktik yang mendefinisikan identitas sebuah gereja. Segala praktik kehidupan gereja lainnya adalah hasil alamiah dari ibadah kita.

Namun, sejauh mana kita memahami makna kata “ibadah” dalam sebuah kebaktian? Apakah kita masih menyamaartikan ibadah dengan musik? Ketika seorang warga jemaat berkomentar, “Ibadah pagi ini bagus sekali,” sering kali mereka menunjuk pada elemen musik dalam kebaktian. Atau kita masih beranggapan, khotbah menduduki tempat terhormat melebihi elemen lainnya dalam sebuah kebaktian? Atau, sudah benarkah sikap kita, ketika kita berhimpun dalam sebuah kebaktian korporat?

Pertama-tama, kita perlu memahami apa yang kita maksud ketika menyebut kata “ibadah”. Brooks menawarkan definisi tentang ibadah sebagai berikut: Ibadah adalah respons sejati kita atas wahyu-wahyu Allah. Dengan kata lain, ibadah adalah ketika Allah menyingkapkan diri-Nya kepada kita dan apa yang Ia sudah perbuat (wahyu), dan kita secara positif meresponsnya dengan benar.

Respons yang benar dalam ibadah hanya bisa terjadi ketika kita memiliki pengenalan akurat tentang Allah. Pengenalan yang akan membuat kita dipenuhi rasa takjub atau keterpukauan kepada Allah. Ya, kebaktian kita seharusnya dipenuhi dengan kekaguman, karena kita menyembah Allah yang layak menerima penyembahan yang dipenuhi ketakjuban.

Selanjutnya kita perlu mengetahui seluruh aspek peribadahan memengaruhi formasi rohani, baik untuk individu maupun komunitas yang berhimpun untuk beribadah. Tujuan dari formasi rohani adalah hati yang ditransformasi, sebuah perubahan pada level diri yang terdalam, yang menuntun kepada hidup yang menyenangkan Allah. Atau, hidup menjadi semakin mirip dengan Kristus.

Hidup kita seharusnya diformasi secara rohani, melalui segala partisipasi ke dalam tiap elemen peribadahan, bukan hanya khotbah dan musik. Formasi rohani terkandung dalam tiap aksi yang dilakukan dalam ibadah. Oleh karena itu, para perancang atau arsitek ibadah harus memberi perhatian yang sangat teliti atas teologi yang terkandung dalam beraneka ragam lagu, doa, dan elemen-elemen lain, yang digunakan dalam kebaktian.

Dengan signifikansi ibadah yang begitu penting, berarti tiap aspek dari sebuah kebaktian bersifat esensial. Jika kita ingin memahami bagaimana proses formasi rohani—yang oleh penulis disebut formasi ibadah: kita menjadi makin serupa dengan Kristus (formasi rohani) saat kita merespons wahyu-wahyu Allah (ibadah)—terjadi dalam tiap elemen peribadahan, kita harus mencermati tiap elemen dengan lensa formasi rohani itu sendiri. Dan buku ini akan memandu kita! 

*Penulis adalah rekan pendiri dan Direktur Tangan Terbuka Media