Belakangan ini marak kursus yang bertujuan mengaktivasi otak tengah di kalangan masyarakat. Biaya yang dikeluarkan pun cukup besar sekitar Rp 3,5 juta/anak. Pihak pengelola kursus menjanjikan orangtua bahwa dalam 2 hari setelah kursus, anak-anaknya dapat mewarnai tanpa melihat, berjalan tanpa melihat, bahkan untuk tingkat lebih lanjut anak dapat melihat sesuatu di balik tembok. Namun apakah kursus seperti ini benar bermanfaat seperti yang digembar-gemborkan? Bagaimana orangtua menyikapi tren aktivasi otak tengah yang sedang populer belakangan ini?

Berikut rangkuman pendapat dari Prof. Sarlito Wirawan (guru besar Psikologi UI) dari www.seputar-indonesia.com dan www.otaktengah.com

  1. Otak tengah adalah bagian terkecil dari otak yang berfungsi sebagai relay station untuk penglihatan dan pendengaran.
  2. Otak tengah tidak mengurusi bagian inteligensi, emosi, sikap, motivasi dan minat. Pusat emosi terletak di bagian orak yang bernama amygdala. Minat dan motivasi merupakan aspek sosial yang lebih mudah diamati melalui perilaku ketimbang dicari pusatnya di otak.
  3. Orangtua mengira dengan aktivasi otak tengah maka anak-anak bisa bersikap sopan, bisa berkonsentrasi di kelas, percaya diri dsbnya. Padahal pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.
  4. Sebaiknya orangtua lebih percaya terhadap proses yang konsisten. Pembelajaran/pembentukan sikap secara terus menerus lebih berarti dibandingkan dengan pembelajaran yang sifatnya instan. Pembentukan sikap bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan pujian pada saat anak melakukan sesuatu sesuai dengan harapan atau target dari yang diberikan orangtua, memberikan contoh langsung/menjadi role model bagaimana harus bersikap, dll.
  5. Untuk mendukung konsentrasi belajar, ciptakan suasana yang kondusif, misalnya mematikan TV saat jam belajar, pencahayaan dan suhu udara yang
  6. Orangtua perlu mengkritisi informasi yang ada dengan bertanya lebih lanjut kepada para pengelola kursus, jangan sampai tertipu dengan slogan dan janji yang muluk-muluk.